Afrida Erna Ngato

Kepala Sugu Pagu, Halmahera Utara

Srikandi dari Suku Pagu

Afrida Erna Ngato adalah perempuan pertama di Nusantara yang dipilih menjadi kepala suku. Kepala Suku Pagu yang mendiami bagian utara Halmahera ini tak kenal lelah memperjuangkan wilayah adat dan kebudayaan leluhurnya yang terancam punah akibat konflik lahan dan gejala sosial lainnya. Dia adalah inspirasi bagi negeri ini untuk senantiasa berjuang demi mewujudkan Indonesia yang lebih baik.

Sabtu, 17 Oktober 2015. Suasana Desa Sosol, Kecamatan Malifut, Kabupaten Halmahera Utara pagi itu tampak berbeda. Warga desa yang merupakan masyarakat adat Pagu berkumpul di bawah tenda yang dibangun di lapangan desa. Di tenda itu, warga menyiapkan berbagai jenis makanan yang terbuat dari beras. Seorang perempuan berbaju adat kebaya kurung dan sarung tampak membimbing warga untuk mengatur makanan untuk sebuah perayaan.

Dialah Afrida Erna Ngato, Kepala Suku Pagu. “Kami sedang mengadakan masumu marame atau pesta padi baru. Ini merupakan budaya suku Pagu untuk merayakan panen warga. Budaya ini baru dilaksanakan lagi setelah 40 tahun vakum,” tutur Afrida.

Desa Sosol yang berjarak 100 kilometer dari Kota Tabelo, ibukota Halmahera Utara, merupakan pusat komunitas Suku Pagu atau dikenal juga dengan nama Suku Isam. Secara administratif, komunitas suku Pagu tersebar di 15 desa yang terletak di dua kabupaten Halmahera Utara dan Halmahera Barat. Ada 6 ribu – 7 ribu jiwa yang mendiami wilayah itu.

Meskipun secara resmi baru dilantik menjadi Kepala Suku Pagu pada 23 Mei 2013 lalu, namun upayanya untuk melestarikan budaya suku ini telah dilakukan jauh sebelumnya. Bahkan, sejak duduk di bangku SMA, Ida, demikian dia biasa disapa, telah aktif untuk menghidupkan kembali budaya adat Pagu dengan inisiatifnya sendiri.

Ida pun bercerita. Saat itu kebetulan ada tim dari TVRI yang akan membuat film dokumenter tentang adat perkawinan suku Pagu. Sosok enerjik ini banyak membantu dan menyiapkan semua keperluan acara.

Pada Agustus 1997, Afrida berkesempatan menempuh pendidikan di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung melalui jalur penerimaan siswa bebakat. Sifat supel dan pribadinya yang hangat membuat Ida mudah bergaul dan memiliki banyak teman. Banyak orang-orang baik yang membantunya, mulai dari penginapan dan mencukupi berbagai keperluan. Namun Ida tak mau serta merta menerimanya. Dia ingin mandiri, bertahan hidup dengan usaha dari kedua tangan dan kakinya sendiri.

Dua tahun kuliah di IKIP Bandung, Ida memilih berhenti dan menempuh pendidikan di Sekolah Alkitab, masih di kota yang sama. Lulus dari sekolah Alkitab, Ida ditugaskan ke Batam dan kemudian dipindahkan ke Dumai. Di sinilah dia bertemu dengan sang pujaan hati, Saut Matua Lubis, dan kemudian menikah pada 2000.

Hidup di rantauan, membuat kerinduan terhadap kampung halaman selalu membuncah. Bila sudah demikian, diambilah gitar dan lagu-lagu dari tanah seberang pun disenangdungkan. Sang suami yang hafal dengan prilaku istrinya, datang menghibur hati. “Lebih baik kamu pulang tengok kampung halaman,” Ida menirukan ucapan suami. Kebetulan, ketika itu sedang ada acara penikahan adiknya di Madano.

Mengantongi ijin dari suami, tiket pun segera dibeli. Pertemuan dengan orangtua dan saudara-saudaranya sungguh momen yang sangat dinanti setelah sekian lama berpisah. “Saat saya ketemu dengan ibu dan saudara-saudara, saya menanyakan segala hal termasuk pohon pohon apakah masih ada di tempatnya,” ucapnya.

Jarak ribuan kilo telah ditempuh dari Dumai ke Manado. Rasanya sayang bila melewatkan menengok kampung halaman yang sudah di depan mata. Dia pun kembali merajuk suaminya untuk mendapatkan ijin pulang ke Pagu, kampung halamannya di Halmahera Utara.

“Tinggal menyeberang sedikit saja, abang,” katanya.

Tak ada alasan bagi sang suami untuk menolak keinginan istri tercintanya mengingat hampir sepuluh tahun dia tinggalkan kampung halaman.

Sampai di Malifut, Pagu, Ida kembali menelepon suami. Kali ini permintaannya makin menjadi-jadi. Ida bilang ingin tinggal saja di Pagu, membesarkan kampung halaman dan tak mau balik lagi ke Dumai. Ida pun ingin melanjutkan kuliah keguruan di Ternate. Lagi-lagi sang suami tak bisa membendung keinginan istrinya. Dan akhirnya, Saut Matua Lubis yang mengalah, ikut pulang ke kampung Ida.

Di kampung halaman, niat Ida untuk menghidupkan kembali kebudayaan Suku Pagu yang mati suri benar-benar diwujudkan. Dengan segala keterbatasan, dia mulai merestrukturisasi lembaga adat, pendokumentasian sejarah dan budaya hingga pemetaan wilayah adat. Proses penggalian sejarah dilakukan selama dua tahun.

Awalnya, banyak mencerca dan meragukan pengetahuannya soal adat. Namun, dia menjawab keraguan tadi. Sebanyak 15 desa berhasil dijangkau dan bahasa Pagu menjadi muatan lokal (mulok). Tentu bukan perkara gampang melakukan itu. Uang, waktu, dan tenaga dikorbankan.

Ibu dari Yehuda Alsafian Lubis, Narwastu Daniela Lubis, dan Trikandi Lubis itu mengetuk satu per satu rumah warga Pagu. “Untunglah, saat itu saya diminta Kepala Desa untuk mewakili desa dalam kegiatan pemerintah Provinsi Malut dan Universitas Khairun Ternate mengenai kemajuan ekonomi pasca konflik. Kesempatan ini saya manfaatkan untuk memperkenalkan budaya Suku Pagu pada peserta lain, termasuk hasil penelitian LIPI yang menyatakan bahwa budaya Suku Pagu terancam punah,” kisah Afrida.

Langkah Afrida menghidupkan budaya Suku Pagu dilanjutkan dengan melakukan sosialisasi dari rumah ke rumah. Guru SD Negeri Sosol ini juga berupaya menggunakan bahasa Pagu, mengangkat kembali budaya Pagu melalui forum gereja dan syukuran, hingga menyisipkan acara cakalele dan tide-tide (tarian adat, red) pada acara perkawinan.

Pada akhir Januari 2012, tetua adat Suku Pagu menggelar musyawarah untuk mengangkat kepala suku yang baru. Ketentuan sebagai calon kepala suku adalah harus memiliki garis keturunan Pagu dan berjenis kelamin laki-laki. Sidang pemilihan tersebut disaksikan oleh AMAN (Aliasi Masyarakat Adat Nusantara) Maluku Utara, perwakilan Pemerintah Kabupaten Halmahera Utara, dan para kepala desa serta tokoh Suku Makian di Malifut. Hasil sidang menetapkan Afrida sebagai kepala suku.

Kepeduliannya yang tinggi terhadap eksistensi suku ini berhasil mengesampingkan fakta bahwa ia adalah seorang perempuan. “Pertimbangan para tetua, karena adanya kepedulian Ida maka budaya Suku Pagu bisa dibangkitkan lagi,” ujar Afrida.

Meski telah ditetapkan sebagai kepala suku, Afrida baru dilantik satu tahun kemudian. Gelarnya Tubok Ma Lamok atau pemimpin adat. Sering juga ia disebut Sangaji Pagu, yang memiliki arti sama. Kepemimpinannya seumur hidup, kecuali jika ia terjerat kasus asusila.

Pasca dilantik, perjuangan Afrida makin gencar dan terarah. Selain tetap pada komitmen melestarikan budaya Pagu, ia juga memperjuangkan wilayah adat dan memajukan sukunya dari sisi pendidikan. Berdasarkan wawancaranya dengan para tetua Pagu, wilayah adat Pagu terbentang dari Rerecinga, Kecamatan Kao Barat, hingga ke Lame Unjuk Desa Akelamo, Kecamatan Kao Teluk. Namun tanah adat milik suku mereka kini sebagian dikuasai oleh perusahaan tambang raksasa PT Nusa Halmahera Mineral (NHM). Sejak NHM beroperasi 15 tahun lalu, masyarakat kerap bentrok dengan perusahaan asal Australia tersebut.

Ida menegaskan, sukunya telah mendiami wilayah Halmahera Utara sejak abad 11. Terhitung hingga kini, sedikitnya 14 generasi sudah mendiami tanah tersebut. Dia pun mempertanyakan keberadaan negara yang telah merampas hak ulayat masyarakat.

“Kami dibuat bingung dan identitas kami semakin hilang. Orang-orang takut membangun rumah di tanahnya sendiri,” ujarnya.

Orang Pagu telah mengalami kekacauan akibat sikap negara. Pemerintah, katanya, menjual tanah dan kawasan di mana suku Pagu telah tinggal selama ratusan tahun kepada perusahaan. Mereka memberikan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) kepada PT NHM. Akibat adanya izin, perusahan lantas mengeksplorasi sumber daya alam dan mineral terkandung di tanah. “Setelah identitas diri dirusak, mereka merampas isi semua kekayaan,” ujar dia.

Tahun berganti tahun, Sangaji Pagu mulai merasakan hasil kerja kerasnya. Sangaji Pagu berupaya memperkuat identitas adat Pagu, supaya orang bangga lagi dengan budaya. Dia pun mengajak pemuda-pemudi Pagu untuk ikut dalam kegiatan di AMAN di Jakarta, walau harus menyeberang lautan. Semua itu dilakuan agar anak-anak suku Pagu memiliki pengetahuan dan tahu kehidupan dunia luar.

“Saya mengirim dua anak Pagu, Abe Ngingi untuk sekolah pemetaan, dan Pinky untuk belajar administrasi keuangan. Saya hubungi AMAN dan mereka siap terima. Saya menyediakan tiket dua orang itu sambil jualan kue dan macam-macam,” tuturnya.

Bersyukur keduanya cerdas. Dia kini mereka membantu AMAN Maluku Utara dan bahkan jasanya dipakai oleh seluruh jejaring AMAN. “Bahkan Abe Ngingi diberangkatkan ke Jenwa,” ucap Ida yang tak dapat menutupi rasa haru dan bangga.

Atas jerih payak Afrida, saat ini, suku Pagu juga telah memiliki Kantor Pusat Pendokumentasian Bahasa dan Budaya Isam/Pagu (The Language and Culture of Isam/Pagu Documentation) yang terletak di Desa Sosol. Lembaga ini diresmikan oleh mantan Bupati Halut Hein Namotemo 7 September lalu. “Selain digunakan sebagai tempat kegiatan suku Pagu, kantor ini juga menjadi kegiatan belajar mengajar orang Pagu,” ucap Afrida.

Bagi Afrida, perjuangan terberat justru berhadapan dengan masyarakat bawah (etnis Makian). Sebab, dengan klaim tanah berpotensi menimbulkan isu SARA.

Persoalan ruang adat merupakan pemicu konflik komunal di Maluku Utara , tahun 1999-2000. Dia menolak tudingan penyebab kerusuhan adalah permasalahan agama. “Itu pemicu, bukan lagi salah satunya. Bukan soal agama. Bukan.”

Perjuangan Ida memang masih panjang. Semangatnya yang menggelora tak henti menyuarakan hak ulayat sukunya. Dia mengaku, hal tersebut merupakan panggilan hati atas kecintaanya pada tanah kelahiran. “Kalau bukan torang (kita) yang memulai, siapa lagi?” ujarnya.

***

Afrida Erna Ngato lahir 41 tahun lalu di Desa Talifut, Kecamatan Talifut, Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara. Sulung dari empat bersaudara ini tumbuh menjadi gadis yang kuat dan berdedikasi, mewarisi spirit ayahnya yang merupakan bangsawan suku Pagu.

“Papa saya seorang yang sangat idealis dan mendedikasikan hidup buat orang banyak,” kata Ida dengan mata berkaca-kaca.

Sang ayah yang PNS Guru ditugaskan menjadi kepala sekolah di SD Inpres Popon. Sekolah ini terletak di pedalaman Halmahera Utara dan berjarak sekitar 23 kilometer dari kampungnya. Ketika itu, perjalanan menuju SD Inpres Popon hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki. Dan itulah yang membuat Ida kecil malas bila diajak pulang ke kampungnya yang berada di kota.

Kaki-kaki kecil Ida pun telah terbiasa melakukan perjalanan jauh dengan berjalan kaki ke tempat dinas ayahnya. “Pengalaman tak terlupakan ketika perjalanan malam saat terang bulan. Indah sekali cahaya langit,” kata Ida yang selalu diajak menginap di gedung SD Inpres Sasur, Kampung Sasur, untuk melepas penat sebelum melanjutkan perjalanan ke Popon yang jaraknya tak lebih dari lima kilometer lagi.

Dedikasi sang ayah dalam mengabdi dan mendidik anak muridnya memang teruji. Demi menjaga agar anak-anak muridnya tetap sekolah, Ida kecil dilarang memakai seragam ketika bersekolah dengan alasan agar anak-anak lain tidak merengek meminta seragam kepada orang tua mereka yang hidup di garis kemiskinan.

“Inti dari sekolah adalah ilmu dan belajar, bukan seragam. Papa tidak ingin anak didiknya putus sekolah gara-gara tidak mampu beli seragam,” terang Ida.

Di kalangan masyarakat Popon, keluarga Ida sangat dihormati dan suka berbagi. Beras, yang menjadi barang mahal di kampung itu namun selalu didapat sebagai jatah bulanan seorang PNS, dibagi-bagikan ke warga. Sang ibu juga rajin mengajari warga untuk memasak dan mengolah aneka makanan sehingga membuat ibu-ibu di kampung itu bisa mengikuti lomba desa dan memenanginya.

Enam belas tahun berdinas di Kampung Popon, akhirnya orang tua Ida mengajukan permohonan untuk pindah dinas, pulang ke kampung halaman. Alasan utamanya satu: merawat ibunda yang sudah sakit-sakitan. Warga yang terlanjur jatuh hati dengan keluarga Ida, tak rela melepas kepergian mereka. “Sampai satu kampung nangis dan berduka. Papa saya dicintai warga,” kenang Ida yang sesungguhnya enggan meninggalkan kampung dimana dia menghabiskan masa kanak-kanaknya.

Pembawaan orangt tua Ida yang rendah hati dan suka berbagi, membuatnya mudah diterima di komunitas baru. Pula dengan Ida. Kebetulan saat itu Ida sudah memasuki bangku SMP. Di sana, dia mempunyai banyak teman dan dipercaya sebagai sekretaris karang taruna dan aktif di kegiatan pemuda gereja. “Saya memang suka sekali repot. Saat pelantikan kepala desa, saya bahkan pernah jadi kepala dapurnya,” kenangnya sambil berurai tawa.

Tibalah saatnya kuliah. Ida yang berotak encer diterima masuk IKIP Bandung melalui jalur penerimaan siswa berbakat. Acara pelepasan Ida pun berlangsung haru. “Saya disuruh pamitan di gereja, saya berdiri di depan mimbar, mereka salaman dengan saya. Saking cintanya dengan saya, ada satu jemaah dia langsung bukakan jam tangannya diberikan kepada saya.”

Di Bandung, Ida tak punya sanak keluarga. Namun, di kota kembang ini banyak orang baik yang membantu Ida. Ada keluarga Yos Patiwael, Dr Frans, Olivia Hutagaol, dan beberapa nama lain yang disebutnya, yang banyak membantu selama merantau di Bandung.

“Di belakang saya banyak tangan yang membentuk saya menjadi seperti ini. Dan orang tua saya mengajarkan saya untuk selalu mengingat jasa orang yang telah berbuat baik kepada kita,” ujarnya setelah menyebut deretan nama itu.

Kini, setelah kembali ke kampung halaman dan menjadi Sangaji Pagu, Ida berharap ada kesadaran masyarakat Pagu akan budaya mereka sendiri. Budaya, menurut Ida, adalah sebuah harta yang paling berharga. “Bila kita tidak sadar budaya, renggang hubungan sosial kita,” ucap Ida yang berhasil merangkul warga Islam dan Kristen di suku yang dipimpinnya hidup rukun berdampingan.

“Revolusi mental adalah membangun nilai-nilai budaya. Karena bila budaya hancur, maka bangsa akan hancur,” pungkas Ida sembari mengutip kalimatnya saat memberikan sambutan usai menerima penghargaan MNC Award untuk kategori, pertengahan November 2015 di Jakarta.

Sukowati Utami

Boks:

Biodata
Nama : Afrida Erna Ngato
Umur : 44thn
Agama : Kristen
Pekerjaan : PNS /Guru
Jabatan : Tubol ma Lamok Pagu/Kepala Suku Pagu
Alamat : Desa Maliput/Sosol Kec,Malifut
Suami : Saut M Lubis
Anak : Yehud Assafian 17th, Narwastu Daniella 10th, Trikandi 7th

Organisasi:
Wakil Ketua Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Maluku Utara

Penghargaan:
MNC Award untuk Kategori Kebudayaan, 2015