Agustina Lingü Lango

Pendamping Anak-Anak Buruh Migran di Desa Wee Limbu, Kecamatan Wewewa, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur

 

Bintang Perubahan di Pedalaman Sumba

Keprihatinan mendalam terdadap nasib anak-anak buruh migran mendorong Agustina Lingu Lango merangkul multipihak untuk bekerja sama menyelamatkan anak-anak buruh migran di desanya. Hasilnya, sejumlah 80 Kartu Keluarga, 100 Akta Kelahiran, 10 Kartu Indonesia Sehat, dan Kartu Indonesia Pintar yang didapatkan. Kebutuhan anak-anak pekerja migran untuk dapat belajar dan berkreasi pun difasilitasi dengan hadirnya Umma Pande.  

Kisah pekerja migran bagaikan pisau bermata dua. Ada kisah sukses, namun tak sedikit yang menguras air mata. Tapi, kisah pekerja migran tidak melulu soal buruh yang bekerja ke negeri orang, tapi juga anak dan keluarga yang mereka tinggalkan.

Di Desa Wee Limbu, Kecamatan Wewewa, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, kisah anak-anak pekerja migran membuat hati menangis. Banyak di antara mereka tumbuh tanpa kasih sayang, dan bahkan mengalami tindak kekerasan dari lingkungan tanpa ada yang memberi perlindungan.

Armiati Bata misalnya. Bocah ini tumbuh tanpa sosok ayah dan ibu di Desa Wee Limbu. Sejak kelas dua SD, ibunya pergi bekerja ke Malaysia. Selang sebulan setelah kepergian ibunya, ayahnya jatuh sakit dan meninggal dunia.

Mendengar kabar meninggalnya sang suami, ibunda Armiati terjatuh ketika bekerja hingga membuatnya menderita gegar otak. Sang majikan kemudian melarang komunikasi dan hingga saat ini, Armiati tidak pernah mendengar kabar berita apapun tentang ibunya.

Selain Armi, masih ada 115 anak pekerja migran lain di Desa Wee Limbu yang juga tumbuh tanpa pengasuhan dari orang tua. Derita anak buruh migran yang seolah tiada ujung, membuat seorang perempuan tergerak hatinya untuk menyelamatkan anak-anak tak berdosa itu. Agustina Lingü Lango, demikian nama perempuan 45 tahun itu, berjuang keras menyelamatkan masa depan kepada anak-anak buruh migran di pedalaman Sumba. 

Kehilangan orangtua bukan satu-satunya masalah yang harus ditanggung anak pekerja migran. Di Sumba Barat Daya, banyak anak-anak pekerja migran yang juga harus menjadi korban kekerasan karena tak ada orangtua yang mengasuh mereka. Agustina menjadi saksi kekerasan yang dialami anak-anak pekerja migran (APM) itu.

“Kebanyakan anak-anak yang ditinggalkan ayah ibunya dititipkan di kakeknya, neneknya, tantenya sementara orangtua bekerja di luar negeri,” ungkap Agustina.

Anak-anak itu, kata Agustina, kerap mendapat perlakuan atau tekanan dari “keluarga baru” mereka, mulai dari umpatan kasar bahkan pukulan. Akibatnya, anak-anak menjadi cenderung takut bertemu atau berbicara dengan orang lain. Mereka juga sulit belajar karena waktunya habis bekerja di kebun, mengambil kayu, dan menjaga ternak. Prestasi belajar di sekolah juga cenderung menurun.

Derita lainnya yang dialami anak-anak pekerja migran adalah status pernikahan orangtua yang banyak tidak jelas. Status pernikahan mereka banyak belum diakui secara adat karena belum melunasi mahar pernikahan atau belis.

Akibatnya, status anak-anak pekerja migran pun tidak jelas. Orangtuanya tidak mungkin memiliki kartu keluarga, padahal keberadaan kartu keluarga menjadi prasyarat pengurusan akta kelahiran, juga Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Indonesia Sehat, yang dibutuhkan untuk mendapatkan hak mereka atas pendidikan dan kesehatan yang layak.

Di desa tetangga, anak-anak pekerja migran bahkan mendapatkan pelecehan seksual dari keluarga mereka sendiri.

Situasi ini membuat Agustina prihatin. Ia lantas meluangkan waktunya mengunjungi anak-anak tersebut di rumahnya, hanya sekedar mengobrol dan menghibur mereka. Kepedulian ini membawanya bertemu dengan YPK Donders, saat lembaga ini melakukan kajian cepat tentang situasi anak-anak buruh migran pada Juni 2015.

Bersama dengan empat kader lainnya, Agustina menerima pelatihan mengenai hak anak, pola pengasuhan yang layak, kepemimpinan, dan pengorganisasian. Mereka juga melakukan pendataan dan memfasilitasi data kependudukan.

“Mereka selama ini memang belum mendapatkan pelayanan. Kami para kader berupaya memenuhi hak-hak mereka,” ujar Agustina.

“Bintang Perubahan” begitulah sebutan untuk Agustina dan kader lainnya yang mendatangi dan mengajak diskusi semua pihak, untuk bekerja sama dan peduli terhadap nasib anak-anak pekerja migran. Pendekatan inilah yang pada akhirnya mampu membuka hati dan pikiran para orang tua asuh, tokoh adat dan masyarakat, serta pemerintah untuk sama-sama memahami kebutuhan anak-anak pekerja migran terhadap “ruang” untuk saling berbagi dengan anak-anak lainnya sehingga mereka tidak lagi distigma sebagai anak-anak yang tidak memiliki orang tua.

Pihak-pihak yang bekerja sama ini termasuk orang tua asuh, tokoh adat dan tokoh masyarakat, juga aparat pemerintah desa. Kerja sama berbagai pihak membuahkan hasil. Sejumlah 80 Kartu Keluarga, 100 Akta Kelahiran, 10 Kartu Indonesia Sehat, dan Kartu Indonesia Pintar yang diajukan oleh para kader akhirnya dikeluarkan.

Kebutuhan anak-anak pekerja migran untuk dapat belajar dan berkreasi pun difasilitasi dengan hadirnya Umma Pande. Di tanah Sumba, umma bermakna ‘rumah’, sedangkan pande bermakna ‘pintar atau cerdas’. Jika rumah biasanya menjadi tempat tinggal, umma bagi masyarakat Sumba berfungsi sebagai tempat bermusyawarah dan menjadi simbol kebersamaan dan solidaritas.

Umma Pande hadir sebagai ‘rumah pintar’ bagi anak-anak di Desa Wee Limbu untuk menghasilkan buah-buah kebaikan; nilai-nilai kecerdasan bagi anak-anak dengan tetap berpijak pada kearifan lokal yang menjadi basis gerakan kemanusiaan.

Rumah yang dibangun dengan gotong royong dengan sumbangan masyarakat ini berbentuk seperti rumah adat Sumba. Rumah yang memiliki luas 63 meter persegi ini dibangun dari hasil sumbangan 25 keluarga, yang masing-masing berupa kayu dan bambu, uang tunai, material bangunan, makanan, hingga tenaga. Rumah berbentuk menara seperti rumah adat Sumba pada umumnya ini selesai dibangun dalam waktu 90 hari dengan semua dinding dan lantainya dibuat dari bambu.

Rumah yang dibangun di atas tanah seluas 525 meter persegi ini kemudian menjadi ruang yang cukup luas dan nyaman bagi anak-anak untuk belajar, bermain, dan berkebun. Kini, setiap jam 3 hingga 5 sore, Umma Pande selalu ramai dengan canda dan tawa anak-anak, termasuk Armiati.

“Saya mengajar anak-anak (pekerja migran) untuk belajar percaya diri, wawancara, pidato, puisi, menyanyi, dan menari. Itulah ajaran saya selama ini,” cerita Agustina.

Tidak berhenti di situ, Umma Pande juga memicu lahirnya gagasan untuk mendirikan fasilitas Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Peduli pada April 2018, sebagai jawaban atas kondisi banyaknya anak-anak usia 2 hingga 4 tahun yang belum bisa belajar.

Umma Pande hadir bukan hanya sebagai rumah, melainkan juga tempat berbagi seluruh warga. Bersama seluruh masyarakat Desa Wee Limbu, Umma Pande hadir sebagai simbol harapan bagi anak-anak pekerja migran dan anak-anak lainnya untuk tumbuh menjadi generasi yang cerdas, kreatif, dan mandiri; yang akan menghasilkan lebih banyak buah-buah kebaikan untuk Pulau Sumba.

Agustina Lingu Lango sendiri kemudian terpilih menjadi satu dari ribuan Pandu Inklusi Nusantara (PINTAR) atas kiprahnya tersebut.

***

Agustina Lingu Lango lahir di Sumba, 13 Agustus 1974. Sulung dari 12 bersudara ini adalah anak kepala desa Wee Limbu. Maka wajar bila pola asuh, pendidikan dan status ekonomi keluarganya berada di atas rata-rata warga desa kebanyakan.

Pola asuh yang baik dan pendidikan yang cukup, membuat jiwa dan pemikiran Agustina terbuka. Bahkan pada pemilihan kepala desa Wee Limbu 2016, Agustina ikut mencalonkan diri walau akhirnya nasib belum membawanya duduk di kursi panas untuk memimpin kampung halamannya.

Agustina sadar, kondisi ekonomi sebagian warga desa yang berada di bawah garis kemiskinan, tak memberi banyak pilihan bagi warga untuk mendapatkan penghasilan. Pilihan sebagai buruh migran pun tak dapat ditolak, terlebih rata-rata tingkat pendidikan juga masih rendah.

Melihat fenomena anak-anak yang ditinggalkan orangtua sebagai pekerja migran, dan pola asuh mereka yang asal-asalan, hati Agustina terusik. Dia ingin melakukan sesuatu. Dari sanalah akhirnya Agustina banyak terlibat dalam kegiatan pendampingan anak-anak buruh migran di desanya.

Sebagai seorang ibu dengan lima orang anak yang telah beranjak dewasa, Agustina tetap bisa membagi waktu antara pekerjaan rumah tangga dan sebagai pekerja sosial yang cukup menyita waktunya. Terlebih semakin banyak desa dampingan yang harus dia layani.

“Dulu ada empat desa, sekarang sudah ada lebih dari 10 desa dampingan Donders,” katanya Agustina yang mendapat dukungan penuh dari anak-anak dan suaminya yang bekerja sebagai petani sekaligus pedagang.

Kini, satu harapan besar Agustina, apapun kondisinya, pemerintah harus memperhatikan nasib anak-anak, termasuk mempermudah anak-anak buruh migran dan keluarganya untuk mendapatkan akte kelahiran, KTP, dan kartu keluarga. “Sistem adminitrasi kependudukan itu sangat dibutuhkan, agar mereka bisa mudah mendapatkan berbagai layanan dari pemerintah seperti pendidikan dan kesehatan,” pungkas Agustina.

 

 

Riwayat hidup

Nama               : Agustina Lingü Lango

TTL                 : Sumba, 13 Agustus 1974

Keluarga          : Menikah, memiliki 5 anak.

Pendidikan

Tamat SMA

Pekerjaan

Ibu Rumah Tangga

Mendampingi anak-anak buruh mingran untuk mendapatkan pendidikan