Pegiat Lingkungan Hidup

Kiprah Sang Ratu Sampah

Si Ratu Sampah, begitu dara 23 tahun ini dijuluki. Dia mendedikasikan dirinya bagi masyarakat melalui gerakan peduli lingkungan.Menjadi bermanfaat di mana pun berada menjadi prinsip tak tertulis dalam hidupnya. Kini, dia masih punya cita-cita membangun sekolah di daerah pedalaman yang ingin segera diwujudkan.

Sembilan tahun lalu, menjadi momen tak terlupakan bagi Amilia Agustin. Ketika itu dirinya mendapat undangan ke Jakarta sebagai kandidat Penerima SATU Indonesia Awards 2010. Amilia mengira kandidat lain peraih penghargaan itu adalah anak-anak seusianya, namun ternyata dia menjadi kandidat termuda. Saat itu usianya masih 14 tahun.

“Dulu datangnya dengan Mama. Orang-orang menyangka Mama yang jadi kandidat Astra Award. Jadi yang ditanya-tanya oleh kandidat lain tuh Mama,” ujar Amilia yang mendapat julukan ratu sampah dari teman-temannya.

Saat itu, menurut Amilia, kandidat lain yang usianya paling dekat dengannya merupakan seorang mahasiswa. Amilia tercatat menjadi kandidat termuda bukan hanya pada ajang SATU Indonesia Awards 2010, melainkan sejak program itu dirintis hingga kini.

Menggeluti dunia sampah berawal dari keresahan Ami, demikian Amilian kerap disapa, sejak dirinya duduk di bangku SMP. Tak sengaja, Ami melihat seorang bapak sedang makan tanpa cuci tangan di dekat gerobak berisi penuh sampah, tak jauh dari kompleks sekolah.

“Itu jangan-jangan sampahnya dari sekolah kita, ya,” kata Ami mengulang apa yang ada di pikirkannya saat itu. “Kalau si bapak itu sakit, jangan-jangan kita yang kena dosa juga.”

Ami menceritakan hal itu kepada guru biologi sekaligus pembimbingnya di ekstrakurikuler Karya Ilmiah Remaja (KIR). Ibu guru Nia, namanya. Menurut Ami, saat itu kampanye zerowaste atau upaya minimalisasi produksi sampah belum populer di kalangan anak muda.

“Bu, kira-kira kita bisa melakukan apa ya tentang sampah ini?” ujar Ami.

Ibu Nia menyarankan Ami dan teman-temannya di ekstrakurikuler KIR untuk mendatangi Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB) yang bergerak di bidang pengomposan dan pemilahan sampah. Sejak itulah Ami dan teman-temannya rutin belajar di YPBB, hingga menginspirasi mereka untuk membuat tempat pemilahan sampah organik dan anorganik.

“Pada 2008, kami bikin di tiap kelas kardus-kardus untuk mewadahi sampah organik dan anorganik. Tapi itu pun dihina-dina,” tutur Ami mengenang saat dia dan teman-temannya memulai upaya itu.

Guru-guru Ami saat itu pun sempat memprotesnya karena penggunaan kardus sebagai tempat sampah dinilai kurang estetis. “Akhirnya, kardusnya dibungkus pakai kertas kado. Tapi ternyata masih suka ditendang-tendang sama anak cowok yang suka main bola,” kata Ami.

Pengalaman pahit itu membuat Ami dan teman-temannya menyadari bahwa kampanye pemilahan sampah akan sangat berat jika hanya dilakukan segelintir orang. Kemudian Ami punya ide untuk mengampanyekan masalah ini saat Masa Orientasi Sekolah (MOS) di sekolahnya.

Suatu ketika usai berdiskusi, Ami dan teman-temannya sepakat membentuk subdivisi baru di ekstrakurikuler KIR yang berkegiatan di bidang pengelolaan sampah di sekolah. Subdivisi itu dinamai ‘Sekolah Bebas Sampah’ atau ‘Go to Zerowaste School’. Anggota subdivisi itu perlahan bertambah hingga berjumlah 10 orang. Sejak itu mereka kerap diajak sang pembimbing, Ibu Nia, untuk memperkenalkan programnya di berbagai acara di sekolah.

Ami dan teman-temannya mencari cara untuk ‘menyulap’ sampah-sampah yang mereka kumpulkan menjadi barang yang bisa digunakan kembali. Saat itu, menjelang naik ke kelas 9, Ami mengetahui bahwa seorang teman yang tinggal tak jauh dari sekolahnya, berasal dari keluarga kurang mampu. Dari kondisi itu, Ami mencetuskan sebuah ide untuk memberdayakan ibu temannya itu untuk mendaur ulang sampah.

“Kenapa kita enggak memberdayakan ibunya saja. Ibunya juga punya teman-teman yang bisa kita berdayakan,” ucap Ami tentang momen ketika ide itu menyergah pikirannya.

Mereka mengajak ibu-ibu itu untuk membuat tas dengan bahan dasar sampah bungkus kopi. Ami juga mengajak mereka untuk mengenalkan produk-produk daur ulang itu saat pembagian rapor dengan cara membuka stan.

Demikianlah semua upaya yang dilakukan Ami dan teman-temannya sejak awal telah menggugah Ibu Nia untuk mendaftarkan mereka dalam kompetisi SATU Indonesia Awards 2010 di bidang lingkungan. Ami menyetujuinya, namun dia mengira itu hanya kompetisi antar anak sekolah yang sudah biasa digelar.

“Aku enggak tahu kalau itu punya Astra dan sebesar itu. Ternyata lolos tahap administrasi,” ucap Ami.

Ami berhasil terpilih menjadi penerima Astra Satu Indonesia Award di bidang lingkungan, serta mencatatkan namanya sebagai peraih termuda penghargaan tersebut.

Ami tak ingin menyia-nyiakan sejumlah dana yang didapat dari penghargaan itu. Dia memanfaatkannya dengan membeli mesin jahit untuk digunakan para ibu yang bekerja mendaur ulang sampah.

Kini, Sekolah Bebas Sampah yang Ami rintis bersama teman-temannya sudah berjalan lintas generasi. Kegiatan pengelolaan sampah di sekolah itu tetap berlangsung meski Ami sudah tak lagi di sana.

Duduk di bangku SMA, Ami mendirikan komunitas Bandung Bercerita. Komunitas itu punya kegiatan mendidik anak-anak yang biasa bermukim di dekat rel kereta api di Kota Bandung.

“Kami bikin kurikulum di Bandung Bercerita, supaya anak makin pede (percaya diri–red) dengan apa yang dia punya. Kita percaya anak-anak punya kecerdasan yang beda-beda. Teman-teman yang jago nyanyi kita ajak, teman-teman yang jago gambar kita ajak,” ucap Ami.

Komunitas itu pernah membuat modul ‘101 Creative Teaching’ yang berisi materi cara-cara mengajak anak agar mau belajar. Modul ini, menurut Ami, bahkan diduplikasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk anak-anak penyintas korban bencana. Ami pun sempat diajak BNPB sebagai relawan psikososial ke wilayah bencana letusan Gunung Sinabung pada 2014.

Kegiatan Ami bergelut dengan masalah lingkungan terus berlanjut saat dia berkuliah di Universitas Udayana Bali, yakni dengan membuat bank sampah. Hingga lulus dari Fakultas Ekonomi kampus tersebut, Ami kerap kali bekerja sama dengan Astra untuk memberdayakan desa-desa di Bali.

Kemauan untuk selalu bermanfaat bagi lingkungan membuat Ami hanya ingin bekerja di divisi Corporate Social Responsibility (CSR), jika dia memang harus bekerja di kantor. Akhirnya Ami diterima di sebuah perusahaan swasta nasional yang cukup bonafide. Di perusahaan itu pun Ami tetap mengampanyekan masalah lingkungan.

Bagi Ami, menjadi bermanfaat di mana pun dia berada menjadi prinsip tak tertulis dalam hidupnya. Kini, dia masih bercita-cita membangun sekolah di daerah pedalaman.

***

Amilia Agustin lahir di kota Bandung 20 April 1996. Sejak usia 12 tahun, gadis pendiam ini sering diajak ibunya jalan-jalan naik bis ke taman dan ke perpustakaan daerah

Sulung dari keluarga sederhana Agus Kuswara dan Elly Maryana Dewi ini selalu mendapat hadiah ulang tahun berupa buku dari orangtuanya. Kedekatannya dengan buku, membuat Amil kecil senang belajar dan menyelami banyak ilmu dari aneka bacaannya.

Menamatkan pendidikan SMP dan SMA di kota kembang, Bandung, Amilia ingin melanjutkan kuliah di Jayapura dengan tujuan dapat mengajar anak-anak Papua. Namun, ibundanya tak setuju. Hasil kompromi, akhirnya Amil melanjutkan kuliah pada Fakultas Ekonomi Pembangunan Universitas Udayana dan berhasil lulus dengan predikat cumlaude pada 2018 dengan indeks prestasi 3,9.

Tak cerdas secara akademisi, Ami juga punya kepedulian terhadap lingkungan sekitar. Di pulau Dewata, aktifitasnya di bidang lingkungan tetap ia jalankan sembari bergelut dengan tugas-tugas kuliah. Ami melanjutkan kegiatannya membangun komunitas yang bergerak di bidang lingkungan bersama badan eksekutif mahasiswa dalam berbagai kegiatan positif lainnya yang langsung melibatkan masyarakat.

Ami juga aktif berperan pada program-program dinas Lingkungan Hidup setempat dengan membentuk Bank Sampah, mengurusi sampah di laut, membuat kebun untuk anak kost agar hasil kebun dapat menghemat pengeluaran untuk makan sehari-hari, serta mengajar pada sebuah komunitas Hindu.

Waktu luangnya pun selalu ia manfaatkan untuk membaca jurnal, dan menjadi asisten dosen di sejumlah mata kuliah. Baginya, salah satu motivasi terbesar ialah ucapan ibunya.

“Gunakanlah masa mudamu untuk melakukan hal yang tidak bisa kamu lakukan di masa tuamu,” tutur Ami sembari mengatakan bahwa salah satu motivasi terbesar ialah ucapan ibunya.

Bagi Amilia, pendidikan tidak berasal dari sekolah saja, tetapi juga dari keluarga. Pendidikan yang baik diharapkan mampu menghasilkan generasi muda untuk Indonesia yang lebih baik.

Dengan gerakannya, Ami berhasil membuktikan bahwa semua orang dapat peduli terhadap lingkungan. Segala upaya yang dilakukan tidak hanya monopoli orang dewasa, tetapi juga dapat menjadi bagian dari kehidupan generasi muda. Berawal dari cita-cita sederhana yang disertai komitmen luar biasa, Ami berhasil memberikan dampak besar bagi masyarakat Indonesia.#

Riwayat Hidup

Nama   : Amilia Agustin
Lahir    :  Bandung, 20 April 1996

Pendidikan    

SMP Negeri 11 Bandung
SMA Negeri 11 Bandung
S-1 Universitas Udayana (Ekonomi Pembangunan)

Prestasi

Mendapat Satu Indonesia Awards 2010
Mendapat penghargaan dari Young Changemakers dari Ashoka Indonesia