Anjas Pramono

Mahasiswa Universitas Brawijaya

Disabilitas Menembus Batas

Tumbuh dengan fisik tak sempurna, melecut dirinya untuk berprestasi. Di usianya yang belum genap 22 tahun, Anjas Pramono sudah memiliki sembilan medali internasional baik perunggu, perak, dan emas. Juga 17 sertifikat internasional dari berbagai negara seperti Singapura, Taiwan, India, bahkan lembaga riset Uni Eropa. Kini ia sedang menjalani program exchange fully funded di Amerika Serikat.

Dua puluh dua tahun lalu, bayi bernama Anjas Pramono Sukamto lahir dalam keadaan normal. Sama seperti anak kecil pada umumnya, dia sehat, lincah, dan lucu. Namun keadaan berubah ketika bayi mungil ini berumur delapan bulan. Kakinya patah ketika belajar duduk.

Bukan hanya sekali Anjas mengalami patah tulang. Ketika jatuh atau tertekuk sedikit, tulang kakinya selalu patah. Mulai tulang kaki kanan, kiri, betis, hingga paha. Ikhtiar pengobatan tak pernah putus dilakukan oleh kedua orang tuanya, Sukamto dan Sri Susilowati, pasangan guru dan perawat yang begitu gigih mengupayakan kesembuhan dan pendidikan terbaik bagi anaknya.

Anjas didiagnosis mengidap kelainan tulang bernama penyakit osteo genesis imperfecta. Kelainan itu berupa pengeroposan tulang dan merapuhnya tulang ketika masih kanak kanak. Penyakit ini sangat langka. Di Indonesia hanya ditemukan 15.000 kasus. Berdasarkan data BPS 2015, dari 260 juta rakyat Indonesia hanya 0.0005 persen dari jumlah masyarakat Indonesia.

”Selagi masih bisa bergerak saya tak pernah mempermasalahkan kondisi kaki saya. Saya yakin, ini adalah skenario Tuhan yang akan berakhir indah. Entah di dunia ataupun akhirat inshaAllah saya ikhlas,” kata Anjas, dilansir dari tugumalang.id, di mana sosok periang ini menuliskan panjang-lebar tentang perjalanan hidup dan asanya.

Kondisi tubuh dengan keterbatasan, tak membuat Anjas patah arang. Ketika teman-temannya bisa pergi main bola, mengejar layang-layang, atau bahkan bermain gundu dengan teman sekitar, dia hanya di rumah. Namun, justru inilah yang membuat Anjas makin istimewa. Di usianya yang masih belia, dia sudah melahap beraneka macam buku dengan tema tak biasa. 

“Kebetulan Bapak saya seorang guru Pancasila dan punya koleksi buku yang cukup lengkap,” cetus sosok periang ini.

Tak salah, bila ia telah ‘khatam’ membaca buku Max Havelaar’ setebal 480 halaman saat masih duduk di bangku kelas V sekolah dasar, selain majalah anak-anak, koran, dan buku pelajaran sejarah serta buku Pancasila yang menjadi menu wajibnya.

Tumbuh mencadi bocah cerdas dan istimewa, pengalaman pahit sempat dirasakan Anjas ketika mendaftar di SMP yang diimpikan. Padahal, ketika nilainya diinput, Anjas mendapat peringkat pertama. Saat lulus SD, nilai rata-rata ujian nasional Anjas juga istimewa, yakni 9,45. ”Nilai matematika saya sempurna,” katanya.

Namun dia justru mendapat kabar bahwa pihak sekolah saat itu menolak kehadirannya. Bukan karena nilainya tidak memenuhi, tapi karena kondisi fisiknya.

”Saya diminta untuk sekolah di SMPLB (sekolah menengah pertama luar biasa). Tapi saya tetep keukeuh meminta hak saya untuk sekolah di SMP terdekat rumah itu, meski difabel. Tiga tahun di sana menjadi masa terberat bagi saya,” tutur Anjas yang kemudian bersekolah di SMP yang tak jauh dari rumahnya.

Pengalaman berbalik ketika beranjak ke bangku SMA. Dikatakan, SMA menjadi masa keemasannya. Lingkungan sekolah menerimanya dengan baik. Guru juga tidak pernah membedakan kondisi fisiknya. Saat kelas XI pada 2014, Anjas iseng mengikuti penyisihan olimpiade matematika bertahap, dari tingkat sekolah-kabupaten-provinsi-hingga nasional.

Katanya, hampir satu bulan jarang tidur untuk belajar matematika sebagai persiapan mengikuti olimpiade ini. Hasilnya, pemuda asal, Desa Besito, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus, ini lolos hingga menjadi tim mewakili Indonesia. Ia berangkat bersama 19 orang lain dari seluruh Indonesia untuk mengikuti olimpiade internasional bertajuk Singapore Mathematic Olimpiade.

Dengan raihan prestasi di SMA, dia mantap melanjutkan studi di Universitas Brawijaya. Anjas memilih jurusan Teknologi Informasi atas dasar pertimbangan tidak perlu aktivitas berlebih dan tidak mempersoalkan kondisinya. Ia pun diterima dan bahkan aktif sebagai anggota Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Bahkan ditunjuk menjadi ketua Rayon Fakultas Teknik dan saat ini sebagai Ketua Komisariat Universitas Brawijaya.

Melihat tak sedikit rekan-rekannya yang difabel, Anjas Pramono berkeinginan menghimpun mereka dalam sebuah organisasi Forum Mahasiswa Peduli Inklusi (Formapi). Ternyata, tidak hanya mereka yang difabel saja yang ingin bergabung, orang-orang yang tidak difabel pun turut menjadi bagian di dalamnya.

Keberhasilannya mendirikan forum tersebut menarik mahasiswa Universitas Padjadjaran untuk mengadopsinya ke kampusnya. Pasalnya, di sana juga terdapat mahasiswa difabel, tetapi belum memiliki forum.

“Tahun kemarin ada orang Bandung nemuin saya. Di sana ada mahasiswa disabilitas tapi tidak ada forumnya,” cerita mahasiswa Teknik Informatika tersebut.

Berkat dorongan dan bantuannya, Unpad juga saat ini sudah memiliki wadah yang sama. Melihat hal tersebut, ia punya rencana untuk bekerja sama dengan seluruh kampus di Indonesia membuat forum yang sama.

“Kenapa saya gak kerja sama dengan universitas di seluruh Indonesia. Saya ingin bekerja sama dengan universitas-universitas di Indonesia, ada UKM disabilitas,” harapnya.

Di kampung halamannya, Kudus, Anjas juga sukses sudah mendirikan Student Class. Komunitas tersebut menjadi tempat anak-anak muda menyalurkan bakat dan hobinya, serta melakukan pengabdian masyarakat. Misalnya, memberi bantuan kepada korban longsor.

Tak hanya aktif berorganisasi, di kampus, pemuda cerdas ini sejak awal telah tertantang menggeluti dunia riset dan bidang IT. Saat awal menjadi mahasiswa, Anjas berhasil membuat sebuah aplikasi bernama Difodeaf (dictionary for deaf). Aplikasi kamus bahasa isyarat itu, mendapat medali emas dalam lomba di Negeri Jiran. Meski sebelumnya aplikasi ini, sempat dihina kakak tingkatnya.

”Bendera merah putih saya pegang erat-erat. Saya kibarkan bendera itu di depan podium. Saya pun bersujud syukur, medali emas itu saya gigit bak Taufik Hidayat selesai menang All England,” kata Ketua PMII Universitas Brawijaya itu.

Waktu berjalan, saat ini Anjas telah membuat lima aplikasi yang semuanya berbasis android. Sebagian besar besar berkaitan dengan isu disabilitas. “Semuanya Alhamdullah saya ikutkan lomba. Semuanya menang, ada yang emas, perak, dan perunggu,” ujar Anjas.

Selain aplikasi bernama Difodeaf yang telah diganjar medali emas dari University of Malaysia pada 2018. Anjas juga telah membuat aplikasi kedua bernama Locable (Location for Difable). Aplikasi ini untuk menjawab kendala teman-teman difabel agar bagaimana bisa mengakses tempat yang ramah disabilitas.

“Saya sudah pernah ke beberapa wisata, saat ke objek wisata, ternyata di sana tidak ada alat-alat ramah difabel,” ujar Anjar

Karya ketiga yang dibuatnya adalah aplikasi Jual Beli Disabilitas (Jubilitas). Dia membuat aplikasi ini karena ingin memberikan ruang kepada difabel untuk berwirausaha. Mengingat kesempatan mereka mendapatkan pekerjaan seperti di kantor dan sebagainya sangat kecil.

“Begini persepsi saya, disabilitas tidak bisa kerja maksimal di perkantoran. Minim bukaan lowogan kerjaan. Kami berjuang sendiri yakni membuat wirausaha. Nah berwirausaha, teman-teman difabel butuh ruang e-commerce. (Bisa) Di aplikasi jubilitas,” tuturnya.

Ada juga aplikasi yang dibuat Anjas, berkaitan tentang transportasi. Aplikasi tersebut dipasang di angkot dan dapat medali perunggu di Bali tahun 2018 lalu.

“Saya buat sistem agar angkot lebih bisa bersaing. Angkot kan ada rute, angkot ada di mana. Jadi memudahkan kita mendapatkan angkot karena ada informasi keberadaan angkot,” terangnya.

Terakhir adalah aplikasi guru ngaji. Aplikasi ini berguna untuk orang tua yang akan memilih guru ngaji untuk anaknya. Sebab di kota besar macam Jakarta, atau Surabaya, tidak sedikit guru ngaji yang mengajarkan ilmu yang radikal.

“Misal saya punya anak, maka saya bisa pilih guru ngaji. Supaya tidak bertemu dengan guru ngaji yang radikal. Karena saya bila punya anak tidak mau kalau salah pilih guru ngaji. Di aplikasi itu terdapat daftar guru ngaji, asal tempat pendidikan atau pondok pesantren mana, murid dari kiai siapa,” jelas Anjas.

Di usianya yang belum genap 22 tahun, Anjas sudah memiliki sembilan medali internasional baik perunggu, perak, dan emas. Juga 17 sertifikat internasional dari berbagai negara seperti Singapura, Taiwan, India, bahkan lembaga riset Uni Eropa. Dia juga sudah mengelilingi lebih dari lima negara, Malaysia, Singapura, India, dan Tiongkok.

Belum lama ini namanya diumumkan lolos interview beasiswa YSEALI. Itu merupakan program exchange fully funded di Amerika Serikat, negara yang menjadi impiannya.

Alhamdulillah saya mendapat undangan ke salah satu universitas terkenal di Amerika sekaligus ke White House untuk mempresentasikan aplikasi ini bulan September,” ujar Anjas.

Lolos dalam program YSEALI 2019 juga bukan perkara mudah, saingannya mahasiswa umum tanpa ada keterbatasan fisik. Awalnya mengikuti program tersebut hanya sekadar iseng, namun tahap demi tahap lolos seleksi.

Selama di negeri paman Sam, Anjas berkesempatan belajar di University of Nebraska Omaha selama 4 minggu mulai 21 September mendatang. Sedangkan satu minggunya lagi di istana kepresidenan Presiden Amerika Serikat atau White House.

“Jadi program YSEALI itu belajar di Amerika selama lima minggu, di sana kami akan membahas tentang program apa yang dicanangkan di Indonesia, saya sendiri mengusung dua hal pelatihan kerja untuk anak disabilitas dan program pendidikan seperti pramuka inklusi,” jelas Anjas.

Jadi dalam pelatihan kerja untuk difabel ini nantinya mengajari mereka bagaimana membuat sebuah produk. Bagaimana bekerja sama menciptakan inovasi yang hasilnya bisa dijual belikan. Goals yang ingin dicapai adalah mereka yang memiliki keterbatasan bisa mandiri.

Program ini juga lebih mengutamakan aspek leadership. Anjas sudah terbiasa dengan hal itu lantaran dalam organisasinya PMII UB ia dipercaya menjabat sebagai Ketua Komisariat periode 2019-2020.

Berkat prestasinya itulah, banyak acara yang mengundangnya untuk menebarkan virus semangat kepada orang lain. Beberapa waktu lalu Anjas diundang Kemenpora dan bertemu langsung dengan Imam Nahrowi. Dalam kesempatan ini dirinya mendapat penghargaan Pemuda Hebat Tahun 2019 serta uang senilai Rp 15 juta.

Terakhir, Anjas berharap aplikasi Difodeaf mendapat perhatian pemerintah, membantu mengembangkannya agar diskriminasi bisa dicegah dan membantu para difabel untuk leluasa berinteraksi dengan semua orang. Juga agar mereka mampu mandiri dan sukses.

Riwayat Hidup

Nama                              : Anjas Pramono Sukamto

Tempat tanggal lahir   : Kudus, 28 November 1997

Pendidikan:

  • Mahasiswa Teknik Informatika 2016, Fakultas Ilmu Komputer Universitas Brawijaya (UB) Malang, Jawa Timur
  • SMAN 2 Kudus, Jawa Tengah
  • SMP 2 Gebong, Kudus, 2013

Organisasi:

  • Ketua Komisariat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Universitas Brawijaya
  • Pendiri Organisasi Forum Mahasiswa Peduli Inklusi (Formapi)

Penghargaan:

  • Penghargaan Pemuda Hebat Tahun 2019
  • Medali emas dari University of Malaysia pada 2018
  • Penghargaan YSEALI (Youth Southeast Asia Leadership Initiative) dan diundang ke Gedung Putih di Washington DC, AS.
  • Juara 1 Lomba Debat Bahasa Inggris se Provinsi Jawa Tengah, 2015
  • Bersama 10 perwakilan Indonesia mengikuti Singapore Mathematic Olimpiade, 2014.
  • Juara 1 Lomba Cerdas Cermat Tingkat SD se-Kabupaten Kudus, 2012.#