Ilustrasi. Tanaman Rotan yang membutuhkan pohon tegak untuk rambatan. (lokakita.com)

Bagi warga Dayak, Rotan tak hanya dilihat sebagai komoditi yang menghasilkan cuan. Rotan adalah sejarah dan tradisi yang harus dirawat hingga akhir hayat.

TOKOH INSPIRATIF – Menanam rotan  bagi warga Dayak, bukan sekedar kegiatan bercocok tanam. Tanaman Rotan, lebih dari sekedar komoditi, namun juga upaya upaya melestarikan alam dan tradisi.

Rotan yang tumbuh merambat, membutuhkan pohon besar untuk melilitkan batangnya. Dengan masa tumbuh paling sedikit dua tahun, menanam rotan memang butuh kesabaran. Berbeda dengan tanaman lain yang bisa cepat dipanen dan menghasilkan uang.

Waktu yang panjang untuk tumbuh inilah yang membuat sebagian orang beranjak memilih tanaman sawit yang dijanjikan akan memberikan lebih banyak keuntungan dalam waktu cepat.

Hutan dengan pepohonan menjulang tempat batang rotan merambat, makin banyak yang dibabat. Walhasil, kini tanaman rotan terancam karena makin sedikit pohon rambatan dan lahan yang makin berkurang.

Tak hanya pembukaan lahan sawit atau karet secara masif yang menjadi musuh budibaya rotan, penambangan batubara pun tak kalah serakah membabat hutan.

“Hutannya kebanyakan sudah hampir habis dibabat, jadi yang tersisa hanya di kebun-kebun karet dan buah-buahan masyarakat, jadi rotan menjalar di mana ada pohon-pohon besar itu,” kata Mardiana D. Dana.

Mardiana D. Dana., nenek 64 tahun ini adalah sosok yang aktif menjaga kearifan lokal di kampung halamannya, Barito Timur, Kalimantan Tengah. (VOAIndonesia)

Nenek 64 tahun ini adalah sosok yang aktif menjaga kearifan lokal di kampung halamannya, Barito Timur, Kalimantan Tengah. Perempuan asli suku Dayak Ma’anyan ini telah membina para perempuan membuat anyaman rotan sejak tahun 2007.

Jauh sebelum khayak luas mengetahui komoditi rotan sebagai mobel dan aneka perabotan, masyarakat Dayak telah memuliakan rotan dalam kehidupannya.

Laurensia Rusan adalah salah satu contoh dari masyarakat Dayak yang masih memanfaatkan rotan. Dirinya menarik batang rotan untuk membuat lanjung atau tas keranjang khas masyarakat suku Dayak.

Lanjung biasa digunakan perempuan Dayak ke hutan untuk mengambil sayur, buah-buahan, bahkan tanaman obat. Pemandangan inilah yang mudah dijumpai di pelosok dan pedalaman Kalimantan Tengah.

Selain itu, dirinya juga memilih rotan yang dipotong rapi dan mulai menganyam. Butuh waktu tiga hari untuk membuat lanjung. Tidak jauh dari situ, asap dari tungku api juga telah mengepul di dapur.

Dirinya ternyata sedang merebus rotan muda yang telah menguning tanda matang. Dirinya kemudian menambahkan santan dan beberapa bumbu. Jadilah juhu umbat rotan atau sayur rotan muda.

“(Umbat Rotan) ini baru saya ambil di kebun dekat rumah tadi pagi. Sekalian saya panen rotan. Lumayan dapat sekitar 50 kilogram tadi,” ujarnya melansir Kompas.

Rotan lekat dengan masyarakat Dayak

Pengalaman Laurensia menunjukkan kedekatan antara masyarakat Dayak dengan rotan sejak lama. Budidaya rotan bahkan telah muncul sejak lama karena masyarakat Dayak sangat membutuhkan tanaman tersebut.

Januminro dalam buku Rotan Indonesia menyebutkan bahwa rotan digunakan sebagai obat tradisional yang mampu menghilangkan rasa sakit bagi ibu-ibu ketika akan melahirkan. Rotan itu disebut rotan selian (Calamus ornatus BI).

Dirinya menambahkan bahwa lelaki Dayak menggunakan rotan untuk mengikat kayu atau tiang-tiang saat membuat rumah panjang atau yang dikenal dengan huma betang khas masyarakat Dayak.

Rotan digunakan untuk mengikat kayu baja atau ulin sebagai penyangga. Rotan dipilih karena tanaman ini paling kuat sebagai tali dibandingkan akar-akaran atau tumbuhan merambat lainnya di hutan Kalimantan.

Januminro juga menyebut tidak hanya laki-laki yang menggunakan rotan, para perempuan Dayak juga sering memanfaatkan rotan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka membuat tikar, sarung bantal, dan kriya rotan lainnya.

“Kedekatan masyarakat Dayak dengan rotan sudah terjadi sejak manusia Dayak itu ada. Dulu rotan hanya tumbuh liar lalu dimanfaatkan. Lambat laun dibudidayakan setelah tahu banyak manfaatnya,” ucapnya.

Hanya di Kalimantan

Aneka produk kerajinan berbahan rotan

Menurut Ketua Dayak Ot Danum yang juga mantan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kalimantan Tengah, Dr. Guntur Talajan, SH, terdapat lima kabupaten di Kalimantan Tengah yang masih mempunyai tanaman rotan.

Ia menambahkan, “Satu-satunya di dunia yang memiliki rotan kan di Kalimantan Tengah. Saya selaku Ketua keluarga Ot Danum, suku tertua di Kalimantan Tengah, berharap dan mengimbau agar Pemda Kota sampai Camat Kades untuk menyeleksi dalam memberi ijin terkait isu sawit dan tambang, supaya tidak menguras atau membabat kebun rotan yang sudah ada tumbuh dan berkembangnya.”

Perempuan Dayak biasanya membuat anyaman untuk perabot rumah tangga seperti tikar, topi, kebak, ranjung, lontong dan rambat, yaitu keranjang besar yang disampirkan di bahu.

Perempuan pegiat seperti Mardiana terus melestarikan tradisi itu sambil mempertahankan lahan dan pohon tempat tanaman rotan tumbuh dan menjalar. Menurutnya, ia sudah ikut menyuarakan keprihatinannya, namun tetap belum ada tanggapan dari pemerintah.

“Kami juga berteriak sampai ke DPR-RI, ke lembaga-lembaga seperti Komnas HAM, KLHK langsung, sudah melaporkan ke mana-mana tetapi sampai sekarang kok belum ada tanggapannya. Pembabatan hutan dan perusakan lingkungan masih terus terjadi,” keluh Mardiana.

Menjawab pertanyaan apakah ada upaya dari pihak luar untuk membantu produksi anyaman rotan warga Dayak, Mardiana mengatakan ada sebuah lembaga yang menampung hasil-hasil anyaman itu.

“Untuk keperluan di luar kabupaten dan provinsi, kami mengirim ke AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) Pusat untuk dijual. Jadi kami dari sini membuat sesuai pesanan, bisa dengan tulisan atau motif. Lalu mereka mengirim pesanan itu untuk kami buat,” jelasnya.

Menurut Dr. Guntur Talajan, SH, selain AMAN, pihak Dekranas (Dewan Kerajinan Nasional) provinsi Kalteng juga menampung dan menjual berbagai barang hasil anyaman para perempuan Dayak. Selain itu, kerajinan rotan juga telah ikut serta dalam pameran di Dubai.

Mengembalikan kejayaan rotan

Di tengah lesunya industri rotan, banyak petani beralih ke pekerjaan lain. Ada yang menjadi buruh sawit, ada pula yang beralih menjadi pekerjaan lain, alih-alih menjadi pekerja migran.

Bupati Katingan, Sakariyas menyebut di wilayahnya ada sekitar 325.000 hektare lahan yang berisi rotan dengan estimasi 15.000 ton per tahun. Praktis, katanya, hanya sebagian kecil dari jumlah itu yang dipanen.

“Saat ini kami masih berupaya menghidupkan kembali rotan, tetapi tidak bisa usahanya hanya dari Kabupaten, harus ada upaya yang matang juga dari provinsi dan pemerintah pusat,” ungkapnya.

Baginya, masa kejayaan rotan untuk masyarakat Dayak belum hilang. Meskipun industrinya lemah, rotan telah menjadi barang primadona di dunia usaha mikro, kecil, dan menengah. Banyak dari ibu-ibu yang mengembangkan anyaman kriya rotan.

“Produksi memang turun terus, tetapi selalu ada upaya di balik itu. Ada berkah yang dicari. Apalagi dengan tetap mempertahankan kearifan lokal,” ungkapnya.

Meski industri rotan lesu, bagi masyarakat Dayak tanaman ini tidak ada matinya. Karena bagi mereka rotan tidak hanya sebagai komoditas dan uang, namun sebagai budaya yang harus dijaga.***

Sumber: Kompas.com, VOAIndonesia.com, goodnewsfromIndonesia.id