Asfinawati, S.H.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
Lentera Bagi Para Pencari Keadilan
Jujur, ulet, dan pantang menyerah. Asfinawati adalah seorang pejuang dan advokat hak asasi manusia. Dipercaya menjadi Ketua YLBHI 2017-2021, membuatnya semakin konsisten memperjuangkan hak-hak kaum minoritas yang tertindas dan para pencari keadilan.
Matahari baru sepenggalah ketika Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati dan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Alghiffari Aqsa mendatangai ke gedung tersebut pada Jumat, 22 September 2017. Baru melewati pagar, dua advokat publik itu melihat suasana kantor harian mereka bak kapal pecah. Hamparan bongkahan batu. Rontokan daun. Serakan sampah plastik. Semuanya menjejali halaman YLBHI.
Pagi itu, dua advokat publik ini berniat membuka kembali aktivitas rutin kantor mereka, menampung pengaduan dan konsultasi hukum. Sudah empat hari agenda pelayanan bagi para pencari keadilan terhenti karena insiden penyerangan pada Minggu (17/9/2017) malam hingga Senin (18/9/2017) dini hari.
Menyegarkan ingatan, pada Minggu 17 September 2017 sekitar pukul 21.30 WIB, puluhan orang menggelar unjuk rasa di depan Kantor YLBHI. Dalam orasinya, mereka meminta pihak YLBHI menghentikan acara yang digelar di dalam gedung sejak sore. Mereka menuding acara tersebut merupakan sebuah diskusi soal kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI). Tidak hanya berorasi, mereka juga meminta dan memaksa masuk ke dalam kantor YLBHI.
Massa aksi terus meneriakkan kata-kata yang cenderung kasar karena pihak YLBHI tidak bisa memenuhi permintaan tersebut. Jumlah mereka pun semakin bertambah banyak.
Asfinawati mengatakan, saat itu pihaknya memang menyelenggarakan sebuah acara bertajuk ‘Asik Asik Aksi’. Acara tersebut merupakan sebuah bentuk kebebasan berekspresi melalui puisi, musik, dan stand up comedy yang dimulai sejak pukul 15.00 hingga pukul 21.00. Saat malam penyerangan Gedung YLBHI, sebagian pengunjung acara, terutama orang-orang tua dan perempuan, dievakuasi ke lantai 2 dan 3.
“Di dalam gedung, suasananya mencekam. Massa di luar menyanyikan ‘Indonesia Raya’. Kami merespons dengan menyanyikan lagu yang sama. Itu adalah lagu kebangsaan,” ujar Asfin, demikian perempuan 42 tahun ini kerap disapa.
Di luar halaman YLBHI, 500 personel kepolisian gabungan dari Polda Metro Jaya, Polres Jakarta Pusat, dan Polsek Menteng bersiaga. Ada juga dua truk meriam air DWC6500 berkapasitas 6.500 liter dan satu truk lapis baja Barracuda.
Asfinawati masih mengira-ngira arus apa yang bisa mendorong 1.000-an orang bergerak begitu cepat ke areal Menteng, lokasi kantor LBH Jakarta dan YLBHI, pada akhir pekan itu.
“Tidak mungkin tidak ada yang melakukan perencanaan,” ujarnya.
Pola menggerakkan massa semacam ini, menurutnya, marak pada masa pemerintahan Soeharto. Terlebih sentimen yang dibangun adalah label “komunis” atau “PKI” terhadap kelompok masyarakat yang dianggap mengganggu kekuasaan. Kasus-kasus perampasan tanah dan pembelaan terhadap perjuangan buruh, misalnya, sangat mudah dipukul jika disematkan label “komunis”.
“Pola ini berulang dan menimpa juga kelompok minoritas keagamaan. Di pengadilan, ada berbagai kebohongan yang dilabelkan kepada mereka. Misalnya Syiah Sampang, dikatakan orang Syiah kalau dikuburkan pakai kain kafan hitam, itu tidak benar,” ujar Asfinawati, yang mengadvokasi kasus-kasus hukum minoritas agama di Indonesia.
Permasalahan semacam ini harus segera didalami pihak kepolisian tanpa perlu menunggu adanya aduan, sebab menurut Asfinawati, penyerangan dilakukan secara terbuka dan diketahui secara luas oleh publik.
“Peristiwa ini ancaman bagi demokrasi dan para pencari keadilan.”
***
Asfinawati adalah seorang pejuang dan advokat hak asasi manusia. Ia terpilih sebagai Ketua YLBHI menggantikan Alvon Kurnia Palma yang telah usai masa pengabdiannya. Resmi dilantik pada 10 Januari 2017, perempuan berkacamata ini akan memimpin kantor YLBHI yang beralamat di Jl. Diponegoro No.74 hingga empat tahun ke depan, tepatnya 2021.
Asfin menyelesaikan pendidikan hukum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI). Bergabung sebagai pengacara publik di LBH Jakarta sejak tahun 2000, Asfin telah berkontribusi untuk memberi pembelaan pada kelompok minoritas di Indonesia.
Menjadi pengacara publik sudah lekat pada diri Asfin yang piawai bermain piano ini. Sejak 2000-2009 Asfin menjadi pengacara publik di LBH Jakarta. Tahun pertama bergabung LBH Jakarta Asfin menjabat sebagai asisten pengacara publik.
Ada dua alasan dirinya mau menjadi punggawa YLBHI. Pertama, ada beberapa orang di YLBHI yang masih punya visi dan misi yang sama dan untuk memperbaiki masalah yang ada di Indonesia saat ini tidak bisa dilakukan sendirian. Kedua, demokrasi Indonesia sesungguhnya berada dalam kondisi kritis. Masa transisi demokrasi yang dimulai sejak 1998 belum selesai. Indonesia punya peluang untuk menyelesaikan transisi itu atau malah mundur kembali ke masa orba.
Asfin melihat ada ancaman yang berpotensi memukul mundur demokrasi Indonesia seperti adanya pembubaran pemutaran film, diskusi dan peluncuran buku, serta pelarangan demokrasi dan tuduhan makar. Tapi, ada keinginan pemerintah untuk memperbaiki hal itu.
Oleh karenanya, dalam kepemimpinannya nanti YLBHI harus fokus memfasilitasi 15 kantor LBH yang ada di berbagai daerah. Dengan begitu YLBHI juga memfasilitasi masyarakat yang merupakan konstituen LBH.
Menjadi fasilitator bukan tugas mudah, YLBHI dan LBH harus melihat kasus yang ditangani jauh ke depan dan menelusuri kebijakan atau struktur hukum apa yang bermasalah. YLBHI dan LBH harus bersama masyarakat dalam memperbaiki itu.
Bagi Asfin, tanpa dukungan masyarakat kerja-kerja YLBHI dan LBH tidak akan berhasil. Untuk mewujudkan perbaikan tidak cukup hanya menyasar bidang hukum, tapi butuh gerakan sosial masyarakat. Seperti perbaikan hukum yang dibawa arus reformasi, telah menghasilkan banyak komisi negara, tapi sampai saat ini belum membuahkan perubahan yang signifikan.
“Gerakan sosial harus didorong terus maju, dengan begitu masyarakat menjadi agen perubahan,” kata Afin.
Untuk internal, Asfin berpendapat YLBHI perlu mengatur manajemen agar lebih baik sehingga kemajuan dan pengetahuan yang sudah dihasilkan lewat kerja-kerja selama ini bisa ditingkatkan. YLBHI harus banyak mendengar kebutuhan 15 kantor LBH dan secara bersama mewujudkannya.
Asfin berharap dalam kepemimpinannya kerja-kerja yang dilakukan YLBHI dan LBH bisa berdampak signifikan terhadap perubahan negara menjadi lebih baik. “Serta mampu menuntaskan transisi demokrasi yang nyaris mundur. Transisi demokrasi yang dimulai sejak 1998 menurut saya belum selesai,” ujar dosen hukum acara pidana di Sekolah Tinggi Hukum Jentera ini.
***
Asfinawati lahir di Bitung, 26 November 1976. Setidaknya ada tiga kota sempat ditinggali Asfin kecil bersama keluarganya hingga dewasa, yakni Denpasar, Langsa (Aceh Timur), dan Jakarta.
Asfin kecil mengaku malas belajar. Tapi, katanya, pantang bagi bocah cerdas ini untuk menyontek. Karena itulah dia sering menyelesaikan tugas secara dadakan di sekolah. Dari situ, katanya, dia belajar pantang menyerah dan mencoba hingga waktu terakhir.
“Ternyata jika kita mencoba dengan yakin, semepet apapun kondisi dapat kita lalui,” cetus Asfin yang dididik untuk mandiri sejak belia.
Kegemarannya membaca, membawa konsekuensi. Dia harus pandai berhemat uang jajan untuk bisa membeli buku yang diidamkan. “Sejak SD, saya dan kakak saya biasa berjalan kaki untuk menghemat uang agar bisa membeli buku cerita yang kami inginkan,” kenangnya.
Tak ada yang menyangka bahwa Asfin yang piawai bermain piano dan sempat menjadi guru les piano ini akhirnya berubah haluan menjadi pengacara publik dan konsisten dengan perjuangannya. Sejak 1999, Asfin yang kala itu masih menjadi mahasiswa FH UI telah bergabung dengan LBH Jakarta. Kala itu, Asfin telah menjadi aktivis yang memperjuangkan hak-hak buruh dan kaum minoritas.
“Dia itu orang yang mampu untuk bisa berinteraksi dengan masyarakat. Dia mampu menggabungkan antara kepastian hukum dan keadilan,” kata Alvon Kurnia Palama, Ketua YLBHI 2012-2016, dalam sebuah kesempatan.
Dipercaya menjadi penurus LBH Jakarta pada 2001, membuat Asfinawati semakin konsisten memperjuangkan hak-hak kaum minoritas yang tertindas. Hingga akhirnya Asfin terpilih dan dilantik menjadi Ketua YLBHI pada Januari 2017 lalu.
Sikap Asfin yang memilih memperjuangkan hak kaum marginal tidak terlepas dari kegemaran membaca yang ditekuni sejak belia. Saat kecil Asfinawati bersama keempat saudaranya gemar membaca buku-buku kisah perjuangan para pembela keadilan. Hal ini menjadi salah satu faktor Asfin memilih kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, selepas menamatkan pendidikan di SMA Negeri 6 Jakarta Selatan.
Keputusan untuk menjadi pejuang di bidang HAM bukan perkara mudah. Pasalnya, sejak kecil Asfin justru lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bermusik. Bahkan, Asfin sempat menjadi guru piano selama beberapa tahun dengan penghasilan yang lumayan. Namun ketika kesibukannya di LBH Jakarta kian menumpuk, ia memilih untuk meninggalkannya.
Tahun pertama bergabung LBH Jakarta, Asfin menjabat sebagai asisten pengacara publik. Ketika itu, dia pesimis karena advokasi yang dilakukan tidak mampu memberi keadilan seperti yang diharapkan. Tapi dia tidak mau meninggalkan tugas di LBH karena tidak ingin para korban yang menjadi kliennya merasa dikhianati. Hal itu yang mendorong Asfin terus menjadi pengacara publik di LBH Jakarta sampai sembilan tahun.
Selama mengabdi di LBH Jakarta, telah banyak kasus yang ditangani Asfin, mulai dari isu perburuhan, sengketa tanah, kebebasan beragama dan berkeyakinan, hingga kekerasan seksual. Tantangan yang dihadapi dalam mendampingi kliennya biasanya terkait pandangan masyarakat seperti demonstrasi buruh dianggap merugikan padahal posisi buruh sebagai korban yang terabaikan hak-haknya.
Walau menyandang status pengacara publik, Asfin mengatakan bukan berarti dirinya paling mengerti hukum. Malah pengacara publik LBH lebih banyak belajar dari para kliennya karena mereka paling paham masalah yang dialami. Pengacara publik juga belajar dari para korban dalam hal ketahanan mempertahankan hak.
Kini, sebagai orang nomor 1 di YLBHI, Asfin mempunyai tugas besar. Bersama 15 LBH lainnya, ia tidak hanya memperjuangkan hak-hak kaum marjinal di Jakarta, tapi juga di seluruh Indonesia.
Satu catatan penting dari Asfinawati: untuk menjadi bangsa yang sejahtera, Indonesia harus bisa melepaskan diri dari kedangkalan berpikir dan artifisial. “Jangan lebih mementingkan bungkus daripada isi,” pungkasnya. #
Riwayat Hidup
Biodata
Nama : Asfinawati, S.H.
Tempat/Tangal Lahir : Bitung, 26 Nopember 1976
Email : tawafin@yahoo.com
Aktivitas : Advokat / Dosen
Jabatan : Ketua Yayasan Lembaga Bnatuan Hukum Indonesia 2017-2021.
Pendidikan
SD Yasporbi, Jakarta
SD Saraswati, Denpasar-Bali
SDN 01 Langsa-Aceh Timur 1983 – 1989
SMPN 68 Jakarta Selatan 1989 – 1992
SMUN 6 Jakarta Selatan 1992 – 1995
Strata 1 Fakultas Hukum Universitas Indonesia 1995 – 2002
Kursus
Karya Latihan Bantuan Hukum – LBH Jakarta
Pelatihan Pendampingan Hukum berperspektif Gender – LBH APIK
Trial Advocacy Training – YLBHI, LDF
New Tactics on Human Rights – Forum Asia
Workshop Training Making Legal Service Provision an Effective Human Rights Strategy – Global Rights
Feminist Legal Theory and Practice – Asia Pacific for Law and Development (APWLD)
Pengalaman Kerja
2015 – sekarang : Dosen Jentera Law School
2009 – sekarang :Volunteer pada KASUM
2007 – 2009 : Koordinator Divisi Hukum KASUM (Coallition for Munir Case)
Agustus 2006 – 2009 : Direktur LBH Jakarta
Januari – Agustus 2006 : Koordinator Divisi Penanganan Kasus LBH Jakarta
2003 – 2005 : Koordinator Study and Research Division
2001 – 2003 : staff of Labour Division – LBH Jakarta
1999 – 2001 : volunteer at LBH Jakarta#