Operasi Teknologi Modifikasi Cuaca

 

 

Kekinian, Teknologi Modifikasi Cuaca telah berkembang pesat. Tak hanya untuk pertanian, kini TMC juga digunakan untuk mitigasi bencana.

 

 

TOKOH INSPIRATIF – Teknologi Modifikasi Cuaca yang kini hangat diperbincangkan sebenarnya bukan hal baru di Republik ini.

Teknologi Modifikasi Cuaca telah digunakan pemerintah Indonesia sejak 1977 dengan tujuan untuk mendukung sektor pertanian yang tengah digalakan.

Dikenal dengan istilah hujan buatan, ide membuat Teknologi Modifikasi Cuaca muncul saat Presiden Soeharto melihat pertanian di negara Thailand yang cukup maju.

Setelah mengamati, Presiden Soeharto pun jatuh pada kesimpulan bahwa majunya pertanian di negeri gajah putih itu disebabkan karena suplai kebutuhan air pertanian dibantu oleh Teknologi Modifikasi Cuaca.

Kemudian, Presiden Soeharto pun mengutus Menristek BJ Habibie untuk mempelajari Teknologi Modifikasi Cuaca.

Dan, pada 1977, proyek percobaan hujan buatan pertama dimulai dengan asistensi dari Thailand. Fokusnya untuk mendukung sektor pertanian dengan cara mengisi waduk-waduk strategis baik untuk kebutuhan PLTA atau irigasi.

Grafis operasi Tekonologi Modifikasi Cuaca

Ilustrasi teknik penebaran bibit garam di angkasa untuk menyemai hujan dalam operasi Teknologi Modifikasi Cuaca

Kekinian, Teknologi Modifikasi Cuaca telah berkembang pesat. Tak hanya untuk pertanian, kini TMC juga digunakan untuk mitigasi bencana.

Hal ini seiring dengan frekuensi bencana hidrometeorologi semakin meningkat dalam satu dekade terakhir. Bencana meliputi kebakaran hutan dan lahan, longsor, dan banjir.

Tren permintaan TMC kemudian meluas sesuai kebutuhan, seperti penanggulangan kebakaran hutan dan pembasahan lahan gambut, penangulangan banjir dan pengurangan curah hujan ekstrem, hingga pengamanan infrastruktur dan acara besar kenegaraan.

Pertama kali, operasi TMC yang bertujuan untuk mengurangi curah hujan diaplikasikan untuk mendukung kelancaran penyelenggaraan SEA Games XXVI Palembang 2011, kemudian dilakukan untuk penanggulangan banjir Jakarta pada 2013, 2014, dan 2020, MotoGP Mandalika 2022, hingga yang terakhir KTT G20 2022.

Saat pergantian tahun 2022 ke 2023, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi selama sepekan sejak periode Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2023, sejumlah wilayah Indonesia, khususnya Pulau Jawa, berpotensi mengalami hujan dengan intensitas lebat hingga sangat lebat.

Atas dasar itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melalui surat resminya pada 23 Desember 2022, meminta BRIN untuk melaksanakan operasi Teknologi Modifikasi Cuaca di wilayah Jawa Barat.

Untuk itu, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama dengan (BNPB), BMKG, dan TNI-AU melakukan operasi TMC, untuk mengantisipasi cuaca ekstrem di Jawa Barat. Hal ini dilakukan untuk mengurangi intensitas curah hujan selama periode Nataru.

Koordinator Laboratorium Pengelolaan Teknologi Modifikasi Cuaca BRIN Budi Harsoyo menyatakan, operasi TMC difokuskan pada tiga titik rawan banjir jalur transportasi darat di area Pantura, yakni di Jembatan Cipunegara, km 136, dan km 151 ruas Tol Cipali.

Budi Harsoyo menjelaskan, dalam pelaksanaan operasi ini juga memperhatikan informasi kejadian bencana yang dirilis oleh BNPB, seperti banjir atau longsor.

“Di titik-titik yang terjadi banjir atau longsor kita akan coba hindari penyemaian garam (NaCl), paling aman adalah menyemai di wilayah perairan laut, sehingga hujan dapat diturunkan di laut,” katanya, di tengah persiapan operasi TMC di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Kamis (29/12/2022).

Dalam operasi TMC tersebut, BRIN mengerahkan 15 personel peneliti dan perekayasa.

Setiap hari, tim operasi TMC merencanakan enam sorti penerbangan penyemaian awan. Namun, aktualnya menyesuaikan dengan seberapa tinggi potensi hujannya.

Saat pelaksanaan operasi TMC, ulas Budi, tim juga mencoba untuk mendistribusikan curah hujannya.

“Artinya, tidak mungkin meniadakan hujan sama sekali kalau potensi ancamannya sudah sedemikian tinggi. Tapi kita akan mencoba mengupayakan meredistribusi curah hujannya, baik secara spasial, maupun temporal,” jelas peneliti BRIN tersebut.

Waktu terbang hanya sejak pagi sampai dengan batas matahari terbenam, sekitar pukul 17.15 WIB. Hal ini mengingat penerbangan modifikasi cuaca merupakan penerbangan berisiko tinggi.

Kepala Dinas Penerangan TNI AU Indan Gilang menambahkan, operasi TMC direncanakan berlangsung selama periode 25 Desember 2022 sampai 3 Januari 2023, dengan didukung oleh dua unit armada pesawat Cassa 212-200 yang didatangkan dari Skadron Udara 4 Lanud Abdulrahman Saleh, Malang.

Untuk operasi ini, total kru yang dilibatkan berjumlah 22 orang.

Sampai dengan Kamis (29/12/2022), garam yang disemai kurang lebih 8,8 ton, dengan jumlah jam terbang 20 jam dalam 12 sorti. Setiap sorti penerbangan, pesawat Cassa membawa 800 kg garam.

Dari pantauan, rata-rata pergerakan angin saat ini dari barat ke utara. Oleh karena itu, Tim TMC mempercepat pertumbuhan awan dengan penyemaian garam, sehingga pertumbuhannya berada di wilayah laut khususnya di Selat Sunda.

Dengan begitu, hujannya diturunkan di sana, sehingga tidak sempat masuk ke daratan. Hal serupa juga diterapkan wilayah Jawa Barat bagian selatan.*