Cara GMSS Merawat Sungai Karang Mumus

Komunitas pecinta sungai yang tergabung dalam Gerakan Memungut Sehelai Sampah (GMSS) di Sungai Karang Mumus, Samarinda, Kalimantan Timur, menginisiasi gerakan menyelamatkan Sungai Karang Mumus yang kini mengalami kerusakan.

Bau menyengat dan air hitam legam menjadi pemandangan sehari-hari aliran Sungai Karang Mumus yang membelah Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Selain dipenuhi sampah, Daerah Aliran Sungai (DAS) Karang Mumus juga dikepung usaha pertambangan batubara yang luasnya mencapai 12.236,4 hektar atau sekitar 55,2 persen dari wilayah DAS Karang Mumus.

Tak salah bila kondisi anak Sungai Mahakam yang memiliki panjang aliran 34,7 kilometer ini kian mengenaskan. Padahal, Sungai Karang Mumus masih berfungsi sebagai sumber air bersih, pengendali banjir, penyelamat ekologi, dan berpotensi jadi hutan lindung.

Prihatin dengan kondisi Sungai Karang Mumus, komunitas pecinta sungai yang tergabung dalam Gerakan Memungut Sehelai Sampah (GMMS) di Sungai Karang Mumus (SKM) Samarinda, menginisiasi gerakan menyelamatkan Sungai Karang Mumus.

Didirikan sejak 2016, saat ini GMSS-SKM berhasil menanam sekitar 9.000 pohon di sepanjang ruas sungai. “Pohon yang kami tanam ini berada di jalur hijau kanan maupun kiri Sungai Karang Mumus dengan ruang yang termanfaatkan baru sekitar 1,5 km di kedua sisinya, sehingga masih luas ruang yang belum tertanami,” kata Ketua GMSS-SKM Samarinda, Misman, di Samarinda, dilansir dari antaranews.com.

Hampir semua pohon yang ditanam merupakan tanaman khas sungai. Untuk memastikan pohon dapat tumbuh dengan baik, maka ia bersama anggotanya dan masyarakat yang peduli terhadap kebersihan air dan fungsi sungai kerap merawat pohon tersebut. Bersama-sama mereka menyiram, membersihkan rumput di sekitar pohon yang masih kecil, maupun menyulam tanaman yang mati.

Misman mengaku senang karena banyak masyarakat perseorangan maupun atas nama kelompok dan lembaga yang datang untuk membantu. Bahkan ada juga bantuan bibit pohon dari dinas dan lembaga.

“Kelompok yang datang untuk menanam cukup banyak dan berasal dari berbagai latar belakang baik mahasiswa, pemerintah, organisasi kemasyarakatan, dan lainnya. Mereka biasanya melakukan giat di momentum tertentu seperti peringatan lembaganya, peringatan Hari Air, Hari Bumi, dan berbagai momentum lain,” katanya.

Sayangnya, meskipun banyaknya kelompok yang datang menanam pohon tersebut, kata dia, hanya sedikit yang datang kembali untuk merawat tanamanya maupun membantu pembibitan. Jika ada yang kembali, maka apreasiasi tinggi ia ucapkan karena gerakan ini merupakan inisiatif pribadi yang dilandasi dari kesadaran terhadap lingkungan.

“Kalau tidak ada komunitas yang datang, ya dengan beberapa anggota saja kita merawat maupun membibitkan, terutama dengan Mas Yus (Yustinus – salah seorang pengurus GMSS-SKM). Kalau pun semua lagi ada kerjaan lain, ya saya sendiri merawat semampunya,” ucap Misman.

Dalam usaha menciptakan hutan kota dari jalur SKM demi kemaslahatan umat, ia mengaku senang jika ada lembaga maupun pemerintah yang mengapresiasi apalagi membantu. Namun jika tidak ada yang membantu pun, itu bukan masalah karena ia akan terus berbuat semampunya.

Lebih jauh tentang kondisi DAS Karang Mumus, Yustinus Sapto Hardjanto, Co Founder Sekolah SKM, menjelaskan, terdapat tiga titik kritis kerusakan di Sungai Karang Mumus sehingga perlu mendapat perhatian serius. Ini karena SKM masih berfungsi sebagai sumber air bersih, pengendali banjir, penyelamat ekologi, dan berpotensi jadi hutan lindung.

“Tiga titik kritis kerusakan pada SKM adalah berada di bagian hulu, tengah, dan bagian hilir,” ujar Yustinus.

Ia menjelaskan bahwa permasalahan di SKM secara kasat mata memang pada area badan atau aliran sungainya, namun sesungguhnya permasalahannya jauh lebih besar dari itu, yakni ada pada daerah aliran sungai nya. DAS SKM menjadi salah satu DAS terkritis di Provinsi Kaltim.

Secara umum, lanjut Yustinus, penggunaan lahan di DAS Karang Mumus tidak berkesesuaian. Bagian hulu yang merupakan daerah lindung dan merupakan area tangkapan air yang mestinya berupa kawasan hutan atau lahan dengan tutupan vegetasi rapat, justru digunakan untuk kepentingan pertambangan dan perladangan/kebun terbuka.

Akibatnya, koefisen air permukaan yang tinggi saat musim hujan akan menimbulkan erosi. Transport sedimen yang besar membuat sungai menjadi dangkal karena endapan lumpur. Rendahnya resapan air hujan di bagian hulu akan membuat kehilangan mata air yang akan menjaga pasokan air di musim kemarau.

Pada bagian tengah DAS Karang Mumus, konversi lahan juga terjadi pada area-area lahan basah, rawa atau kolam retensi alamiahnya. Rawa diuruk untuk permukiman, lahan basah dikonversi menjadi lahan kering sehingga sungai kehilangan area penampungan air. Akibatnya, limpasan air permukaan saat hujan langsung masuk ke sungai sehingga sungai meluap.

Bagian tengah SKM juga kehilangan zona perlindungan terakhirnya, yaitu riparian (tumbuh di kanan dan kiri sungai). Tutupan vegetasi yang menjadi ekosistem penghubung antara air dan daratan telah hilang. Selain hilangnya fungsi infiltasi dan filtrasi, kehilangan riparian juga berarti kehilangan kekayaan biodiversiviti, bahkan kehilangan aneka tumbuhan dan faunanya baik di darat maupun di air.

Bagian hilir SKM juga kehilangan sistem filtrasi alam karena kanan kiri sungai telah dibeton, sehingga air limpasan masuk secara langsung lewat saluran drainase.

“Inilah yang menyebabkan bagian hilir hanya ikan sapu-sapu yang berkembang, sedangkan ikan lain cenderung menghilang akibat minimnya pasokan nutrisi alamiahnya, yakni tidak adanya rerumputan dan pepohonan karena semuanya dibeton,” pungkas Yustinus.#