Cara Milenial Menjaga Bumi

Lewat penelitiannya, Intan dan Shofi menginspirasi anak-anak muda untuk berkontribusi dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang ditemui di lingkungan sekitar, menjawab kebutuhan bangsa, serta menjaga keberlanjutan alam.

Maraknya aktivitas tambang timah di perairan Bangka, membuat ekosistem di perairan Bangka Belitung (Babel) rusak parah. Kondisi ini mengundang keprihatinan dari berbagai kalangan, tak terkecuali bagi dua siswi SMA 1 Sungailiat, Bangka, Provinsi kepulauan Bangka Belitung.

Merasa terusik dengan dampak buruk pencemaran akibat aktivitas pertambangan timah yang ada di sekitarnya, Shofi Latifah Nuha Anfaresi dan Intan Utami Putri tergerak untuk menyelamatkan perairan Bangka melalui sebuah penelitian.

“Daerah pantai Bangka berair keruh akibat pembuangan hasil samping proses pengolahan biji timah,” tutur Shofi dalam diskusi Millenial Talks “Research, Film and Young Inventor” yang terselanggara atas kerja sama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia di Jakarta, Senin, 1 April 2019.

Di tengah jadwal padat sekolahnya mempersiapkan ujian nasional tingkat SMA kala itu, Shofi ingin mencari solusi untuk masalah limbah tambang timah di laut lepas melalui penelitian. Atas saran guru pembimbingnya di SMA Negeri 1 Sungailiat, Shofi mengajukan penelitian perdananya untuk diperlombakan dalam ajang Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) ke-48 yang diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Karena fasilitas laboratorium sekolahnya tidak memadai untuk melakukan penelitian, Shofi dan Intan harus sering bolak-balik ke laboratorium di Universitas Bangka Belitung. Shofi yang kurang jago dalam pelajaran kimia, hal itu jadi hambatan dalam penelitian. Tapi dia pantang menyerah. Itu sebabnya, ia rela ke Jakarta untuk berdiskusi langsung dengan sang mentor. Karena Shofi diajari langsung dengan praktek, ia merasa lebih cepat paham. Dia pun terpaksa menguras isi tabungannya untuk ongkos terbang ke Jakarta.

Selama masa penelitian, Shofi dan Intan bekerja sama dengan PT Timah Tbk untuk melakukan observasi dan mengambil sampel di area penambangan timah. Menurut pengamatan mereka, PT Timah memang telah melakukan beberapa upaya konservasi untuk area yang ditambang, salah satunya dengan membuat karang buatan.

Namun upaya itu belum cukup karena karang akan kembali tertutup sedimen logam. “Mereka ada usaha, tapi tidak tampak pengaruhnya. Makanya kami berniat memberi solusi yang lebih mudah dikerjakan,” kata Shofi.

Dari hasil penelitiannya, Shofi menemukan fakta bahwa pasir di laut Bangka yang mengandung timah dan silika bisa menyerap logam berat timbal (Pb) dari sedimen pertambangan.

Sukses dengan penelitian tersebut, dua dara itu berhasil memenangi Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) 2016. Keduanya juga berkesempatan mengikuti dan menampilkan karyanya dalam kompetisi ilmiah internasional untuk remaja, Intel International Science and Engineering Fair 2017, di Los Angeles, Amerika Serikat. Ajang itu diikuti peneliti-peneliti muda pilihan berasal dari 78 negara.

Meskipun tidak berhasil membawa kemenangan ke Indonesia dari ajang itu, tetapi setidaknya Intan dan Shofi menjadi peserta yang mewakili anak muda Indonesia yang mendorong kesadaran akan peduli lingkungan dan menggunakan penelitian untuk mengatasi masalah lingkungan.

Lewat penelitiannya, Intan dan Shofi telah menginspirasi anak-anak muda untuk berkontribusi dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang ditemui di lingkungan sekitar, menjawab kebutuhan bangsa, serta menjaga keberlanjutan alam.

Tak disangka, perjalanan dua peneliti muda ini menjadi salah satu inspirasi film ‘Inventing Tomorrow’ dan menjadi salah satu bagian cerita di sana.

Inventing Tomorrow merupakan film dokumenter besutan sutradara Laura Nix. Film ini merekam kisah inspiratif para peneliti muda dari empat negara yang menjadi peserta dalam ajang International Science and Engineering Fair 2017, yakni Indonesia, Hawaii, India, dan Meksiko yang memiliki semangat juang untuk menyelesaikan masalah lingkungan di sekitar mereka.

Film berdurasi 87 menit ini mengungkap perjalanan para peneliti muda tersebut yang berupaya mencari solusi berbasis sains untuk mengatasi permasalahan lingkungan sekitar mereka. Permasalahan lingkungan mencakup tanah yang tercemar arsenik, udara yang tercemar limbah industri; danau yang tercemar limbah, mengalami eutrofikasi dan sekarat; serta laut yang tercemar hasil samping proses pertambangan timah.

Film mengambil latar belakang kehidupan sehari-hari para peneliti muda itu, bagaimana mereka hidup di tengah lingkungan yang sedang menderita, hingga cara mereka mempersiapkan hasil penelitian yang menjawab masalah lingkungan yang menjadi sorotan hasil penelitian mereka hingga proses mereka berkompetisi di ajang internasional.

Film itu juga menyiratkan bagaimana solusi ilmiah dan teknologi dapat berkontribusi bagi penyelamatan lingkungan. Pada permasalahan industri yang menghasilkan limbah yang berbahaya bagi lingkungan, penutupan industri bukan serta merta menjadi solusi di mana industri justru menjadi tulang punggung perkembangan ekonomi di wilayah itu, namun dapat dicarikan solusi agar limbah tersebut disaring sehingga tidak melepaskan partikel berbahaya ke udara dan air.

Beberapa penghargaan telah diraih film yang akan diputar di Amerika Serikat, Norwegia, dan Australia ini, yakni memenangi ajang Documentary Competition Award di Seatle International Film Festival 2018 dan menjadi nomine Grand Jury Prize di Sundance Film Festival 2018.

Laura menuturkan, film menjadi bahasa universal untuk membangkitkan kepedulian masyarakat global serta menginspirasi anak-anak muda untuk berkontribusi pada penyelamatan lingkungan. Lewat film ini, Laura ingin mendorong masyarakat untuk bercermin pada tindakan sehari-hari yang ternyata telah merusak lingkungan dan mulai untuk meninggalkan praktik lama perusakan lingkungan, seperti pembuangan limbah rumah tangga tanpa ada proses penyaringan bahan berbahaya ke air dan tanah.

“Ini adalah masalah moral untuk menjaga keberlanjutan bumi,” tutur Laura yang berharap dengan film ini dapat menggugah para pembuat kebijakan untuk membuat aturan yang berpihak pada penyelamatan lingkungan.

Sekarang, katanya, adalah waktu untuk melakukan perubahan dalam tindakan dan pola pikir untuk tidak lagi merusak lingkungan akibat berbagai aktivitas di muka Bumi.

Sekretaris Utama LIPI Nur Tri Aries menuturkan film dokumenter yang menampilkan karya penelitian anak muda Indonesia itu akan mengharumkan nama bangsa dan mempromosikan Indonesia ke dunia.

“Menjadi generasi sains, menjadi peneliti ilmuwan itu sekarang harus mengikuti perkembangan zaman, mengikuti teknologi-teknologi yang bisa diakses dengan lebih mudah untuk mempromosikan sains seperti halnya kalau kita menonton di televisi,” ujarnya.

Dia berharap, akan banyak anak muda yang lahir untuk menjadi peneliti yang mampu menjawab berbagai tantangan bangsa dan dunia dalam upaya menciptakan dunia yang lebih baik.#