Dewi Rejeki, S.Pt., M.M.
Kelapa Bidang Sosial Budaya pada Bappeda Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi.
Belajar Keberpihakan dari Bappeda Bungo
Sistem jemput bola untuk menangani kebutuhan warga Suku Anak Dalam menjadi hal luar biasa karena belum pernah dilakukan oleh pejabat-pejabat sebelumnya. Dewi Rejeki dengan wewenang yang dimiliki berhasil mendorong percepatan pembangunan bagi warga SAD di wilayahnya, mulai dari pencatatan sipil, pendidikan, kesehatan, hingga kesejahteraan. Bahkan, saat ini tercatat sudah ada 37 warga SAD yang memiliki Kartu Keluarga dan sebanyak 117 warga SAD yang memiliki KTP Elektronik. Itulah kali pertama sejak Indonesia merdeka, warga suku anak dalam memiliki Kartu Tanda Penduduk.
Butuh keberpihakan agar pembangunan dan kesejahteraan bisa dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Ini agar pembangunan tidak terkonsentrasi di tempat tertentu sehingga pemerataan terjadi. Tak terkecuali pembangunan untuk suku minoritas yang telah ratusan tahun hidup di negeri ini.
Itu pula yang telah dilakukan dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi. Kabupaten yang berjarak sekitar 256 kilometer dari Kota Jambi ini sejak beberapa tahun terakhir merangkul Suku Anak Dalam dan Suku Orang Rimba dalam berbagai program pembangunan kesehatan, pendidikan, hingga kependudukan. Bahkan, sebagian besar warga Suku Anak Dalam kini telah memiliki Kartu Keluarga dan Katu Tanda Penduduk setelah sekian puluh tahun mereka menanti. Dengan memiliki KTP, mereka juga semakin mudah mendapatkan layanan kesehatan dan pendidikan.
Seperti diketahui, di beberapa kawasan belantara Kabupaten Bungo berdiam Suku Anak Dalam (SAD) atau Orang Rimba. Secara antropologis, suku ini berasal dari induk bangsa Wedoida dan mempunyai kearifan tersendiri dalam mendiami, menjaga, dan sekaligus melestarikan hutan. Suku nomaden ini hidup dengan mengandalkan hasil hutan seperti madu lebah hutan, mencari rotan, menyadap damar, atau menyadap karet liar untuk ditukarkan dengan kebutuhan sehari-hari yang tidak dapat mereka temukan di hutan.
Akhir-akhir ini, Orang Rimbo – demikian mereka lebih senang disebut – yang menurut survei KKI-WARSI pada 1998 berjumlah 794 jiwa ini semakin sering berpindah. Perpindahan mereka bukan hanya untuk melangun (perpindahan karena ada keluarga yang meninggal), tetapi juga akibat perluasan lahan perkebunan karet, kelapa sawit atau areal pertanian.
Adalah Dewi Rejeki, sosok paling berpengaruh dalam pemberdayaan suku minortas di kabupaten berjuluk “Langkah Serentak Limbai Seayun” ini. Dengan kewenangan yang dimiliki, Dewi berhasil mendorong berbagai program pembangunan bagi warga Suku Anak Dalam.
Empati Dewi terhadap kehidupan SAD bermula saat dirinya ditugaskan menghadiri acara sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat dari Inggris untuk melakukan penelitian terhadap Suku Anak Dalam tentang kehidupan mereka, kondisi mereka, dan apa yang sesungguhnya mereka butuhkan. Itu adalah tahun pertama Dewi bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di pemerintah Kabupaten Bungo.
Rupanya, pengalaman itu sangat membekas di hati. Maklum, Dewi yang terlahir di kota dan dari keluarga yang cukup berada, selama ini hanya mendengar nama Suku Anak Dalam dari pemberitaan media masa atau dari mulut ke mulut.
“Timbul rasa kasihan saya terhadap mereka. Aduh kok begini amat kehidupan mereka, padahal mereka sama-sama orang Indonesia. Harus ada yang mengangkat derajat mereka agar sama dengan kita,” ucap Dewi.
Di sisi lain, sudah menjadi rahasia umum, permasalahan suku minoritas kurang seksi bagi sebagian pejabat pemerintah di negeri ini, tak terkecuali oleh pemerintah daerah yang langsung bersinggungan langsung dengan keberadaan mereka. Namun itu tidak di mata Dewi.
Benar saja, setelah karir Dewi Rejeki semakin menanjak dan menduduki posisi penting di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bungo, sosok enerjik ini menunjukkan komitmennya untuk mengangkat kesejahteraan warga SAD melalui program-program khusus demi mengangkat derajat hidup mereka.
“Alhamdulillah, saya berdinas di bagian yang mengkoordinir program dana perencanaan. Kaitannya memberikan bantuan keuangan atau penganggaran ke instansi instansi teknis pemerintah. Tentu saja dengan posisi yang agak pegang kendali ini jadi lebih mudah bagi saya untuk memberikan alokasi anggaran kepada mereka sehingga mereka harus kita angkat, harus kita rangkul.”
Dewi tak menampik bahwa sejak Kabupaten Bungo resmi berdiri hingga sekarang, tidak banyak yang dilakukan pemerintah daerah terhadap Suku Anak Dalam. Boleh jadi ini karena personil pemerintah daerah yang tidak memiliki pengetahuan cukup tentang keberadaan SAD alih-alih pernah terlibat langsung menangani mereka.
Satu hal yang juga tak kalah penting adalah soal kemauan dari pesonil-personil PNS dan pejabat yang ada. “Bila tahu tapi tak mau, sama juga bohong,” sergahnya.
Dengan posisinya sekarang sebagai Kepala Bidang Sosial Budaya pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bungo, Dewi mengaku bisa lebih leluasa mengajak pihak-pihak yang berpengaruh dan berkepentingan untuk membuat program khusus bagi suku terpencil di Kabupaten Bungo ini. Memang, posisi Dewi belum di puncak pimpinan. Tapi setidaknya apa yang telah dia dilakukan telah mewarnai kebijakan dari para pengambil keputusan di sana.
Terkait SAD, biasanya Dewi secara resmi mengundang para kepala dinas untuk sebuah rapat koordinasi. Pada momen itulah Dewi memberikan masukan tentang pentingnya akses kesehatan, pendidikan, dan peningkatan kualitas hidup warga SAD. Dewi juga mengumpulkan semua unit pelaksana teknis (UPT) dan melibatkan semua unit teknis yang ada.
Tujuannya satu: “Kita harus melakukan sesuatu untuk mereka. Jadi, sekarang ayo kita bikin program. Nanti kita support anggaran. Itu tugas saya.”
Perlahan dan pasti, kerja keras Dewi dan aparatur Pemerintah Kabupaten Bungo menunjukkan hasil memuaskan. Data dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Bungo, saat ini tercatat sudah ada 37 warga SAD yang memiliki Kartu Keluarga dan sebanyak 117 warga SAD yang memiliki KTP Elektronik. Itulah kali pertama sejak Indonesia merdeka, warga Suku Anak Dalam memiliki Kartu Tanda Penduduk.
Dewi mengatakan, KTP merupakan kunci bagi seluruh pelayanan warga, tak terkecuali bagi SAD. “Kalau tidak punya KTP, mereka akan susah berobat karena tidak dijamin BPJS Kesehatan, anak-anak sekolah juga susah karena nggak punya KK. Semua pasti akan terhambat.”
Selesai urusan kependudukan, selanjutnya dinas kesehatan yang dirangkul. Rupanya tawaran Dewi mendapat sambutan hangat dari Ikatan Dokter Indonesia cabang Kabupaten Bungo. Bersama Dinas Keshatan Kabupaten Bungo, IDI kini rutin melakukan bakti sosial berupa pelayanan pengobatan berkala untuk SAD.
Dinas Pendidikan juga dirangkul untuk menekan angka buta aksara bagi warga SAD. Dalam hal ini Dinas Pendidikan Kabupaten Bungo yang ambil peran. Sementara itu, Dinas Perikanan Kabupaten Bungo kini juga telah menganggarkan untuk peningkatan kualitas hidup SAD dengan membuat kolam dalam. Dinas Pertanian turun tangan dengan memberikan bantuan bibit tanaman dan penyuluh pertanian.
“Alhamdulillah sambutan mereka luar biasa karena sesungguhnya warga Suku Anak itu ramah serta welcome untuk menerima kebaikan. Mereka juga sangat loyal,” kata lulusan magister manajemen Universitas negeri Jambi ini.
Inti dari semua perjalanan panjang Dewi dan kepedulian yang akhirnya diwujudkan dalam berbagai program pemberdayaan terhadap SAD adalah tentang keberpihakan. Harus motor dari pejabat yang berwewenang mengambil keputusan untuk melakukan sebuah gerakan nyata.
“Nah, poin yang bisa saya lakukkan adalah menggerakkan, memotovasi, dna supporting dana. Karena biasanya kepala UPT itu selalu terbentur soal pendanaan. Makanya saya berjanji akan bantu menggolkan anggaran saat pembahasan anggaran dengan DPRD. Alhamdulillah nggak banyak, tapi walaupun sedikit itu ada. Nah itu yang bisa saya lakukan.”
Sistem jemput bola untuk menangani kebutuhan masyarakat SAD ini menjadi hal luar biasa karena selama ini belum pernah dilakukan oleh pejabat-pejabat sebelumnya.
Dewi mengaku bahagia ketika berkunjung ke perkampungan warga SAD melihat kehidupan mereka sudah lebih baik. Mereka sudah memakai baju, sudah misa baca tulis, dan bahkan sudah beragama.
Tak mau berbangga diri, Dewi dengan rendah hati bahwa semua keberhasilan ini berkat kerjasama yang baik dengan semua pihak, baik Bapedda Bungo, Pemkab Bungo, DPRD Kabupaten Bungo, UPT-UPT terkait, dan semua warga Kabupaten Bungo.
***
Dewi Rejeki lahir di Jambi, 7 Semptember 1972. Anak kelima dari sepuluh bersaudara ini lahir dari keluarga berkecukupan. Ayahnya yang mantan aktifis kampus adalah seorang pengusaha di bidang infrastruktur jalan. Dewi kecil yang suka berpetualang sering diajak sang ayah untuk meninjau beberapa proyek di berbagai daerah.
Suatu ketika, Dewi diajak ke sebuah wilayah di Provinsi Jambi, di mana ada proyek jalan yang sedang dikerjakan ayahnya. Tak sengaja dia bertemu dengan warga SAD yang menurutnya unik. Sejak pertemuan itu, Dewi mempunyai rasa ingin tahu yang sangat besar terhadap keberadaan warga suku minoritas di Pulau Sumatera itu.
Waktu berlalu, Dewi pun tumbuh menjadi gadis remaja dan sudah berstatus mahasiswa Fakultas Peternakan di Universitas Negeri Jambi. Lulus kuliah, Dewi yang pernah bercita-cita menjadi dokter akhirnya mendaftar tes ujian Pegawai Negeri Sipil atas saran ibunda. Dewi pun lulus, dan sejak itu dia berdinas di Bappeda Kabupaten Bungo.
Dewi merintis karir dari bawah. Dengan loyalitas dan dedikasinya, perlahan namun pasti karir Dewi semakin meninggi. Tercatat Dewi pernah menduduki posisi Kasubbid. Tata Ruang Tata Guna Tanah Bappeda Bungo, Kasubbid. Lingkungan Hidup Bappeda Bungo, Kasubbid. Perumahan dan Lingkungan Bappeda Bungo, Kabid. Sarpras pada Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kab. Bungo, Kabid. Pasca Panen pada Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kab. Bungo, dan beberapa tahun terakhir dipercaya sebagai Kabid. Sosial Budaya pada Bappeda Kabupaten Bungo.
Dalam setiap posisi yang diamanahkan kepadanya, Dewi selalu melakukan yang terbaik. Karena baginya, setiap pekerjaan tak hanya dipertanggungjawabkan di dunia, tapi juga kepada Sang Pemilik Hidup dan Kehidupan.
Ke depan, Dewi berharap semua warga SAD mendapatkan hak dan perlakuan yang sama dengan warga lain di negeri ini. Warga SAD bisa mudah mendapatkan akses pendidikan, kesehatan, dan bisa meningkat kualitas hidup. Tidak ada lagi diskriminasi terhadap warga suku minoritas seperti mereka.
“Keberpihakan dari para pengambil kebijakan di pemerintahan sangat dibutuhkan untuk mendorong percepatan pembangunan warga suku minoritas seperti mereka,” kata Dewi.
Terakhir, Dewi mengusulkan ada reward and punishment dari pemerintah pusat kepada para kepala daerah dalam mengangkat harkat dan kehidupan warga suku terasing sehingga menjadi pelecut bagi mereka untuk berlomba memperbaiki kehidupan warga suku terasing yang selama ini minim perhatian, alih-alih sentuhan pembangunan.#
Riwayat Hidup
Nama : Dewi Rejeki, S.P.t, MM
TTL : Jambi, 7 September 1972
Jabatan : Kepala Bidang Sosial Budaya pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Kab. Bungo, Provinsi Jambi.
Suami : DR. Rd. Yudi Prawira Anjaya, SE, ME
Anak : 3 Orang (Putri Ulayya Anjaya, Mahasisiwi Kedokteran UNILA; Widya Fathaniah Anjaya, Pelajar SMN Titian Teras, Jambi; Aisya Ayra Ayudya Anjaya, TK Islam Terpadu Al Azhar)
Riwayat Pendidikan :
SD N 25 Kota Jambi
SMP N 8 Kota Jambi
SMA N 4 Kota Jambi
S1 UNJA Fak. Peternakan
S2 UNJA Magister Management
Riwayat Jabatan :
1. Kasubbid. Tata Ruang Tata Guna Tanah Bappeda Bungo
2. Kasubbid. Lingkungan Hidup Bappeda Bungo
3. Kasubbid. Perumahan dan Lingkungan Bappeda Bungo
4. Kabid. Sarpras pada Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kab. Bungo.
5. Kabid. Pasca Panen pada Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kab. Bungo
6. Kabid. Sosial Budaya pada Bappeda Kabupaten Bungo#