Dokter Atika

Kepala Puskesmas Limbur Tembesi, Kecamatan Bhatin VIII, Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi

Meretas Ketertinggalan Pelayanan Kesehatan Suku Anak Dalam

Sukses mendorong kebijakan dan anggaran untuk kegiatan pelayanan kesehatan bagi warga Suku Anak Dalam, dokter Atika konsisten menjalankan puskesmas keliling setiap bulan bagi SAD dan berperan aktif dalam pengurusan jamkesmas untuk komunitas SAD. Baginya, warga suku minoritas berhak mendapatkan hak pelayanan kesehatan yang sama, tanpa kecuali.  

Siang itu, setahun lalu, seorang ibu dengan tergopoh-gopoh mendatangi ke Puskesmas Limbur Tembesi, Kecamatan Bhatin VIII, Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi. Di dalam gendongannya, ada seorang bayi tanpa sehelai pun benang di badan. Bayi itu demam tinggi dan kejang.

Bergegas, dokter memeriksa bayi yang kondisinya makin melemah. Dokter meminta si ibu menyusui bayinya untuk mendapat asupan ASI. Namun ibu itu menolak.

Dari gejala dan indikasi yang ada, dokter menyimpulkan bayi itu terkena infeksi tetanus neonatorium, sebuah kejadian langka di jaman modern seperti sekarang. Infeksi tetanus ini terjadi karena pemotongan pusar dengan benda yang tidak steril.

Peralatan medis puskesmas yang terbatas, akhirnya dokter membuat surat rujukan ke rumah sakit besar. Berbagai surat kelengkapan untuk rujukan ke rumah sakit sudah dibuatkan. Harapannya agar si jabang bayi segera tertangani. Namun sayang, karena pengetahuan yang kurang, si ibu justru membawa bayi itu pulang. Dan sudah bisa diduga bagaimana nasib bayi malang itu selanjutnya

Ibu dan bayi itu adalah warga Suku Anak Dalam. Pengetahuan yang terbatas dan kebiasaan hidup berpindah membuatnya kurang tersentuh akses kesehatan.

Kejadian memilukan itu sangat membekas di hati dokter Atika, Kepala Puskesmas Limbur Tembesi. Pasca kejadian itu, dokter Atika memanggil 15 kepala desa yang berada di wilayah kerjanya untuk membuat pelayanan khusus terhadap Suku Anak Dalam.

Dokter Atika juga membuat kebijakan yang mewajibkan para ibu hamil Suku Anak Dalam untuk melahirkan di pusat pelayanan kesehatan Suku Anak Dalam, atau ke bidan desa. Selain kegiatan rutin Posyandu, pemeriksaan ibu hamil, dan ibu masa nifas, yang selama ini sudah rutin dilakukan.

“Jangan sampai ada kematian balita. Mereka (warga Suku Anak Dalam) harus ter-cover dengan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan,” tegas dokter Atika saat berbincang dengan tokohinspiratif.id di sela-sela acara Temu Pandu Iklusi Nusantara, di Yogyakarta, awal November 2018.

Rupanya kebijakan yang dibuat dokter Atika mempunyai dampak luar biasa bagi warga Suku Anak Dalam. Berawal dari keinginan untuk memberikan layanan kesehatan yang maksimal bagi warga Suku Anak Dalam, kini sebagian besar dari mereka akhirnya memiliki Kartu Tanda Penduduk Elektronik. Dan tentu saja KTP ini tak hanya untuk layanan kesehatan, tapi juga pendidikan dan banyak hal lain yang berhubungan dengann pencatatan sipil warga.

“Kami berhasil mendata KTP 97 jiwa. Setelah itu kami datangi Pemerintah Daerah Kabupaten Sarolangun untuk mengurus BPJS Kesehatan. Mengurus BPJS kan harus butuh KTP dan Kartu Keluarga,” terang dokter Atika.

Gayung bersambut. Semangat dokter enerjik ini menular kepada para kepala desa yang berada di wilayah kerjanya. Mereka pun kini kian aktif membantu warga, khususnya Suku Anak Dalam untuk membuat kartu BPJS Kesehatan yang didanai oleh dana kesehatan daerah.

Di mata dokter Atika, Suku Anak Dalam itu unik. Mereka belum terpapar dengan kehidupan dunia luar. Mereka masih mempercayai cara-cara tradisional yang kadang justru tak sejalan dengan dunia kesehatan. Mereka juga sulit sekali untuk menerapkan prilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) yang menjadi salah satu indikator gerakan sehat masyarakat.

“Untuk manusia awam, ngajak makan sayur dan buah saja sulit, apalagi warga Suku Anak Dalam,” kata dokter Atika yang akhirnya ‘double job’ antara menjadi dokter dan menjadi kepala puskesmas.

Pasca kejadian bayi tetanus itu, dokter Atika dalam posisinya sebagai kepala puskesmas semakin sering mendatangi desa warga yang ditinggali Suku Anak Dalam. Dia tak ingin serupa kejadian terulang. Untuk itu, Atika meminta kepada semua bidan desa untuk turun melakukan pembinaan khusus bagi seluruh warga Suku Anak Dalam.

“Kami ada tim berisi bidan, perawat dan dokter. Kami banyak bergerak di bidang kesehatan lingkungan dan promosi kesehatan.”

Atika menuturkan, sesungguhnya warga Suku Anak Dalam sangat terbuka untuk menerima informasi baru. Buktinya, ketika mereka mendapatkan kampanye prilaku hidup sehat, mereka tampak senang. “Bahkan dari kepala suku datang langsung kepada saya untuk minta diadakan acara seperti itu sering-sering,” kata dokter Atika yang akhirnya menetapkan tiap tanggal 20 untuk turun ke lapang.

Bukan perkara mudah mendatangi desa-desa di wilayah kerja puskesmas Limbur Tembesi. Jalanan berliku dan sempit, membuatnya harus berboncengan sepeda motor dengan stafnya. Kalau cuaca tak mendukung, hujan misalnya, maka jadwal diundur pada hari berikutnya setelah menginformasikan kepada kepala desa setempat.

Dari pengalaman itulah Atika mendapatkan ilmu bahwa untuk memberdayakan terasing harus dilakukan dari segala aspek. Mulai dari aspek kebijakan, pendanaan, dan tentu saja program apa yang akan dibangun.

“Ini harus lintas sektor. Harus ada koordinasi yang baik antar lembaga, dan tentu saja goodwill dari pemerintah.”

****

Atika lahir di Sarolangun, 39 tahun silam. Sulung dari empat bersaudara ini awalnya bercita-cita menjadi polisi.

“Menjadi dokter adalah pilihan kedua,” cetusnya.

Itu pun dengan ‘perjalanan’ panjang. Saat ujian masuk perguruan tinggi negeri, Atika mendaftar di fakultas kedokteran umum, namun diterima di kedokteran gigi. Atika tak mau kuliah. Tahun berikutnya mendaftar lagi, barulah dia diterima masuk fakultas kedokteran umum di Universitas Baiturrahmah, di Kota Padang, Sumatera Barat, pada tahun 1996.

Enam tahun kuliah, Atika menyandang gelar dokter dan berdinas pertama kali di RSI Muara Bungo, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi. Dua tahun berselang, Atika ditugaskan sebagai dokter di Puskesmas Singkut yang berada di Kabupaten Sarolangun, dan sembilan tahun kemudian dipercaya sebagai Kepala Puskesmas Limbur Tembesi hingga sekarang.

Dokter Atika berharap, apa yang telah dia lakukan untuk Suku Anak Dalam memberikan dampak positif. Dokter yang pandai berbahasa Suku Anak Dalam ini juga berharap program kesehatan yang diinisiasi tidak hanya berhenti di puskesmas yang dia bawahi, namun juga puskesmas-puskesmas lain di seluruh negeri ini yang bersinggungan langsung dengan warga suku minoritas.

Dan ini adalah soal kepedulian semua elemen bangsa, sehingga semua harus bergandeng tangan saling mendukung untuk kerja besar menyehatkan warga bangsa. Karena, “warga suku minoritas adalah manusia seperi kita yang butuh pelayanan seperti kita. Tidak boleh ada perbedaan. Mari kita bersama-sama melayani tanpa melihat dan memandang perbedaan,” pungkasnya.

 

Riwayat Hidup

Nama : dr. Atika
TTL : Sarolangun, 29 April 1979
Jabatan : Kepala Puskesmas Limbur Tembesi Kecamatan Bathin VIII, Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi

Riwayat Pendidikan
– SD Impres Sarolangun 1990
– SMPN 2 Sarolangun 1993
– SMAN 1 Jambi 1996
– Universitas Baiturrahmah Fakultas Kedokteran 2002

Riwayat Jabatan
– Dokter RSI muara bungo 2002-2004
– Dokter Puskesmas Singkut 2004 -2013
– Kepala Puskesmas Limbur Tembesi 2013- Sekarang#