Pakar Ekologi Tanah dan Penemu Teknologi Lubang Resapan Biopori

Arsitek Kerajaan Cacing

Membaca isyarat alam. Itulah yang selalu dilakukan Kamir R Brata dalam setiap langkah. Ia tak mau berprilaku mubadzir terhadap alam, pun terhadap ilmu yang ia miliki. Penemu teknologi lubang resapan biopori ini sengaja tak mematenkan temuannya agar khalayak dapat menikmati.

Alam adalah gudang ilmu pengetahuan. Tak terkecuali dengan hutan. Di hutan kita bisa belajar tentang banyak hal. Bahkan tentang tetesan air hujan di dahan pepohonan yang akhirnya meresap ke tanah dan menetes dalam sebah mata air. Ilmu sederhana itulah yang selalu menjadi bahan renungan Ir. Kamir R Brata, pengajar matakuliah hidrologi tanah di Institut Pertanian Bogor. Kebetulan, saat tokohinspiratf berbincang dengan sosok sederhana ini, Kota Bogor sedang diguyur hujan deras. Dan pembicaraan tentang hujan, air, dan hutan menjadi kian hangat.

Hutan adalah ilmu pengetahuan, ucap Kamir mengawali pembicaraan. Di hutan, katanya, air hujan yang jatuh akan ditangkap oleh tanaman pada bagian tajuk. Sisanya, sampai ke tanah dan meresap dengan cepat. Kamis melihat fenomena yang bagi orang alam dianggap sebagai hal remeh-temeh ini, dan merenunginya. Mengapa bisa demikian? Begitu pertanyaan besarnya.

Sebagai orang yang lama mempelajari ilmu tanah, Kamir terbiasa mengamati tanah bukan hanya pada bagian permukaan, tapi harus juga dilihat bagaimana struktur tanah hingga ke dalam. Itu pula yang dilakukan Kamir untuk menjawab rasa peasarannya terhadap tanah-tanah di hutan. Ternyata, katanya,”Kalau kita lihat ke dalam, akan tampak liang-liang yang ada di dalam tanah.

Siapa yang membuat? “Makhluk Tuhan juga: akar tanaman dan binatang-binatang tanah,” jawabnya. Binatang-binatang tanah itu bisa hidup dan bahkan membantu kelangsungan hidup tumbuhan di atasnya, lanjut Kamir, karena cukup mendapat makanan. Nah, makanan itu ternyata dari sampah yang jatuh dari pohon yang ada di atasnya, yang dibawa oleh binatang-binatang bawah yang hidup di bawah tanah.

Di dalam tanah, binatang-binatang itu bekerja membuat terowongan-terowongan kecil sebagai rumah tinggal mereka. Semakin banyak terowongan yang mereka buat artinya mahluk hidup yang tinggal di dalam tanah semakin banyak. Dan, di sanalah air lebih cepat masuk. Terowongan-terowongan kecil itulah yang kemudian disebut biopori. ”Jadi, semua yang mereka kerjakan layaknya lingkaran kehidupan yang pernuh harmoni,” ujar sosok religius ini.

Nah, bila air lebih cepat masuk, maka tanah akan mempunyai cadangan air yang cukup, tidak berlebih atau kurang. Pada keadaan air yang cukup, maka air yang berlebih akan terus mengalir mencari tempat yang perlu air. Dalam kondisi ideal, air yang masuk ke dalam tanah akan selalu bergerak. Setelah penuh mengisi pori-pori tanah, ia terus mengalir ke tempat yang lebih rendah,  misalnya sungai, situ alam, dan sebagainya. ”Air tanah di Bogor yang posisinya lebih tinggi akan mengalir ke Jakarta yang letaknya lebih rendah. Jadi sekali lagi, biopori sangat penting,” tandas Kamir.

Namun, setelah manusia mengubah kegunaan hutan menjadi pertanian, perkebunan, bahkandan perumahan, terjadi pengurangan biopori tanah yang sangat drastis. Alhasil, alam pun memberikan reaksi. Bila tanaman dikurangi, berarti pembentukan oleh akar tanaman pasti berkurang. Ketersediaan bahan organik untuk kehidupan di dalam tanah juga berkurang yang berakibat semakin berkurangnya biopori yang terbentuk. ”Jadi harusnya kalau kita berfikir kembali ke alam, maka untuk penggunaan apapun, kita harus ciptakan keadaan yang seimbang. Dalam hal biopori tanah, di dalam tanah harus ada pemasukan bahan organik, pemasukan air yang cukup sehingga oksigen cukup,” Kamir.

Kondisi sangat tidak ideal terjadi di lahan bekas bangunan maupun pembangunan jalan raya dengan memperkeras permukaan tanah. Namun, kondisi demikian bukan langkah mati untuk membuat tanah kembali ”sehat”. ”Supaya penggunaan tanah bisa berkelanjutan, maka pada tanah sebagai dudukannya atau mediummnya harus tetap dijaga dengan baik. Artinya, ekosistem tanah harus dijaga. Caranya, dengan memelihara kehidupan di dalam tanah,” Kamir bersaran.

Caranya? Sederhana, cari akal agar air bisa masuk ke dalam tanah. Langkah paling ekstrim yang harus dilakukan yakni dengan memecahkan sebagian tanah yang sudah dibeton untuk memberi kesempatan air, oksigen, dan kehidupan tanah berbiak. Namun, lagi-lagi itu bukan langkah mati. Ada satu cara yang paling efektif untuk mengakali agar tanah bisa basah lagi tanpa merusak bangunan yang telah ada. ”Kita buat lubang-lubang kecil agar tidak merusak bangunan yang telah ada,” ujar pengajar mata kuliah Hidrologi ini.

Dengan lubang-lubang kecil, lanjutnya, kita tidak memerlukan tempat khusus dan bisa dibuat di mana saja tanpa membahayakan orang lain. ”Berdasarkan penelitian saya, lubang kecil itu pula yang paling aman untuk mengurangi kemungkinan dapat mencelakakan orang.”

Pembuatan waduk, sumur resapan, proyek banjir kanal barat dan timur, hingga rencana pembangunan deep tunel water yang bertujuan mengatasi banjir di Jakarta merupakan langkah bagus. Namun harus diingat, pembuatan lubang dengan ukuran besar untuk menampung air secara ekosistem justru akan membebani lingkungan di mana tempat air itu berkumpul. Bila beban sudah berada di luar daya dukung lingkungan, dengan sendirinya lingkungan itu tidak bisa memproses air secara alami. Artinya, harus ada pemecahan agar beban lingkungan bisa dikurangi. Caranya, dengan mengurangi penumpukan air agar tidak terlalu banyak. ”Itulah mengapa, bukan sumur yang saya pikirkan, tapi lubang resapan.”

Itulah alasan Kamir membuat lubang resapan berdiameter 10 sentimeter dengan kedalaman 1 meter. Mengapa? Karena semakin ke dalam, tanah akan semakin padat. Bila kita paksakan melubangi, itu akan membuat kita kesulitan. Di sisi lain, dalam kaitannya dengan pemasukan air, ukuran diameter dan kedalaman tersebut akan memudahkan air untuk bisa terserap. Karena, beban resapan volume air yang masuk di dalam lubang bila dibandingkan dengan permukaan resapan akan semakin kecil sehingga air bisa terserap dengan optimal.

Itu baru manfaat lubang resapan biopori untuk ketersediaan air tanah. Tapi, masalah lingkungan di negeri ini bukan hanya soal air tanah. Sampah telah menjadi problem besar yang tak jarang menimbulkan kericuhan. Saat ini, terang Kamir, sampah dibuang begitu saja seolah-olah tidak lagi diperlukan. Karena terlalu banyak orang membuang sampah, akhirnya tempat pembuangan akhir (TPA) sampah menjadi kelebihan beban. Alhasil, lingkungan TPA tercemari karena kelebihan beban. Padahal sampah, utamanya sampah organik, bisa menjadi bahan dasar kompos yang sangat baik.

Belajar dari sampah-sampah di hutan, mulai dari bangkai-bangkai binatang hingga sampah-sampah dari dedaunan yang dihasilkan pepohonan, di sana tak pernah terjadi bau busuk menyengat akibat sampah karena semua yang ada di sana terproses dengan baik. Ini akibat keanekaragaman hayati/biodiversitas yang ada di atas permukaan tanah dan di dalam tanah masih terjaga dengan baik. Secara sinergi, binatang yang besar mengunyah sebagian sampah-sampah organik yang berukuran besar. Organisme kecil akan melanjutkan proses pelapukan sehingga sampah tidak pernah menumpuk.

Demikian juga dengan mikroorganisme, apapun akan ia proses. Dalam istilah ilmiah, proses ini dinamakan penguraian secara boologis – biodigredeble. ”Jadi apa-apa yang bisa diurai secara biologi, apapun  itu, yang tadinya senyawa yang sifatnya racun bisa berubah menjadi efek racunnya berkurang. Itu yang disebut dengan bioremidiasi (bioremidiation),” kata Kamir.

Jadi, mengapa walaupun air banyak dan sampah di dalam hutan bisa terproses, air bisa masuk ke dalam tanah dan berubah menjadi air bersih? ”Proses-proses alamlah yang bekerja, kehidupan di dalam tanah bergiat membuat biopori dan bekerja mempercepat penguraian dari sampah-sampah organik.”

Bisa kita bayangkan bila binatang-binatang mikro di dalam tanah ini enyah. Ekosistem tanah pasti berhenti. Daur ulang tidak ada lagi. Dampak lebih jauh bila daur ulang terhenti, manusia harus bekerja ektra keras untuk melangsungkan hidup. Berbagai macam krisis pasti akan terjadi!

Lelaki yang rambutnya telah memerak ini sadar, teknologi lubang resapan biopori yang ia tawarkan kepada masyarakat memang sangat sederhana. Ia pun tak kecewa bila teknologi konvensional bikinannya mendapat cibiran banyak orang. Namun, Kamir tak pantang menyerah. Sejak menemukan istilah biopori tahun 1990an, lelaki kelahiran Cirebon ini telah ”bergerilya” dengan beberapa rekannya yang kebanyakan berasal dari kalangan petani, LSM, dan pakar dengan berbagai macam latar belakang keilmuan untuk menyebarkan ilmu lubang sumur resapan kepada masyarakat. Ketika itu, secara sederhana, teknologi lubang resapan biopori dikenal masyarakat sebagai sarana untuk membuat rumah cacing. Karena, cacing tanah adalah salah satu binatang penggembur tanah yang baik. Selain tentu saja masih banyak binatang organik yang membantu proses dekomposisi bahan organik di dalam tanah.

Kini, Kamir tak lagi bergerilnya menyebarkan temuannya. Sebaliknya, saat ini ia malah dicari banyak orang untuk berguru tentang ilmu lubang resapan biopori temuannya. Sejauh itu, Kamir tak pernah berfikir untuk mematenkan temuannya sebagai dalam sebuah hak cipta yang dilindungi undang-undang dari segala macam bentuk penjiplakan. Kalau kita ingin membantu (memperbaiki) lingkungan ini dengan cepat, kita tidak perlu memikirkan itu (hak paten). Karena menurut agama, ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang disampaikan ke orang lain. Peduli amat ada patennya atau tidak. Itu kewajiban,” tandas Kamir. Lantas, bagaimana bila teknologi lubang resapan biopori ini dipatenkan orang lain? ”Silahkan saja kalau tidak merasa berdosa, hehehe,” ucap Kamir ringan.

Selama ini, katanya, orang terlau berfikir materialis. Ini tentu saja kontradiktif dengan negara kita yang menganut Pancasila. Akibatnya, orang selalu berfikir soal uang dan keuntungan material. Akhirnya apa? Teknologi biopori yang sangat sederhana dan siapa saja bisa menggunakan namun sulit menyebar karena dianggap terlalu sederhana.

Kamir mengaku, teknologi lubang resapan biopori lahir dari hasil perenungannya yang mendalam terhadap kitab agama yang ia yakini: Al Quran. Terjemahan bebas dari sebuah ayat di dalam Al Quran itu berbunyi: ”Apakah kamu tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Tuhan menurunkan air dari langit kemudian oleh Tuhan disalurkan menjadi sumber air ke bumi. Maka dengan air itu ditumbuhkanlah berbagai macam tanaman (hutan). Setelah tanaman tumbuh kemuian tanaman itu akan mati dan kmeudian kamu akan melihat bahwa menjadi tercerai berai (terurai untu berdaur). Bahwa sesungguhnya pada yang demikian itu, mulai turun hujan, tumbuh tanaman, dan tanaman terdekomposisi, itu merupakan pelajara bagi ulil albab.”

Ulil albab adalah semua orang yang diberi akal. Tetapi, kata Kamir, yang paling bertanggung jawab adalah orang yang akalnya selalu terasah, yakni ilmuwan.

Namun Kamir menyangkan selama ini kebanyakan umat terlalu sibuk menjalankan ibadah-ibadah ritual dan cenderung tak perduli dengna lingkungan sekitar. Padahal, bila kita menghayati lebih dalam, untuk ibadah ritual, air besih sangat penting untuk bersuci. ”Namun, mengapa dalam kehidupan kita justru membuang air hujan yang bersih itu dengan cara membuat rumah tanpa lubang resapan dan bahkan membikin jalan-jalan yang dipadatkan dengan aspal bahkan beton?” Kamir.  Apa yang terjadi bila air hujan itu dibuang? Bila dibuang lewat permukaan tanah maka akan mengangkut tanah, sehingga air akan kotor dan merusak lingkungan.

***

Kamir Raziudin Brata lahir di sebuah dusun kecil yang kini bernama Desa Babadan di Kecamatan Cirebon Utara, Cirebon, 72 tahun silam. Anak kedua dari sebelas bersaudara ini tumbuh dari lingkungan religius yang tertanam kuat di dalam keluarganya.

Sejak kanak-kanak, Kamir tergolong bocah aktif. Hari-harinya disibuki dengan belajar dan membantu orangtuanya bertani. ”Saya punya pengalaman bertani padi, tebu, kapas, dan palawija,” ucapnya berbangga.

Singkat cerita, setelah menamatkan SMA, ia pun hijrah ke kota hujan Bogor untuk melanjutkan pendidikan. Di kampus ini, ia memilih fakultas pertanian dengan spesifikasi ilmu tanah. ”Sejak kecil saya dekat dengan tanah. Saya juga ingin membuktikan bahwa petani tidak harus identik dengan kulit hitam. Itu citra yang tidak betul,” ucap Kamir yang mengaku merasa bersalah karena harus meninggalkan kedua orangtuanya di kampung tanpa bisa lagi membantu mereka. ”Bayangkan perasaan saya waktu itu, orang tua sudah tidak dibantu, tapi saya harus dikirimi uang dari kampung,” kenang Kamir dengan mata berkaca-kaca.

Itulah salah satu yang memicu Kamir untuk segera menyelesaikan kuliah. Walau anak orang ndeso, demikian ia menyebut dirinya kala itu, kata-kata minder tak pernah keluar dari bibirnya. Ia memanfaatkan sepenuhnya kegiatan-kegiatan ekstra yang ada di kampus. ”Saya ingin mempunyai pengalaman sama seperti orang lain,” katanya. Alhasil, berbagai kegiatan ia ikuti, mulai dari pengurus senat mahasiswa hingga berbagai kepanitiaan di kampus.

Lulus IPB tahun 1974, Kamir mendapat tawaran untuk bergabung dalam sebuah proyek test farm di Jambi. Proyek yang dibiayai oleh Departemen Pekerjaan Umum itu bertujuab untuk membuka daerah pasang surut yang ada di kawasan itu. Dua tahun berselang, Kamir kembali ke kampus. Di sini, ia diberi kepercayaan mengajar mata kuliah hidrologi. Sembilan tahun berselang, tepatnya akhir tahun 1985 ketika ia sedang belajar di Australia, secara resmi ia diangkat sebagai lektor mata kuliah hidrologi.

Di negeri kanguru, tepatnya di University of Western Australia, ia secara khusus mendalami ilmu fisika tanah. Ia mendapatkan beasiswa dari Colombo Plan. Lima tahun berselang, gelar master pun ia sandang. Kembali ke Bogor, berbagai rencana telah ia susun. Kamir pun larut dalam penelitian tentang tanah dan menularkan ilmu-ilmu yang ia dapat kepada mahasiswanya.

Kini, setelah teknologi lubang resapan biopori semakin populer di kalangan masyarakat, Kamir semakin sibuk melayani pemesanan bor lubang resapan biopori. Ia dan tim lubang resapan biopori di kampusnya sengaja menciptakan alat pelubang biopori dengan teknologi yang mudah diadaptasi masyarakat dan murah. “Satu bor hanya Rp 175.000,” katanya. Harga itu jauh lebih murah ketimbang alat aslinya yang berharga puluhan juta rupiah dan harus didatangkan dari luar negeri. Ia tak ingin pengembangan teknologi lubang resapan biopori terhambat karena mahalnya alat.

Berbagai penghagraan pun disandang bapak dua anak ini. Mulai dari Bupati Bogor hingga Gubernur Jawa Barat. Ia pun kian sering tampil sebagai pembicara seminar hingga acara talkshow di berbagai stasiun televisi dan radio. Foto dan publikasi tentang teknologi bikinannya juga ramai menghiasi media cetak nasional dan internasional.

Penghargaan Kalpataru dari Kementerian Lingkungan Hidup untuk kategori Pembina Lingkungan Hidup Berprestasi juga diberikan langsung oleh Presiden Joko Widodo kepada sosok sederhana ini, bertepatan dengan puncak peringatan Hari Lingkungan Hidup yang dihelat di Istana Bogor, pada Jumat 5 Juni 2015.

Inikah puncak keberhasilan Kamir? Lelaki sederhana ini mengaku tidak. Prinsip memikirkan bagaimana agar alam tidak rusak sesunggunya untuk diri kita sendiri, bukan untuk mengejar penghargaan. ”Tetapi harusnya bila kita hidup di lingkungan alam dan lingkungan sosial, kita juga harus melihat lingkungan sekitar.”

Itulah salah satu alasan ia sengaja membuat teknologi biopori sesederhana mungkin dan mudah diadaptasi. ”Dan, bila sudah mengetahui teknologi ini murah dan mudah diterapkan, sudah selayaknya Anda, para pembaca tokohinspiratif.id, mulai membikin lubang resapan biopori di rumah masing-masing dan menyebarkan ilmu ini kepada orang lain,” demikian pesan Kamir mengakhiri pembicaraan.

Sebuah tantangan yang menyenangkan, tentunya.

Sukowati Utami

Biodata

Nama                          : Kamir Raziudin Brata
Tempat/ tanggal lahir           : Cirebon, 12 Desember 1948
Pendidikan                 : Sarjana Pertanian (IPB, 1974)
MSc, Soil Physics (UWA, 1992)

Pelatihan                    :

– Training of Trainers for Irrigation Management, Surat Thani, Thailand (September-October, 1992)

– Training on Training Materials for Irrigation Management, Feldafing, Fed. Rep. of Germany (January-February, 1994)

Regional Training Workshop on Modelling Global Change Impacts on the Soil Environment (May, 1998)

Organisasi Profesi
– Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI)

– Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia (MKTI)

– Australian Society of Soil Science, Inc.

– International Soil Science Society

– Soil and Water Conservation Society (USA)

– Soil and Water Conservation Association of Australia, Inc.

Riwayat Pekerjaan
– Penanggung Jawab Pelaksana Test Farm P4S-IPB Delta Berbak,Jambi (1974-1976)

– Anggota Tim P4S-IPB (1977-1984)

– Lektor dalam mata kuliah Hidrologi (1985-1997)

– Lektor Kepala dalam mata kuliah Ekologi Tanah (1998-sekarang)

– Dosen Konservasi Tanah dan Air di Fakultas Pertanian IPB (1978-sekarang)

– Dosen Fisika Tanah di Fakultas Pertanian IPB (1978-2001)

– Dosen Ekologi Tanah di Fakultas Pertanian IPB (1994-sekarang)

– Sekretaris Eksekutif Tim Managemen Kebun-kebun Percobaan Fakultas Pertanian IPB (1994-2001)

– Penatar pada Penataran Ilmu Pengetahuan Tentang Bumi dan  Antariksa Angkatan VI Bagi Guru SD Propinsi DKI Jakarta 17-27 September 2001.

– Penatar pada Penataran Ilmu Pengetahuan Tentang Bumi dan Antariksa Angkatan VII Bagi Guru SD Propinsi DKI Jakarta 23-26 September 2002.

Penghargaan

Penghargaan Kalpataru dari Kementerian Lingkungan Hidup untuk kategori Pembina Lingkungan Hidup Berprestasi, 2015