dr. Lie Agustinus Dharmawan, Ph.D, Sp.B, Sp.BTKV

Pendiri Rumah Sakit Apung

Dokter yang Berjuang untuk Kemanusiaan

Indonesia sehat menjadi mimpi dari seorang dokter bernama Lie Agustinus Dharmawan. Seorang dokter yang akhirnya mendedikasikan dirinya untuk mempermudah akses kesehatan, khususnya di wilayah terpencil di Indonesia. Perjuangan gigihnya menjadi seorang dokter bisa menjadi inspirasi, bahwa sebuah keinginan bisa dicapai dengan kerja keras.

Dokter Lie Agustinus Dharmawan telah mematahkan ungkapan “sehat itu mahal” dengan mendirikan rumah sakit apung (floating hospital) swasta pertama di Indonesia. Di bawah Yayasan doctorSHARE, Rumah Sakit Apung (RSA) memberikan pelayanan kesehatan gratis kepada masyarakat di daerah miskin dan terpencil di Indonesia, terutama yang tidak terjangkau oleh pelayanan kesehatan secara reguler. Ini sekaligus mencatatkan nama Lie Agus Dharmawan sebagai pendiri rumah sakit apung pertama di Indonesia, bahkan dunia.

Dokter Lie merupakan seorang ahli bedah lulusan S3 Free University of Berlin, Jerman, dengan empat spesialisasi, yaitu ahli bedah umum, ahli bedah toraks, ahli bedah jantung, dan ahli bedah pembuluh darah. Pada tahun 2009, Lie mendirikan Yayasan Dokter Peduli atau yang lebih dikenal dengan doctorSHARE dan mewujudkan ide membangun rumah sakit apung.

Di atas kapal motor (KM) yang berukuran panjang 25,13 meter dan lebar 6,82 meter, dr. Lie telah melakukan banyak pengobatan dan pembedahan di berbagai penjuru nusantara. Kepulauan Kei (Maluku), Pulau Panggang (Kepulauan Seribu), Bangka Tengah, Belitung Timur (Bangka Belitung), Ketapang dan Pontianak (Kalimantan Barat), Bali, Nusa Tenggara Timur, dan berbagai wilayah lainnya, telah ia jelajahi. Tak terhitung nyawa yang diselamatkan karena kebesaran hati sosok yang akrab di sapa Dokter Lie ini.

Hingga kini, Rumah Sakit Apung terus berlayar dan telah melayani sampai ke pelosok negeri. Uniknya, semua tindakan medis dilakukan tanpa memungut biaya sepeser pun dari pasien.

Ukuran kapal yang disulap menjadi rumah sakit ini memang tidak terlalu besar. Namun di dalamnya, terdapat para ahli medis yang cukup kompeten dan alat-alat yang menunjang untuk melakukan tindakan darurat. Kapal tersebut didapatkan Lie setelah menjual satu buah rumah miliknya. Ia menyebutnya sebagai bentuk komitmennya dalam melayani masyarakat.

“Kapal ini bukan milik saya. Ini milik masyarakat Indonesia yang membutuhkannya, meskipun ukurannya kecil, rumah sakit apung ini mampu melakukan berbagai pelayanan kesehatan termasuk operasi kecil dan besar,” katanya, seperti dikutip dari Liputan6.com.

Sejauh ini, Lie dan sejumlah kru Rumah Sakit Apung telah melewati banyak pengalaman berharga. Termasuk saat harus mengoperasi pasien di atas perairan dangkal. Pasalnya ada kemungkinan kapal akan kandas dan harus berhenti. Namun tindakan tetap dilakukan demi menyelamatkan pasien.

“Pasien saya operasi di atas kapal yang sedang bergerak dan hasilnya operasi berhasil. Dalam hal itu ada kiat khusus tentang melakukan operasi di dalam kapal yang bergoyang-goyang diterpa ombak, dengan berdiri di atas satu kaki, kadang kanan kadang kiri menyesuaikan arah gerakan kapal,” ujarnya.

Lie bukanlah seseorang yang berasal dari keluarga dokter. Namun, layanan medis Rumah Sakit Apung dan Dokter Terbang adalah wujud kepedulian terhadap kemanusiaan, terutama terhadap pasien tak mampu yang berada di wilayah pegunungan terpencil seperti Papua. Dikarenakan mereka kerap terkendala transportasi, bahkan saat penyakit tengah menyerang.

“Sehingga dibutuhkan waktu berjam-jam bahkan berhari-hari untuk menghampiri Rumah Sakit Apung yang berlabuh di tepi pantai. Maka kami mengembangkan Dokter Terbang untuk mencapai mereka yang bermukim di pegunungan,” ucap Lie.

Berbeda dengan Rumah Sakit Apung yang memang disulap menyerupai rumah sakit, Dokter Terbang hanya mengirim tim untuk melakukan pertolongan pertama. Tim akan terdiri dari 5–6 orang dan terbang menggunakan pesawat perintis menuju lokasi terdekat pasien.

Perjalanan tim akan dilanjutkan dengan menggunakan mobil atau motor, namun jika jalanan tak lagi mendukung dan memungkinkan, mereka akan melanjutkan dengan berjalan kaki. Sejak 2015–2016, Dokter Terbang telah memberi layanan kesehatan di Distrik Sugapa, Distrik Gagemba, Distrik Ugimba, Distrik Wandai, Distrik Tisain, hingga Distrik Kuyuwage, Papua.

Di tengah kegiatan sosial yang terus berjalan, rupanya Lie menyimpan luka kelam di masa lalu. Lie kecil harus rela kehilangan adik kandungnya karena penyakit diare. Saat itu keluarga Lie tidak memiliki biaya untuk mengobati sang adik ke dokter. Hal itulah yang membuat Lie enggan mengambil sepeser pun uang dari pasien yang kurang mampu. Ia pun berharap, semakin banyak dokter di Indonesia yang akan melakukan hal serupa.

 

 

 

” Kalau jadi dokter, jangan memeras orang kecil atau orang miskin. Mungkin mereka akan membayar kamu berapapun tetapi diam-diam mereka menangis di rumah karena tidak punya uang untuk membeli beras,” itulah petuah sang ibu yang mendorong dokter Lie mengabdikan dirinya sebagai dokter yang melayani sesama.

***
Dokter Lie Agustinus Dharmawan ini dilahirkan dengan nama kecil Lie Tek Bie di Kota Padang pada 16 April 1946. Ayahnya bernama Lie Goan Hoey dan Ibunya bernama Pek Leng Kiau (Julita Diana). Lie Dharmawan terlahir dalam keluarga yang amat miskin dan serba kekurangan.

Saat Lie kecil berumur sepuluh tahun, ayahnya meninggal dunia, peristiwa tersebut yang kemudian membuat ibunya harus berjuang keras untuk membiayai sekolah Lie kecil dan enam orang saudaranya. Semua perkerjaan lakoni sang ibu demi mempertahankan hidup, termasuk mencuci baju, memasak, membuat kue, hingga menjadi pencuci piring.

Lie kecil tak pasrah, ia membantu ibunya berjualan kue. Lie kagum akan perjuangan keras ibunya yang tak pernah menyerah dalam menghadapi hidup. Ibunya menyekolahkan Lie di SD Ying Shi, Padang. Setelah tamat, Lie Dharmawan masuk di SMP Katolik Pius dan melanjutkan sekolahnya di SMA Don Bosco, di kota Padang.

Keinginan menjadi dokter lahir ketika Lie menyaksikan masyarakat di sekitarnya sulit untuk mendapatkan pelayanan di rumah sakit karena faktor kemiskinan. Mereka terpaksa berobat ke dukun guna mencari pengobatan alternatif.

Peristiwa tragis akibat sulitnya mendapatkan pelayanan kesehatan juga pernah menimpa Lie. Ia melihat sendiri adiknya meninggal karena penyakit diare akut yang telambat ditangani dokter. Kedua hal itulah yang kemudian membuat Lie bertekad untuk menjadi dokter.

Lie pernah mendapat hinaan dari teman-teman sekelasnya saat menyampaikan keinginan tersebut di depan kelas. Karena hinaan itu, Lie pun menyadari bahwa cita citanya menjadi dokter terlalu berat, apalagi untuk orang miskin sepertinya. Tetapi Lie tidak putus asa, hinaan tersebut justru membuatnya semakin giat belajar.

Setiap pukul enam pagi, ia selalu pergi ke gereja yang berada di dekat sekolahnya untuk berdoa. Doa yang sama yang selalu ia ulang-ulang selama bertahun-tahun adalah: “…Tuhan, aku mau jadi dokter yang kuliah di Jerman”

Pada tahun 1965, Lie lulus dari bangku SMA dengan prestasi yang cemerlang. Kelulusan itu segera disambutnya dengan mendaftarkan diri di beberapa fakultas kedokteran yang ada di pulau Jawa, tetapi nasib belum berpihak kepadanya, ia gagal masuk di fakultas yang telah lama diimpikannya. Akhirnya kesempatan kuliah di fakultas kedokteran didapatkan di Universitas Res Publica (URECA).

Ureca didirikan oleh para petinggi organisasi Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia pada tahun 1958. Namun, belum sempat impian itu terpenuhi, kampusnya terpaksa dinonaktifkan karena hancur dibakar massa. Pada akhirnya Lie memutuskan untuk bekerja serabutan demi mengumpulkan uang untuk mengejar impiannya ke Jerman.

Setelah berhasil mengumpulkan uang, di usianya yang ke-21, Lie hijrah ke Jerman dan mendaftarkan diri di fakultas Kedokteran Free University di Berlin Barat. Ia diterima, namun tanpa dukungan beasiswa.

Untuk memenuhi biaya kuliah dan kehidupan sehari-harinya, Lie Dharmawan kemudian bekerja sebagai kuli bongkar muat barang. Pada kesempatan lain, Lie juga bekerja di sebuah panti jompo yang salah satu tugasnya adalah membersihkan kotoran orang tua berusia 80 tahunan.

Lie Dharmawan tetap berprestasi sekalipun sibuk bekerja, sehingga ia mendapat beasiswa, itu semua ia gunakan untuk biaya sekolah adik-adiknya.

Tahun 1974, Lie berhasil menyelesaikan pendidikannya dan mendapat gelar M.D. (Medical Doctor). Setelah lulus dari Free University, ia kemudian melanjutkan pendidikan di University Hospital, Cologne, Jerman.

Dari situ, Lie kemudian melanjutkan S3 di Free University Berlin. Empat tahun setelahnya, Lie sukses menyandang gelar Ph.D. Melalui perjuangan tanpa kenal lelah selama sepuluh tahun, Lie akhirnya lulus dengan membanggakan.

Ia lulus sebagai dokter dengan empat spesialisasi sekaligus yakni ahli bedah umum, ahli bedah toraks, ahli bedah jantung, dan ahli bedah pembuluh darah. Cita cita semasa kecilnya akhirnya tercapai.

Dokter Lie akhirnya kembali ke Tanah Air. Mengawali karirnya di sebuah rumah sakit di Semarang selama enam bulan, Lie kemudian bekerja di RS Rajawali, Bandung. 1988, Lie berkarir di RS Husada, Jakarta hingga sekarang.

Kegiatan sosial pertama Lie sebagai seorang dokter bedah di Indonesia dilakukan saat mengoperasi secara cuma-cuma seorang pembantu rumah tangga tahun 1988. Selanjutnya, Lie juga terus mengupayakan bedah jantung terbuka (bedah di mana jantung dihentikan dari pekerjaannya untuk dibuka untuk diperbaiki). Bedah semacam ini membutuhkan peralatan yang lebih canggih dan mahal, namun harus dilakukan dalam operasi skala besar. Tahun 1992, Lie akhirnya sukses melangsungkan bedah jantung terbuka untuk pertama kalinya di rumah sakit swasta di Jakarta.

Lie bersama Lisa Suroso (yang juga aktivis Mei 1998) mendirikan sebuah organisasi nirlaba di bidang kemanusiaan dengan nama doctorSHARE atau Yayasan Dokter Peduli—sebuah organisasi kemanusiaan nirlaba yang memfokuskan diri pada pelayanan kesehatan medis dan bantuan kemanusiaan. Selain pengobatan umum, program awal DoctorSHARE adalah pendirian Panti Rawat Gizi) di Pulau Kei, Maluku Tenggara.

Rumah Sakit Apung milik dr. Lie hanyalah sebuah kapal sederhana yang terbuat dari kayu, yang di dalamnya disekat-sekat menjadi bilik-bilik yang diperuntukkan untuk merawat pasien-pasien inap atau pun pasien-pasien pasca operasi. Namun tekad dan keberaniannya menggunakan kapal kayu mengarungi pelosok negeri, mengunjungi pulau-pulau kecil di Nusantara, untuk mengobati ribuan warga miskin yang tak memiliki akses pada pelayanan medis, tak dimiliki kebanyakan manusia biasa.

Kini, di usianya yang menginjak senja, aktivisme Lie seakan tak pernah redup. Walau tengah didera penyakit pada usianya yang lebih dari 70 tahun, kesetiaan Lie di jalan kemanusiaan melalui doctorSHARE melayani kesehatan di berbagai daerah terpencil, tak pernah surut.
“Penyakit tak akan menghentikan saya. Saya tidak akan mati karena penyakit tapi karena usia. Sampai tarikan napas terakhir, saya akan tetap melayani sesama,” pungkas Lie.#

**********************

 

Riwayat Hidup

Nama                                     : dr Lie Agustinus Dharmawan, Ph.D, Sp.B, Sp.BTKV
Tempat Tanggal lahir          : Padang, 16 April 1946

 

Pendidikan

SMA Don Bosco, Padang, Sumatera Barat
Medical Doctor, Fakultas Kedokteran Free University di Berlin Barat
S2, University Hospital, Cologne, Jerman
S3, Free University Berlin

 

Karier

Kepala Komite Medik Rumah Sakit Husada (2006 – 2009)
Kepala Serikat Karyawan Rumah Sakit Husada (2000-2006)
Pendiri Rumah Sakit Apung (2009)