Risih melihat sampah memenuhi sungai Cianjur, trio ‘Sumpah Sampah’ ini sukses membuat eco paving block dari bahan sampah plastik dan berhasil memenangi sebuah lomba socialpreneur di Jakarta.

Azis Pusantaraka dan Angga Nurdiansah, tak betah melihat sampah menumpuk di belakang rumah warga atau memenuhi sungai di Cianjur, Jawa Barat. Selain menimbulkan bau tak sedap, sampah-sampah ini kerap menyumbat aliran air dikala hujan dan menyebabkan banjir.

Azis yang merupakan lulusan Master Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung, pada 2012, dan Angga, tamatan D3 Pengecoran Logam Politeknik Manufaktur Negeri Bandung (Polman), 2010, melakukan berbagai uji coba memanfaatkan sampah agar berguna.

Selama hampir tujuh bulan, mereka melakukan berbagai percobaan untuk menghasilkan sesuatu dari sampah kantong plastik ini. Tahap awal adalah eksperimen membuat konblok dari lelehan pembakaran kantong plastik dicampur pasir.

Dari ujicoba tadi, membuat satu konblok berukuran satu meter persegi (m2) perlu sampah plastik sekitar 50 kg. “Konblok ini mempunyai kekuatan hampir dua kali lipat dibandingkan konblok biasa,” kata Azis.

Namun, konblok ini mudah rusak bila terkena air hujan sehingga perlu kajian teknis lagi. Belum lagi, pembuatan ini menimbulkan bau menyengat dan asap hitam pekat yang bisa mengganggu kesehatan.

Peristiwa tadi, memaksa mereka memindahkan tempat percobaan pembuatan konblok ke Citeureup, Jabar dari Cianjur. Pindah lokasi ini sekaligus mendekatkan dengan bahan baku yang dipasok ibu-ibu dan pemulung, serta memperbaiki tekonologi.

Lebih kuat

Proses pembuatan Eco Pavings ini dimulai dari pencacahan plastik yang dilanjutkan dengan pelumeran hingga menjadi bubur. Proses pencampuran dengan material lain dilakukan setelah proses pelumeran itu.

Angga menjelaskan salah satu tantangan adalah menjaga suhu panas untuk melumerkan plastik. “Ketika pemanasannya tidak pas, tentu ikatan polimernya menjadi tidak sempurna, atau dekomposisi,” ujarnya.

Rata-rata sampah plastik kresek berjenis HDPE (high density polyethylene) yang titik lumernya berada pada suhu 160-180 derajat Celsius.

Kekuatan Eco Pavings itu telah diuji melalui 3 parameter, yakni kekuatan tekan, tahan air, dan abrasi. Eco Pavings memiliki tekanan minimal 35 Mpa – 80 Mpa. Adapun abrasi plastik bisa bertahan hingga puluhan tahun tahun. Kekuatan Eco Pavings ini diklaim dua kali lipat dibanding paving block konvensional.

“Kami memodifikasi ini tidak cepat luruh. Kalau secara teori sih plastik itu terurai bisa sampai puluhan sampai ratusan tahun. Jadi kita pendekatan ilmu polimernya di situ,” tambah Angga.

Eco Pavings ternyata membutuhkan sampah plastik yang cukup besar. Setiap satu Eco ­Pavings membutuhkan sekitar 1/2 kg sampah kantong plastik. Jika dalam 1 meter persegi digunakan 40 Eco Pavings, produk tersebut telah menyingkirkan 20kg sampah plastik dari lingkungan.

Di sisi lain, produk ini masih lebih mahal daripada paving block konvensional. Jika harga paving block di pasaran bervariasi antara Rp80 ribu-Rp130 ribu, Eco Pavings berada pada kisaran Rp156 ribu-Rp160 ribu per meter.

“Memang hasil perhitungan kami, harga per meter persegi dari eco pavings yang kami produksi, lebih tinggi sekitar 30 – 35 persen dibandingkan dengan paving blok biasa,” tambah Aziz.

Kemudian jika memperhitungkan proses pelumeran plastik, energi yang digunakan juga lebih besar daripada yang dibutuhkan proses paving block konvensional. Kebanyakan paving block tidak membutuhkan proses pemanasan dalam pembuatannya.

Meski masih memiliki beberapa kelemahan dibanding paving block biasa, dampak lingkungan yang dihasilkan membuat produk tersebut pantas menjadi salah satu solusi pengurangan sampah plastik. Selain itu, Tim Eco Pavings berharap bisa merubah pola pikir masyarakat terhadap sampah plastik.

“Salah satu poin pentingnya adalah merubah pola pikir. Artinya masyarakat sudah bisa memilah sampah organik dan anorganik,” terang Daman.

Sampah kresek yang sebelumnya sama sekali tidak dilirik dijadikan punya harga. Mereka bekerja sama dengan salah satu kampung di Citeureup untuk pengumpulan sampah tersebut dengan program sampah tukar sembako. Rp1.300-Rp1.500 untuk 1kg sampah kresek.

“Sampah tukar sembako. Jadi masyarakat mengumpulkan sampah. Kita bekerja sama dengan salah satu toko di desa tersebut. Nanti ditukarkan dengan sembako,” terang Daman. Pengumpulan sampah juga dilakukan melalui program sedekah sampah yang keuntungannya untuk kegiatan sosial. Berikutnya, mereka juga berencana untuk menjalin kerja sama dengan tempat pembuangan akhir (TPA).

“Setelah uji lapangan, kita akan melakukan produksi masal. Kami berharap produk Eco Pavings ini bisa diterima di masyarakat. Karena yang kami jual bukan semata-mata paving block. Didalamnya terdapat nilai lingkungan dan nilai sosial. Jadi kami harap pasar bisa menerima produk kami,” terang Aziz.

Soal sisa bahan baku dari produksi, tetap bisa dipakai kembali untuk pembuatan barang. Untuk asap dari produksi, katanya, juga sudah hilang dari pengaturan temperatur secara digital.

Menang Lomba

Pada Oktober 2018, produsen kopi Indonesia, Kapal Api, dan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) menggelar lomba socialpreneur bertema ‘Gerakan Secangkir Semangat’ di Jakarta. Azis dan Angga memanfaatkan moment ini guna mendapat relasi dan belajar menjalankan usaha yang bersifat sosial.

Setelah mereka pikirkan matang, kejuaraan ini tak bisa jalan hanya berdua. Angga mengajak temannya, Daman Sutiawan, tamatan D3 analis kimia Politeknik Akademi Kimia Analis (AKA) Bogor.

“Daman memunyai konsen sama, yaitu sampah. Dia suka main ke Bantargebang,” kata Azis.

Dalam lomba ‘Gerakan Secangkir Semangat’, ketiganya sepakat menyuguhkan pembuatan ecopavings (pavling block) berbahan dasar sampah kantong plastik. Menamai timnya dengna “Tim Sumpah Sampah”, trio ini berhasil meraih juara kedua setelah menyisihkan 5.500 peserta yang masuk ke meja panitia. Dari ajang ini, mereka mendapatkan hadiah berupa bantuan modal usaha sebesar Rp100 juta.

Tiga sekawan ini akhirnya memutuskan keluar dari pekerjaan masing-masing dan fokus pada pembuatan eco paving dan mesin untuk membuat eco paving block.

Dari modal usaha yang ada, mereka gunakan membuat mesin injection generasi kedua guna mencetak eco paving. Mesin generasi pertama hanya dapat menghasilkan 50-70 unit per hari atau di bawah nilai ekonomis, 250 unit.

Selain jualan eco paving, mereka juga terima order mesin produksi eco paving. Sebanyak satu paket mesin akan mereka jual, terdiri dari satu mesin pencacah sampah plastik, satu mesin injection, dan satu mesin extruder.Walaupun demikian, sejumlah produk jenis tiga dimensi (3D) tetap produksi dan mereka jual, seperti jam dinding dan tutup lampu yang dibuat dari mesin extruder. #