Eliza Marthen Kissya, Ketua Pemangku Adat Negeri Haruku, Maluku

 

Penjaga Negeri Haruku

Empat puluh tahun mendedikasikan diri sebagai Kewang (pemegang otoritas hukum adat), Eliza Marthen Kissya menghidupkan aturan adat dan menjaga nilai-nila kearifan lokal masyarakat berupa sasi laut, hutan, sungai, dan dalam negeri. Eli juga menjaga kehidupan Gosong Maluku (Eulipoa wallacei), yang berkerabat dengan maleo, sebagai kekayaan alam yang harus dilestarikan.

Eliza Marthen Kissya adalah Kewang atau pemegang otoritas hukum adat Negeri Haruku. Negeri ini berada di Pulau Haruku, salah satu pulau di Kepulauan Lease yang terletak di sebelah Timur Pulau Ambon. Pulau Haruku masuk wilayah Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Butuh waktu sekitar 20 menit perjalanan laut dengan naik perahu bermotor untuk mencapai pulau tersebut.

 

Selama empat puluh tahun menjadi kewang, Om Eli, demikian Eliza biasa disapa, memilih jalan sunyi untuk menjaga tanah leluhur. Demi kecintaannya terhadap lingkungan, Eli tak lelah menghidupkan tradisi para pendahulu. Menurutnya, kearifan lokal dalam bentuk tradisi mampu menjaga harmoni antara manusia dengan sumber daya alamnya.

 

Eli berkeyakinan, penggunaan kearifan lokal diyakini menjadi solusi agar tradisi tetap lestari. “Kearifan lokal ibarat jati diri. Di Negeri Haruku leluhur kami membuat aturan sasi. Kearifan lokal itulah yang kami pegang teguh hingga sekarang,” kata dia.

Sasi adalah larangan mengambil hasil sumber daya alam tertentu sebagai upaya pelestarian alam demi menjaga mutu dan keberlanjutannya. Masyarakat Haruku mengenal empat jenis sasi: laut, hutan, sungai, dan sasi dalam negeri. Mereka sangat patuh melaksanakannya.

Adapun kewang, katanya, hanya membantu mengawasi aturan. Eli percaya, pangkal dari keteraturan terhadap aturan adalah hidup bersahaja.

Kewang juga difungsikan untuk mendidik masyarakat agar taat aturan adat. Aturan itu, sifatnya mengikat karena mencakup semua tatanan sosial masyarakat. Setidaknya, di Haruku ada 40 kewang dan dipimpin satu kepala kewang.

Pengawas pelaksanaan sasi berada di tangan para anggota kewang. Batas wilayah ditentukan mereka melalui tanda. Siapa yang melanggar akan dikenakan sanksi. Sasi laut, misalnya, diberlakukan 200 meter dari pesisir pantai ke arah laut. Aturannya, dilarang menangkap ikan dengan alat tangkap apapun sampai sasi dibuka.

“Wilayah yang kami jaga itu rumah ikan (terumbu karang). Kalau diganggu ikan tidak berkembang,” ujar Eli.

Begitu juga dengan Sungai Learisa Kayeli. Sebagai Kewang Kepala, Eli melarang mencuci dan membuang sampah atau kotoran ke sungai. Karena sungai Learisa Kayeli merupakan sumber air baku bagi negeri Haruku yang tak boleh dicemari.

Selain itu di sungai tersebut juga berlaku sasi lompa, pantangan menangkap ikan lompa sebelum masa larangan berakhir. Biasanya dibuka setahun sekali pada Oktober. Berapa pun banyak ikan yang didapat warga, tak boleh diperjualbelikan. Ikan hanya dibagikan ke sesama warga.  ”Para janda dan anak yatim diutamakan.”

Pantang lain adalah memetik buah pala, cempedak, nanas, pinang, dan kenari. Buah-buah itu hanya boleh dipetik ketika matang.

Menjaga telur burung gosong maluku dari segala ancaman hingga menetas dan dikembalikan ke alam juga dilakukan Eli. Setiap hari Eli menelusuri pantai, mencari telur burung gosong yang ukurannya lima kali lebih besar dari telur ayam. Kadang ia memergoki warga yang mengambil telur. Tak jarang dia merogoh kocek pribadi untuk menukarnya dengan uang.

Empat tahun penangkaran berjalan, Eli sudah menetaskan ratusan telur burung gosong. Kini, warga yang menemukan telur burung gosong di pantai, kerap membawa ke rumah Eli tanpa lagi meminta imbalan.

“Ini jenis burung setia, saya ingin mempertahankan agar tidak punah.”

Burung Gosong (Eulipoa wallacei) adalah burung endemik Maluku. Burung ini berkerabat dengan maleo, tergabung dalam kelompok megapoda.  Gosong maluku merupakan burung berkaki besar. Ukuran telurnya juga besar, namun tidak dierami hingga menetas.

Di rumahnya dengan luas lahan satu hektar, Eli sengaja membangun labolatorium mini. Eli berinisiatif membuat penangkaran burung yang hanya hidup di Maluku ini.

Erlan, cucu laki-laki Om Eli, juga sering diajak mencari telur burung gosong. Sepulang sekolah atau ketika libur, bocah 12 tahun itu juga diajarkan menanam pohon hingga membersihkan sampah laut.  “Saya ajarkan mereka di alam. Supaya mereka bijaksana dan memiliki rasa kepedulian,” ungkap Eli.

Baginya, anak-anak adalah harapan. Alasan itu pula yang menggerakan Eli mendirikan perpustakaan dan sanggar seni. Tujuannya satu: anak-anak tidak melupakan budayanya.

***

Eliza Marthen Kissya lahir di Haruku, 12 Maret 1949. Sehari-hari bekerja sebagai tani-nelayan dan secara formal hanya mengecap pendidikan sampai tingkat sekolah rakyat (SR). Akan tetapi, belajar tak hanya sebatas pendidikan di bangku sekolah.

Eliza banyak mengikuti pendidikan non-formal, di antaranya Pendidikan Konservasi Alam oleh Kantor Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1987); Latihan Budidaya Perikanan di Politeknik Universitas Pattimura (1989); Latihan Analisa Dampak Lingkungan oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan Yayasan Hualopu (1991); Studi Banding Pertanian Lahan Kering di Flores (1992); dan Latihan Media Komunikasi Rakyat oleh SEARICE (1993).

Dalam kedudukannya sebagai pemangku atau kepala pelaksana adat alias kewang desa di Negeri Haruku, Eliza juga terlibat aktif dalam pertemuan-pertemuan regional, antara lain pada Pertemuan Nelayan se-Indonesia Timur di Lombok (1989) serta Simposium Sumber Daya Hukum Lingkungan dan Seminar Hukum Adat Kelautan di Universitas Pattimura, Ambon (1991).

Sejak 1979, bersama Berthy Ririmase, raja (kepala desa) Haruku saat itu, dan masyarakat di sana, Eliza menghidupkan kembali lembaga dan hukum adat daerahnya untuk mengelola lingkungan hidup secara lestari. Salah satu tugas yang diemban oleh lebaga adat ini adalah penyempurnaan hukum sasi (larangan adat) untuk melindungi populasi dan habitat ikan lompa di perairan Haruku.

Untuk kepeloporannya ini, Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup menganugerahkan penghargaan tertinggi nasional di bidang lingkungan hidup, hadiah Kalpataru, pada tahun 1985.  Eli juga menerima Satya Lencana pada 1999, Coastal Award  pada 2010, penghargaan sebagai tokoh inspiratif dalam penanggulangna bencana oleh Badan Nasional penanggulanagn Bencana (BNPB) pada 2012, dan Anugerah Kebudayaan untuk kategori Maestro Seni Tradisi pada 2017.

Berderet penghargaan tersebut tak membuat Om eli membusungkan dada. “Berbagai penghargaan yang beta terima bukan berarti harus berhenti disini. Semakin banyak penghargaan, berarti semakin bertambah beban dan pekerjaan rumah kita,” ujar Om Ely lirih.

Kakek 16 cucu ini bercerita, pernah merobek undangan pemberian penghargaan sebagai pejuang lingkungan hidup, ketika mengetahui yang member penghargaan itu adalah beberapa perusahaan besar di Indonesia, yang dia tahu telah banyak merusak lingkungan bahkan menghilangkan sumber kehidupan masyarakat adat.

“Beta tidak akan pernah tergiur oleh materi dan penghargaan yang diberikan oleh penjahat lingkungan. Bagaimana mungkin perusahaan yang merusak lingkungan bisa memberikan saya penghargaan sebagai pahlawan lingkungan?” ujar Om Ely dengan nada geram.

Sampai kini Om Eli masih tetap gigih melakukan penghijauan di pesisir pantai Haruku. Ia juga aktif menentang pengeboman ikan dan terumbu karang serta pengerukan kerikil pantai di Haruku, yang bahkan pernah menjadi kasus hingga sampai tingkat pengadilan.

Ia pun rajin mencatatkan semua “pemberontakan” hatinya dalam bentuk pantun-pantun indah.

“Beta ini orang kaya, beta tinggal di Tomohon, kalau tahu itu berbahaya, mengapa Anda menebang pohon,” ucap Eliza sambil berkaca-kaca ketika menceritakan pengalamannya melakukan penentangan untuk pemngeboman ikan tersebut.

Ia pun melanjutkan kisah pengalamannya itu sambil mengutip pantunnya berikut: “Ada orang yang menyerang kami, kami lari menebang bakau, kalau takut dihantam tsunami, jangan Anda menebang bakau.”

Eliza menyampaikan betapa penting melestarikan lingkungan dan mengajarkan hal tersebut kepada anak-cucu Negeri Haruku. Manusia tanpa lingkungan tentu akan mati. Itu juga alasan mengapa Eliza begitu aktif membikin taman-taman konservasi di sekitar tempat tinggalnya, baik untuk burung, ikan, dan lain sebagainya.

Dengan posisinya sebagai kewang, Eliza dapat memiliki pengaruh kuat terhadap masyarakat Negeri Haruku agar mereka senantiasa menjaga lingkungan. Tentu aturan-aturan yang dibuatnya kemudian akan menjadi aturan bersama yang diikuti bersama oleh masyarakat sekitarnya.

Di sela perbincangan, ia pun berpantun lagi: “Mari mendaki gunung binaya, bersama temanku bernama Daut, kalau tahu itu berbahaya, mengapa buang sampah di laut.”

Bagi Eliza, laut dan daratan adalah hidupnya, maka melestarikan keduanya merupakan panggilan hidupnya yang paling suci. Namun Eli sadar, tantangan yang bakal menggantikan dirinya nanti makin berat. Pemeliharaan lingkungan, bukan metode dan bukan pula hafalan. Seperti lari marathon, jangka panjang dan mesti tahan lama.

“Harus ada tenaga yang tumbuh dan mengakar dari kesadaran pribadi.”

Pulau Haruku harus tetap lestari meski otot kaki Eli tidak sekuat dulu. Di dadanya, kecintaan menjaga alam tetap berkobar.

“Doakan saya tetap sehat dan panjang umur ya,” pungkasnya.

Riwayat Hidup

Nama               : Eliza Marthen Kissya

Lahir                : Haruku, 12 Maret 1949

Profesi             : “Kewang” alias Ketua Pemangku Adat Negeri Haruku

Pendidikan      : Sekolah Rakyat

Kegiatan Pelatihan :

  • Pendidikan Konservasi Alam oleh Kantor Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1987)
  • Latihan Budidaya Perikanan di Politeknik Universitas Pattimura (1989)
  • Latihan Analisa Dampak Lingkungan oleh WALHI dan Yayasan Hualopu (1991)
  • Studi Banding Pertanian Lahan Kering di Flores (1992)
  • Latihan Media Komunikasi Rakyat oleh SEARICE (1993).

Penghargaan:

  • Anugerah Kebudayaan untuk kategori Maestro Seni Tradisi, 2017
  • Tokoh Inspiratif dalam Penanggulangan Bencana dari BNPB, 2012
  • Coastal Award, 2010
  • Satya Lencana, 1999
  • Kalpataru, Kementerian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, 1985.#