Emilia
Ketua Kelompok Pejuang Perempuan Seribandung (KPPS)
Mengkampanyekan Peran Perempuan dalam Perjuangan Lahan
Seringkali perempuan menjadi korban ketika lahan yang menjadi sumber kehidupan terenggut. Namun tidak dengan Emilia. Dia bangkit dan bergerak membangkitkan kesadaran perempuan untuk berjuang dan melawan ketidakadilan agar tak lagi dimiskinkan dan kehilangan hak-hak dasarnya.
Menjadi orang tua tunggal bukan berarti tak bisa melakukan sesuatu yang besar dan bermanfaat bagi orang banyak. Meski hidup dengan sederhana, namun Emilia tak pernah berpikir sederhana untuk bisa memajukan kaum perempuan di Ogan Ilir. Perempuan kelahiran Seribandung, 4 Juni 1986, ini adalah ibu dari satu orang putri. Tak hanya menjadi ibu, Emi -begitu dia biasa disapa- juga berperan sebagai ayah bagi putrinya.
Emi tak bisa menolak takdir, ketika pada tahun 2006, suaminya meninggal akibat kecelakaan. Tak ada waktu untuk bersedih, Emi memilih menjadi buruh tani sebagai penyadap karet di kebun milik orang lain. Dengan penghasilan sebesar Rp150.000 sd Rp200.000 perminggu, Emi tinggal di rumah yang sederhana bersama anak dan kedua orangtuanya.
Keterbukaan Emi mengembangkan diri dan juga mengajak perempuan-perempuan lain untuk berkembang bermula ketika Emi ikut serta dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Solidaritas Perempuan (SP) pada tahun 2013. Sejak saat itu, ia mulai banyak mengetahui dan paham terkait persoalan-persoalan perempuan khususnya kesetaraan gender dan mulai menunjukkan potensi diri dari keaktifan dan ide-ide kritisnya. Emi mulai menggerakkan massa yang merupakan kaum perempuan untuk membentuk kelompok dengan struktur yang jelas.
“Kepengurusan diperlukan guna menciptakan ruang bagi perempuan untuk saling berbagi pengetahuan dan pengalaman,” ujarnya.
Tak hanya itu, Emi juga mulai aktif menghadiri rapat-rapat desa dan sudah tidak takut untuk menyampaikan aspirasinya di depan orang banyak terutama laki-laki.
Setelah terpilih sebagai Ketua Kelompok Pejuang Perempuan Seribandung (KPPS) yakni sebuah kelompok yang terbangun bersama SP Palembang pada tahun 2014, sejak saat itu Emi terus menunjukkan potensi diri bersama perempuan Desa Seribandung yang lain dengan melakukan banyak kegiatan positif. Diantaranya terus mengkampanyekan dan menyebarluaskan pentingnya peran perempuan dalam penyelesaian konflik lahan kepada perempuan lain.
Setiap dua minggu sekali, kelompok ini melakukan pertemuan untuk membahas persoalan perempuan dan berbagi pengalaman. Saat ini, mereka juga sedang berupaya membangun ekonomi alternatif dengan memanfaatkan lahan perkarangan rumah sebagai kebun. Mereka menanam bawang merah dengan menggunakan pupuk organik sebagai bentuk perlawanan dan wujud nyata bahwa perempuan sangat erat hubungannnya dengan tanah/lahan.
Sepak terjang Emi semakin kuat, dia tak hanya melakukan pendampingan perempuan di desanya. Pada tahun 2014 yang lalu, Emi menjadi sosok perempuan yang berani maju di barisan paling depan pada aksi di jalan utama depan Masjid Agung Palembang dalam upaya perjuangan menuntut penyelesaian konflik lahan warga yang dirampas oleh PTPN VII Cinta Manis.
Konflik berawal ketika PTPN VII Cinta Manis merampas tanah warga sejak tahun 1982, lahan yang dikelola luasnya kurang lebih lebih 20.000 Ha yang berada di 22 desa di kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan. Tahun 1995 dikeluarkan HGU untuk PTPN VII Cinta Manis untuk tanah seluas 6.500 Ha. Belum selesai permasalahan yang dihadapi warga akibat konflik agraria yang ditimbulkan oleh PTPN VII, Kementerian Agraria dan Tata Ruang menambah persoalan dengan kembali menerbitkan HGU yang kedua seluas 8.866,75 Ha di tahun 2016.
Konflik antara masyarakat petani dengan PTPN VII Cinta Manis merupakan konflik agraria yang telah berkepanjangan dan berlarut, sejak tahun 1982. Hingga kini, tak ada kejelasan solusi yang berkeadilan bagi masyarakat. Mayoritas masyarakat yang tinggal dan hidup di wilayah konflik dengan PTPN VII Cinta Manis, sebelum terjadinya penggusuran oleh perusahaan perkebunan itu merupakan masyarakat asli yang telah turun temurun menguasai dan mengelola tanah di wilayah tersebut.
Melalui proyek perkebunan tebu, masyarakat ketika itu dipaksa untuk menyerahkan lahan mereka. Meski terdapat penggantian uang, namun dalam pelaksanaannya banyak sekali manipulasi/kecurangan yang dilakukan oleh perusahaan. Tidak sedikit lahan milik masyarakat yang digusur secara paksa. Ganti rugi yang diterima masyarakat juga jauh sekali dari harga layak yang seharusnya diterima. Namun jikapun menolak memberikan tanahnya, di bawah todongan senjata maka tanah tersebut tetap akan digusur. Masyarakat petani tidak ada pilihan lain selain pasrah.
Kecurangan lain yang dilakukan perusahaan dengan manipulasi yaitu dengan cara mempersempit luasan kepemilikan tanah petani. Misalnya 5 Ha hanya dihitung menjadi 1,5- 2 Ha, 7 Ha hanya dihitung 2-4 Ha dan lain sebagainya.
Dulunya masyarakat sebagian besar berprofesi sebagai petani, padi, palawija, karet dan nanas. Rata-rata desa di konsesi Cinta Manis sudah ada sejak tahun 1801 pada masa pemerintahan marga. Mayoritas penduduk desa di sekitar konsesi adalah Suku Penesak, dengan bukti kepemilikan tanah berupa surat pancung alas yang diterbitkan oleh pasirah (kepala adat) dan surat pernyataan penguasaan tanah oleh Kerio/Kepala Desa. Namun, alas hak tersebut tidak pernah di akui oleh Negara sebagai salah satu bukti kepemilikan hak atas tanah.
Penanganan konflik selama ini dilakukan dengan pendekatan intimidasi, kekerasan, bahkan kriminalisasi warga. Lebih parahnya, aparat penegak hukum hanya terpaku pada dokumen-dokumen administratiif tanpa melihat fakta nyata yang dialami masyarakat serta tidak mempertimbangkan kondisi sosial budaya masyarakat maupun kerentanan masyarakat dalam hal hukum dan administrasi pertanahan. Penyelesaian konflik juga tidak pernah mempertimbangkan berbagai trauma akibat pelanggaran HAM, kekerasan dan kriminalisasi yang dialami masyarakat baik laki-laki maupun perempuan, serta tidak pernah disertai dengan pemulihan korban, baik secara psikis dan sosial. Dan Emilia, sosok perempuan buruh sadap karet maju di barisan terdepan untuk memperjuangkan hak-hak warga yang terampas. Dia memilih menjadi bagian untuk memperjuangkan hak para petani yang ditindas.
Dalam beberapa kesempatan, Emi tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan kepadanya agar dapat menyampaikan langsung persoalan-persoalan perempuan di desanya. “Saya melihat banyak perempuan yang telah dimiskinkan. Penyebabnya adalah mereka kehilangan lahan sebagai sumber kehidupan mereka. Tak hanya itu, banyak perempuan yang akhirnya memilih menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) atau menjadi buruh harian di lahan yang sebelumnya milik mereka sendiri,” terang Emi.
Emi juga melihat bahwa buruh perempuan rentan mendapatkan kekerasan, intimidasi, diskriminasi, upah yang tidak sesuai dan tidak ada jaminan kesehatan. “Lalu tidak adanya perlindungan dan perlakuan yang baik untuk perempuan yang bekerja dan membawa anak, misalnya tidak disediakan fasilitas untuk istirahat atau berteduh, tidak dimaklumi pada saat perempuan sedang dalam masa haid, dan sebagainya.”
Banyak hal yang sudah dilakukan oleh Emi dan masyarakat untuk melakukan upaya damai terkait persoalan masyarakat dengan PTPN VII. Akan tetapi perilaku aparat yang mengintimidasi, ancaman, kekerasan, dan lain-lain membuat masyarakat trauma dan sebagian menyerah pasrah akan nasib mereka.
Tidak adanya keberpihakan pemerintah terhadap nasib masyarakat terutama pada perempuan dan anak, telah membuat perempuan semakin terpinggirkan. Hal ini yang menumbuhkan inisiatif Emilia dan perempuan Seribandung lainnya untuk kembali merebut tanahnya.
Tak mudah melawan ketidakadilan yang mereka rasakan selama berpuluh tahun. Untuk itu Emi dan kawan-kawan mengatur langkah dan strategi agar perlawanan yang mereka lakukan membuahkan hasil. Salah satu langkah yang ditempuh untuk memperjuangkan hak atas tanahnya kembali adalah dengan bergabung di organisasi Kelompok Perempuan Pejuang Seri Bandung (KPPS) pada 2014. Di organisasi ini, Emi di dampingi oleh Solidaritas Perempuan Palembang. Karena pemikiran, sepak terjang dan keberaniannya, Emi didapuk menjadi Ketua Kelompok.
Banyak langkah dan usaha yang dilakukan oleh KPPS untuk memperjuangkan hak-hak perempuan yang terampas. Dengan bergabung dengan SP Palembang, Emilia merasa jauh lebih maju, baik dari cara pandang, kemampuan dan pemahamannya terkait konflik lahan yang sedang mereka hadapi dan kesempatan untuk mengapresiasikan kemampuannya.
“Saya juga mengajak ibu-ibu untuk selalu percaya diri meski sumber kehidupan menghilang, dan terus mengajak untuk memperjuangkan hak yang hilang,” ujar Emi yang selalu mengajak dan mempengaruhi keluarganya untuk terus mendukung perjuangannya.
Emi tak pernah setengah hati ketika berjuang, dia berani berada di garda terdepan. Bahkan, dengan berani si buruh sadap ini mengajukan diri untuk berorasi. Dia berteriak kencang menyampaikan persoalan yang dia dan juga warga Seribandung alami dan rasakan. “Keterlibatan perempuan di dalam aksi-aksi bukan hanya sekedar tameng dan pelengkap penderita saja,” tegasnya.
Karena kekritisan dan keberaniannya, Emi seringkali ditunjuk menjadi juru bicara perwakilan perempuan dalam dialog-dialog yang dilakukan bersama pemerintah. Diantaranya, Emi berdialog dengan DPRD Provinsi Sumsel, BPN Sumsel, Menteri KPPA, dan berdialog dengan Menteri Pertanian.
Emi pun kerap tampil sebagai narasumber dalam isu lahan, seperti menjadi narsum di beberapa diskusi publik, diskusi SP di daerah lain, mengisi acara Talkshow RRI (Radio Republik Indonesia) dalam rangka mengkampanyekan pentingnya peran perempuan dalam perjuangan lahan.
“Bersama SP Palembang, saya juga aktif mengkampanyekan pentingnya perempuan berperan dan terlibat di ranah publik. Kegiatan itu saya lakukan di desa Merbau Kabupaten Ogan Komering Ulu, di desa Betung, Lubuk Sakti dan desa Tanjung Gelam Kabupaten Ogan Ilir sedangkan di Kabupaten Musi Banyuasin kampanye dilakukan di desa Simpang Bayat dan desa Pangkalan Bulian,” terang Emi.
Untuk kegiatannya ini, Emi rela merogoh kantong sendiri untuk membiaya perjalanan yang dia lakukan maupun dalam proses perjuangannya, maupun sekedar menyiapkan tempat dan hidangan untuk pertemuan kelompok yang dia gelar.
Tak semudah membalik telapak tangan, apa yang dilakukan Emi kerap terbentur hambatan. “Perangkat desa seperti Kepala Desa maupun Kepala Dusun kurang memberikan dukungan. Sehingga masyarakat menilai mereka lebih memilih berpihak kepada PTPN daripada membela dan mendukung masyarakat,” ujarnya.
Bukan hanya itu, lanjut Emi, dari kaum perempuan yang didorong untuk maju pun seringkali menemukan persoalan. “Masih rendahnya pengetahuan dan kemauan perempuan untuk bergerak bersama memperjuangkan hak-haknya.”
Perjuangan Emi bukan diruang hampa. Dia harus berhadapan dengan banyak pihak yang menjadi ganjalan perjuangannya. Emi mencatat terbitnya HGU baru untuk PTPN pada tahun 2016 menjadi salah satu tantangan perjuangannya. Tak hanya itu, untuk membangun solidaritas antar masyarakat, baik di Desa Seribandung itu sendiri maupun dengan Desa sekitar yang juga berkonflik dengan PTPN juga bukan hal yang mudah. Bahkan masyarakat pun terpecah, ada yang berpihak pada PTPN dengan berbagai alasan seperti karena bekerja atau mempunyai anggota keluarga yang bekerja di sana.
“Mendekati tahun-tahun politik ini, ada beberapa orang atau pihak-pihak tertentu yang ingin mengambil kesempatan seolah ingin membantu masyarakat dalam memperjuangkan hak mereka atas tanah. Hal ini berdampak pada pengorganisasian yang dilakukan KPPS yang berdasarkan pengalaman mereka bertahun-tahun berjuang sendiri membuat kami sudah tidak percaya lagi dengan janji-janji politik yang dilakukan beberapa pihak. Dampaknya, hal ini terkadang menciptakan ruang dan perselisihan di antara anggota kelompok itu sendiri maupun masyarakat secara luas,” kata Emi panjang lebar.
Namun Emi tak pernah berputus asa. Dia terus berjibaku mengajak perempuan untuk terus maju. “Karena tantangan terbesar adalah bagaimana membangkitkan semangat juang dalam diri sendiri,” tutupnya.
Riwayat Hidup
Nama : Emilia
Tempat /Tanggal Lahir : Seribandung, 4 Juni 1986
Jenis Kelamin : Perempuan
Pendidikan : SMA Yayasan Al Anwar Seribandung
Pekerjaan : Buruh Tani
Alamat : Dusun II Desa Seribandung Kab. Ogan Ilir – Sumatera Selatan.