Eni Nuraini Sumartoyo

Pelatih Atletik Pelatnas PB Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PASI)

Dedikasi Pelatih Atletik Terbaik Asia

Eni Nuraini terpilih sebagai Pelatih Atletik Terbaik Asia 2019 oleh Asosiasi Atletik Asia. Sosok 72 tahun ini dinilai sebagai pelatih lokal yang mampu membina atletnya hingga bisa berprestasi ke tingkat dunia, seperti Lalu Muhammad Zohri yang meraih juara nomor 100 meter putra di Kejuaraan Dunia Atletik U-20 di Finlandia pada tahun lalu.

Acara AAA Gala Awards 2019 yang diselenggarakan Asosiasi Atletik Asia (AAA) di Doha, Qatar, pada Sabtu 20 April 2019, menjadi momen tak terlupakan bagi Eni Nuraeni Sumartoyo. Malam itu, Eni dinobatkan sebagai Pelatih Atletik Terbaik Asia 2019 oleh Asosiasi Atletik Asia (AAA).

Pelatih sprinter yang dulunya merupakan atlet renang dan berpartisipasi di Asian Games 1962 dinilai layak menerima penghargaan tersebut karena telah menunjukkan kerja keras dan dedikasinya untuk Indonesia dan Asia.

Eni mengungkapkan penghargaan dari AAA merupakan yang pertama di level internasional bagi dirinya sejak menjadi pelatih nasional atletik tahun 2006. Buat Eni, penghargaan dari AAA yang diraihnya serasa mimpi.

“Serasa mimpi (dapat penghargaan dari AAA), Alhamdulillah ada yang perhatian. Menurut mereka (saya dapat penghargaan) karena saya pelatih lokal yang bisa membuat atletnya mencetak prestasi di level internasional,” ucap nenek yang tetap enerjik di usia 72 tahun.

Selain Eni, sekjen PB PASI Tigor Tanjung juga mendapatkan apresiasi dari asosiasi yang sama. Tigor menyabet penghargaan sebagai Sekjen Federasi Atletik Terbaik Asia 2019.

Eni Nuraini selama ini dikenal sebagai pelatih bertangan dingin setelah mampu menorehkan beberapa prestasi dan membentuk atlet-atlet muda potensial tanah air. Cara melatih Eni terbukti telah membuahkan hasil manis untuk dunia atlet nasional, terutama di nomor lari jarak pendek.

Eni berkontribusi besar mengembangkan kemampuan pelari legendaris Indonesia Suryo Agung dari 2006-2009. Puncaknya, Suryo meraih emas lari 100 meter dan mencatat rekor sebagai pelari tercepat Asia Tenggara dengan waktu 10,17 detik di SEA Games 2009.

Eni juga mengantarkan Lalu Muhammad Zohri menjadi juara lari 100 meter dengan waktu 10,18 detik di Kejuaraan Dunia Atletik U-20 2018 pada Juli tahun lalu. Itu adalah prestasi pertama atlet Indonesia di kejuaraan tersebut. Adapun Eni baru menangani latihan Zohri pada Desember 2017.

Eni juga yang mengarsiteki tim estafet 4×100 meter putra sehingga meraih medali perak pada Asian Games 2018 Jakarta-Palembang. Itu adalah prestasi kedua tim estafet Indonesia setelah terakhir meraih perak di Asian Games 1966.

Dengan segudang pengalaman itu, tak salah bila Asosiasi Atletik Asia memberinya penghargaan sebagai pelatih atletik terbaik se Asia. Eni juga tercatat sebagai pelatih atletik pertama Indonesia yang meraih penghargaan itu. Prestasi itu melengkapi penghargaan ”Pelatih Terbaik Nasional” dari Kemenpora yang diraihnya pada 2009.

Bagi Eni, apresiasi tersebut sangat berarti baginya. Tidak terkecuali untuk memacu motivasi para pelatih dan atlet PB PASI lainnya.

Usai menerima penghargaan, Eni bertekad akan membawa tim estafet putra Indonesia lolos ke Olimpiade 2020 Tokyo. “Harapan saya, tim estafet kita bisa lolos ke Olimpiade 2020 di Tokyo mendatang,” kata Eni dikutip BolaSport dari antaranews.

Harapan Indonesia pada nomor estafet sendiri bertumpu pada Lalu Muhammad Zohri dan kawan-kawan di mana saat Asian Games 2018 lalu mampu memecahkan rekor nasional.

***

Eni Nuraeni lahir di Ciamis, Jawa Barat, 29 November 1947. Meski lahir dari keluarga yang gemar olahraga, anak kedua dari tujuh bersaudara ini sebelumnya tidak pernah mengenal dunia atletik.

Sejak kecil, Eni diarahkan orangtuanya untuk belajar berenang. Di usia 14 tahun, Eni telah menjadi perenang andal dengan meraih lima emas pada PON V di Bandung tahun 1961.

Eni pun pernah berpartisipasi dan berprestasi di level Asia, antara lain meraih satu perak dan satu perunggu pada Asian Games 1962 Jakarta dan satu medali perunggu pada Asian Games 1966 Bangkok, Thailand.

Dari dunia olahraga itu, Eni berkenalan dengan atlet lari Jawa Barat Sumartoyo Martodiharjo, yang kemudian menjadi suaminya. Keduanya dikaruniai tiga anak, yakni Indriani Setiawati (lahir 1970), Indro Pratomo (1971), dan Indira Sundari Diah Prawesti (1975).

Sebagai mantan atlet lari, sang suami menuntun anak-anaknya untuk mengenal dunia atletik sejak kecil. Namun Eni justru ingin anaknya lebih menekuni dunia akuatik. ”Sayangnya, waktu dibawa untuk latihan renang, anak-anak tidak mau. Mereka bilang maunya ikut latihan lari,” ujar Eni.

Anak pertama dan kedua Eni mulai berlatih lari di klub atletik Fajar Mas Murni (FMM) di Stadion Madya Senayan, Jakarta pada 1985. Ketika itu Eni selalu menemani anak-anaknya berlatih. Lama-lama, Eni dikenal oleh kalangan pelatih klub FMM.

Suatu ketika, para pelatih menyarankan Eni untuk ikut kursus menjadi pelatih atletik. Dengan demikian, sambil menemani Eni juga bisa melatih langsung anak-anaknya. Apalagi, klub juga masih kekurangan tenaga pelatih. Tanpa pikir panjang, Eni mengiyakan saran tersebut.

“Selain positif, saya juga tidak memiliki banyak kesibukan lain,” katanya dilansir dari Tribunnews. 

Sejak itu, Eni benar-benar tenggelam dalam lingkungan atletik. Dia terus mengembangkan diri hingga mengantongi lisensi kepelatihan Asosiasi Internasional Federasi Atletik (IAAF) level 2 sejak 1990. Ketika itu, lisensi kepelatihan IAAF level 2 adalah lisensi tertinggi di dunia kepelatihan atletik sebelum formatnya berubah menjadi empat level saat ini.

Eni juga mengembangkan pengetahuannya hingga mendapatkan lisensi wasit atletik utama PB PASI sejak 1995. ”Menjadi pelatih, tidak cukup hanya paham teori teknis untuk mengembangkan atlet. Pelatih juga harus paham peraturan dalam perlombaan agar atlet bisa diarahkan sesuai peraturan yang ada,” Eni tentang alasan dirinya mengikuti kursus menjadi pelatih atletik.

Di luar itu, Eni juga rutin mengikuti pelatihan singkat mengenai ilmu-ilmu baru dunia kepelatihan atletik dari para pelatih dunia, seperti pelatih asal Amerika Serikat Harry Marra dengna berselancar di dunia maya. ”Sekarang, saya juga rajin baca-baca ilmu kepelatihan dari internet, terutama cara memulihkan cedera atlet,” imbuhnya.

Eni melatih klub FMM sejak 1985 hingga 2004, saat dia dipanggil melatih Pemusatan Pelatihan (Pelatda) DKI Jakarta. Melatih klub dan pelatda sungguh berbeda. Saat di klub, Eni hanya melatih anak-anak level SD dan SMP. Di pelatda, Eni harus membimbing para atlet yang sudah dewasa.

Situasi itu menjadi tantangan untuk Eni yang belum pernah menangani atlet-atlet berusia di atas usia SMP. Namun, Eni berprinsip dirinya harus menjadi ibu bagi para atlet. Dengan begitu ia yakin para atlet akan menghormati dan mendengarkan semua nasihatnya.

Tak hanya melatih, Eni turut memperhatikan kehidupan di dalam dan luar lapangan para atlet. Ia tak segan mendengarkan keluh-kesah para atlet, termasuk masalah di luar dunia atletik. Sekali waktu, ia juga mengajak anak asuhnya untuk makan bersama. Ia pun tak sungkan membuatkan susu untuk para atlet sesudah berlatih.

Pola melatih seperti itu membuat para atlet mencapai prestasi. Eni pun semakin dikenal sebagai pelatih berkualitas. Pada 2006, ia direkrut menjadi asisten pelatih pemusatan pelatihan nasional (pelatnas) PB PASI. Setahun kemudian ia sudah menjadi pelatih utama di pelatnas.

Selama menjadi pelatih utama pelatnas, kebiasaan Eni dalam melatih pun tidak berubah. Ia tetap menempatkan dirinya sebagai orang tua dan para atlet sebagai anak-anaknya. Dengan begitu, ia cepat menemukan kedekatan dengan atlet sehingga lebih mudah dalam memberikan masukan.

Selayaknya ibu, selain mengasihi, Eni pun terkadang keras terhadap para atletnya. Sikap tegas itu muncul tatkala ia memberikan instruksi kepada atlet yang masih mengulangi kesalahan, terutama dalam mempraktikan teknik berlari.

Tak sedikit atlet yang mengeluh ketika Eni bersikap seperti itu. Tapi, Eni tak peduli dan meminta atlet terkait untuk tetap melaksanakan arahannya. Pada akhirnya, atlet itu tidak berani membantah dan tetap melaksanakan arahan tersebut. Sesudah itu, mereka pun akan cair lagi layaknya hubungan ibu dan anak. ”Sesekali, kami harus tegas dengan atlet. Kalau terus dimanja, nanti mereka tidak latihan dengan benar,” Eni yang hadir sebagai sosok ibu yang berwibawa di mata anak-anak didiknya.

Bagi Eni menjadi pelatih adalah sebuah panggilan hidup. Dia tak memiliki cita-cita lain selain membuat atletnya agar berprestasi. Seperti dikutip dari HaiBunda.com, Eni bukan hanya seorang pelatih handal, tapi juga seorang ibu rumah tangga dan nenek yang menginspirasi bagi cucu-cucunya.

Di sela-sela kesibukan Eni masih menyempatkan waktu bercengkerama dengan keluarga. Beberapa kali Eni mengunggah foto kebersamaan dengan cucu-cucunya di akun Instagramnya.

Prestasi yang diraih oleh Eni dan atlet didikannya memang tidak bisa diraih dalam waktu singkat. Butuh butuh waktu, dedikasi, perjuangan, dan kerja keras untuk mewujudkannya.

Kini, meskipun usianya telah beranjak senja, Eni tetap melakukan aktifitasnya sebagai pelatih. Penghargaan sebagai Pelatih Atletik Terbaik Asia 2019 oleh Asosiasi Atletik Asia, menjadi pelecut semangatnya untuk melakukan yang terbaik bagi bangsa dan negara.

”Selagi masih dipercaya dan diberi kesehatan yang baik, saya akan terus melatih dan melakukan yang terbaik,” pungkas Eni yang bercita-cita membawa atlet-atlet binaannya menjadi juara di Olimpiade.#

 

Riwayat Hidup

Nama   : Eni Nuraini

Lahir    : Ciamis, Jawa Barat, 29 November 1947

Suami  : Sumartoyo Martodiharjo

Anak   : Indriani Setiawati, Indro Pratomo, dan Indira Sundari Diah Prawesti

 

Karier Atlet

– Renang selama 1959-1975 

Karier pelatih

– Pelatih renang di Klub Tirta Merta, Bandung, Jawa Barat selama 1975-1979

– Pelatih atletik di Klub Fajar Mas Murni, Jakarta selama 1985-2004

– Pelatih atletik Pelatda DKI Jakarta selama 2004-sekarang

– Pelatih atletik SKO Ragunan selama 2004-2005

– Pelatih atletik Pelatnas PB PASI selama 2006-sekarang

Prestasi:

– Lima emas di PON V Jawa Barat pada 1961

– Perak estafet 4×100 meter gaya bebas di Asian Games 1962 Jakarta

– Perunggu estafet 4×100 meter gaya ganti di Asian Games 1962

– Perunggu estafet 4×100 meter gaya ganti di Asian Games 1966 Bangkok

– Pelatih Terbaik Nasional dari Kemenpora pada 2009

– Pelatih Atletik Terbaik Asia dari Asosiasi Atletik Asia pada 2019#