Ternyata, limbah tas kain lebih besar dari kantong plastik. Pun dengan sedotan stainless. Meski demikian, gerakan diet plastik telah menumbuhkan tanggung jawab untuk kelestarian lingkungan hidup jangka panjang.

Tren diet plastik atau mengurangi pemakaian barang sekali pakai sedang ramai dikampanyekan oleh pemerintah. Di beberapa daerah, pemerintah daerah setempat melarang penggunaan plastik untuk membawa belanjaan serta penggunaan sedotan plastik di rumah makan.

Gayung bersambut, hal ini direspon positif terutama di kalangan anak muda. Kampanye cinta lingkungan digaungkan oleh para komunitas pencinta lingkungan, selebritas, dan orang-orang berpengaruh lainnya.

Mereka mengenalkan sedotan berbahan dasar stainless steel, bambu, dan kaca. Sedotan ini dianggap bisa mengurangi penggunaan plastik karena dapat dipakai berkali-kali dengan cara dicuci. Dari ketiga bahan penyedot tersebut yang paling laik pakai adalah stainless steel straw karena tidak berkarat, tidak pecah, ataupun lapuk.

Sementara, untuk plastik belanjaan diganti dengan tote bag atau tas jinjing trendi ragam warna dan desain.

Namun benarkah kedua benda ini aman bagi lingkungan?

Maulana Yudhistira aktivis lingkungan dari Koalisi Pemuda Hijau Indonesia (Kophi) Kalimantan Timur mengatakan, sebenarnya sedotan stainless berasal dari proses yang tidak ramah lingkungan. Proses produksi yang kurang ramah lingkungan terutama dalam bahan dasar sedotan stainless yang melewati proses metal miningĀ  (penambangan logam) membuat sedotan ini menuai pro dan kontra.

Berbeda halnya jika penyedot berbahan dasar bambu, karena ada proses menanam dan bertumbuh secara alami tanpa mesin dan limbah yang merusak lingkungan.

“Makanya saya lebih setuju bambu sebagai bahan dasarnya. Tetapi tidak awet kan, mudah rusak,” kata Maulana dilansir dari idntimes.com.

Sebab itu, gerakan “langsung seruput” jauh lebih baik karena tidak membuat limbah apa pun. Apalagi jika membawa botol minuman sendiri, gerakan cinta lingkungan akan semakin nyata.

Maulana sangat mengapresiasi orang-orang yang lebih memilih menyeruput minumannya, karena akhirnya mereka punya tanggung jawab untuk kelestarian lingkungan hidup jangka panjang.

“Tetapi menurut saya dalam menentukan pilihan bagaimana kita menjalankan aktivitas ramah lingkungan di kehidupan sehari-hari, yang terpenting adalah keberlanjutan dan jejak karbon yang dihasilkan rendah,” ungkapnya.

Meskipun banyak orang yang sekadar ikut tren, Maulana juga mengapresiasi para pengguna sedotan karena setidaknya masyarakat mulai sadar untuk tidak memakai plastik lagi. Terutama sedotan plastik, karena benda ini tidak bisa didaur ulang seperti benda plastik lainnya.

Nah, akan halnya dengan pemakaian tote bag. Sejak berlakunya peraturan daerah tentang larangan menggunakan plastik sebagai kantong belanjaan, tas jinjing di pasar modern atau retail mulai dijual bagi mereka yang lupa bawa tote bag.

Setiap kali lupa, Anda tinggal mengeluarkan Rp3-10 ribu untuk sebuah tas belanjaan. Namun ternyata tote bag atau tas jinjing ini juga melalui proses pembuatan yang tidak ramah lingkungan. Sebelum menjadi kain sudah menghasilkan limbah dan energi yang banyak.

Proses dari kapas ke benang memerlukan banyak air untuk memproduksi kain yang berkualitas, limbah yang dibuang tentu bisa mencemari lingkungan sekitar. Tidak hanya limbah, pembuatan kain diperlukan energi yang banyak seperti tenaga kerja dan bahan bakar yang enggak sedikit.

Data dari Environment Agency of the United Kingdom, pembuatan tote bag meninggalkan limbah karbondioksida 600 pon atau setara 270 kilogram, lebih banyak dari proses pembuatan tas plastik yang hanya meninggalkan limbah sebanyak tiga pon saja.

“Sebab itu, jauh lebih baik jika tidak terus-menerus beli tas baru. Tetapi menggunakan tas yang sudah dibeli untuk bawa belanjaan berkali-kali hingga tas tersebut rusak,” sarannya.

Meski demikian, Maulana tetap optimistis dengan gerakan diet kantong plastik dan sedotan plastik ini. Seiring berjalannya waktu masyarakat akan terbiasa dan sadar akan pentingnya menjaga lingkungan. Bahkan, menurut dia, mungkin saja bukan hanya diet kantong plastik yang akan dilakukan tapi akhirnya akan memilih produk-produk yang biasa digunakan di rumah diganti yang lebih ramah lingkungan.

“Intinya selama aturan ini berjalan, pemerintah, LSM, penggiat lingkungan dan retailĀ  harus tetap mengedukasi memberikan alasan serta mendukung mereka untuk terus melakukan hal ini,” tutupnya.#