Akumulasi e-waste lebih dari 50 juta ton di dunia tiap tahun. Jika dibiarkan tentu berbahaya bagi kelangsungan hidup lantaran terdapat berbagai bahan kimia yang terkandung di dalam sampah elektronik. Sayang, belum ada aturan tegas yang mengatur.

TOKOH INSPIRATIF– Rilisan gadget atau teknologi gadget terbaru hampir tiap hari keluar. Berbagai macam promosi menarik ditawarkan untuk menarik minat pembeli, mulai dari diskon harga hingga penawaran cicilan nol persen hingga 24 bulan. Semua demi memikat konsumen untuk membeli gawai keluaran terbaru ini.

Namun  sayang, seiring dengan pesatnya perningkatan konsumsi barang elektronik meningkat, tak diiringi dengan kesadaran tentang konsekuensi dari sampah-sampah elektronik yang terus menggunung. Konsumen hanya memikirkan gengsi, tanpa pernah peduli bahaya menumpuknya sampah barang elektronik ini.

Perlu diketahui, sampah elektronik atau biasa disebut electronic waste (e-waste) kini menjadi limbah yang paling cepat meningkat di dunia. Bahkan, menurut Eco-Bussiness, jumlahnya sudah melebihi populasi manusia di muka bumi.

Masih menurut Eco-Bussines, akumulasi e-waste lebih dari 50 juta ton di dunia tiap tahun. Jika dibiarkan tentu berbahaya bagi kelangsungan hidup lantaran terdapat berbagai bahan kimia yang terkandung di dalam sampah elektronik.

Di sisi lain, perlu edukasi kepada konsumen untuk bijak dalam membeli barang elektronik. Karena selama ini era digital hanya dilihat dari sisi positifnya, padahal inovasi dalam teknologi digital modern juga memiliki konsekuensi kerugian yang sangat besar, salah satunya terkait sampah elektronik.

Melansir berbagai sumber, berikut ini lima fakta penting tentang sampah elektronik yang perlu diketahui.

  1. Sampah elektronik yang mayoritas berasal dari negara maju, ternyata banyak dibuang secara ilegal ke India, Cina, atau Ghana.

Setiap bulan ada ratusan kontainer limbah elektronik tiba di Agbogbloshie, sebuah desa nelayan di Accra, Ghana. Kawasan tersebut merupakan lokasi pembuangan sampah elektronik terbesar di dunia.

Akibat pembuangan sampah elektronik besar-besaran di desa Agbogbloshie, saat ini tempat tersebut mengalami polusi parah dengan kerusakan lingkungan yang tak lagi bisa diperbaiki.

  1. Sampah elektronik berasal dari seluruh dunia, terutama dari negara-negara maju yang warganya mampu berganti iPhone tiap kali ada keluaran terbaru

Sudah saatnya menggeser mindset untuk memikirkan nasib iPhone lama atau gawai elektronik lain yang harus disingkirkan daripada berebut jadi pembeli pertama iPhone terbaru.

Boleh jadi hp bekas Anda ada yang hanya tergeletak di laci, ada yang dijual kembali, tapi sekitar 75 persen dari limbah sampah elektronik tersebut akan berakhir di negara-negara Ghana, India, atau Cina.

Ribuan ton sampah elektronik tersebut dibuang secara ilegal, mencemari lingkungan, dan memengaruhi kehidupan para penduduk yang dipaksa hidup berdampingan dengan sampah elektronik.

  1. Biaya daur ulang sampah elektronik mahal, hanya 20 persen yang bisa dimanfaatkan

Sepertinya semua orang paham bila sampah elektronik memang sebaiknya didaur ulang. Namun tahuah Anda, proses daur ulang tidak gampang dan seringkali memakan biaya mahal.

Menurut laporan yang dirilis di World Economic Forum (WEF) seperti dilansir dari Inter Press Service Agency, hanya 20 persen limbah elektronik (komputer, ponsel, laptop, TV, printer, dan peralatan listrik rumah tangga) yang secara resmi didaur ulang.

Kalau total sampah yang dimanfaatkan kembali tidak berubah, maka pada tahun 20250 diperkirakan jumlah e-waste akan hampir tiga kali lipat bertambah, yaitu sekitar 120 juta ton.

  1. Undang-undang yang mengatur perihal sampah elektronik ini juga masih sangat kurang

Peraturan tentang sampah elektronik ini memang ada, namun tak bisa diandalkan karena penegakan hukumnya di berbagai negara pun kurang.

Sebagai contoh, undang-undang tentang e-waste di Uni Eropa berbunyi kalau 85 persen semua limbah elektronik yang dihasilkan di Uni Eropa harus didaur ulang pada 2019. Tapi target itu dianggap percuma lantaran masih banyak orang-orang yang hobi mengoleksi barang bekas tanpa digunakan lagi.

Kalau konsumsi terhadap barang elektronik terus bertambah dan tak ada penerapan solusi yang benar, maka generasi selanjutnya akan mendapat limbah yang makin banyak. Ini lantaran limbah elektronik yang tak bisa dihancurkan, semakin menumpuk, dan beracun.

Itulah lima fakta mengenaskan tentang nasib limbah elektronik. Semoga informasi ini membuat kita makin bijak sebagai konsumen barang-barang elektronik: beli sesuai kebutuhan, jangan larut berkejaran mengikuti tren gawai terbaru.***