Ilmuwan ITB Ubah Bungkus Mi Instan Jadi BBM. 

Dengan tabung berukuran dua liter, reaktor pirolisis yang dikembangkan Pandji Prawisuda mampu mengubah 200 gram bungkus mi instan menjadi 120 mililiter minyak.

Kehadiran sampah plastik memang mengkhawatirkan. Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasinya, mulai dari pengurangan penggunaan hingga mendaur ulang, menjadikannya produk bermanfaat.

Pandji Prawisuda adalah sosok pemuda dengan pemikiran inovatif. Melalui tangan dinginnya, pakar konversi energi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) ini sukses mengubah sampah plastik menjadi bahan bakar minyak (BBM). Pandji mewujudkan ide cerdasnya melalui reaktor pirolisis. 

Secara kasat mata, reaktor itu tampak sederhana. Reaktor pirolisis yang belum diberi nama itu terdiri dari tabung berukuran dua liter, kondensor, pompa air akuarium, thermocouple, dan sebuah wadah plastik. Semua alat tersambung dengan pipa, tempat mengalirnya gas hasil pemanasan hingga berubah menjadi minyak.

Kinerja piranti tersebut mengandalkan mekanisme pirolisis, yakni proses memanaskan plastik tanpa oksigen dalam temperatur tertentu. Plastik akan mencair dan berubah menjadi gas yang kemudian mengalir melalui pipa melewati kondensor.

Di dalam kondensor, gas akan didinginkan sehingga berubah menjadi minyak atau disebut juga asap cair. Minyak itulah yang nantinya bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk kompor, juga lampu minyak.

“Kalau lihat sejarahnya, plastik asalnya dari minyak bumi. Sebetulnya yang kita lakukan hanyalah mengonversi si plastik itu ke asalnya, minyak bumi,” kata Pandji.

Pandji mengawali proyek penelitiannya dengan maksud mengurangi sampah plastik. Ia mengaku sangat prihatin melihat Indonesia menyandang predikat sebagai negara penghasil sampah plastik terbesar di dunia setelah Cina.

Target Pandji adalah sampah plastik rumah tangga, seperti bungkus mi instan, bungkus kopi, dan kemasan plastik berjenis polypropylene (PP) lainnya.

“Jenis plastiknya sebetulnya bisa apa saja, yang paling tidak disarankan adalah Polivinil Khlorida karena PVC akan terlarut di dalam minyaknya. Kalau itu dibakar risikonya lebih tinggi. Tapi buat plastik-plastik yang tidak digunakan seperti bungkus mie instan, bungkus kopi, itu kebanyakan polypropylene dan itu relatif tidak sulit untuk diproses,” papar pria 39 tahun ini.

Dengan tabung berukuran dua liter, reaktor pirolisis yang dikembangkan Pandji mampu ‘menyulap’ 200 gram bungkus mi instan menjadi 120 mililiter minyak. Minyak itu dihasilkan dalam proses pemanasan selama dua jam.

Ketika diuji coba, minyak hasil olahan bungkus mi instan itu bisa mendidihkan air sebanyak 200 mililiter dalam waktu kurang dari tiga meni

Minyak sampah plastik, kata Pandji, lebih cocok dipakai sebagai pengganti kerosin atau minyak tanah dibanding bensin.

Sebab, minyak yang dihasilkan bersumber dari sampah plastik sudah tercampur dengan zat lain, sehingga berisiko bila digunakan sebagai bahan bakar kendaraan bermotor. Sedangkan dari sisi ekonomi, harga minyak sampah plastik sulit bersaing dengan bensin dan solar yang masih disubsidi.

“Kita tahu harga minyak tanah sekarang sekitar Rp13 ribu perliter. Jadi sebetulnya dari sisi itu, ini bisa jadi substitusi minyak tanah yang ekonomis. Bisa dijual di kisaran Rp5000 per liter,” ujar Pandji.

Ke depan, dia berharap bisa merancang reaktornya dengan konsep yang portabel dan komunal agar bisa digunakan masyarakat di daerah yang tidak memiliki akses terhadap bahan bakar cair, tapi memproduksi banyak sekali sampah plastik.

Pandji mencontohkan Kepulauan Seribu di Teluk Jakarta. Pulau kecil ini kesulitan mengakses BBM, sementara sampah plastiknya menumpuk sebagai dampak dari industri pariwisata.

“Nah, kalau itu kita manfaatkan sebagai energi bahan bakar cair, seharusnya pulau-pulau kecil itu bisa terpenuhi kebutuhannya dengan sampah plastik yang ada di industri pariwisata,” kata doktor lulusan Fakultas Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Tokyo.

Doktor lulusan Fakultas Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Tokyo ini mengatakan, merakit reaktor pirolisis ciptaannya terbilang mudah. Tingkat kesulitannya hampir sama dengan merakit kompor minyak. Meski demikian, Pandji menyadari bakal ada kendala dalam proses pemasarannya, terutama dalam hal mengubah perilaku masyarakat.

“Karena ini teknologi baru, dari sisi komersial mungkin orang akan ragu-ragu, apakah layak membeli ini. Artinya, saya sekarang sudah bisa punya elpiji, punya kompor minyak tanah sendiri, kenapa saya harus mengeluarkan uang untuk mengolah plastik menjadi minyak?” kata Pandji, memprediksi.

Di samping itu, ada persoalan dalam proses pirolisis, yaitu keluarnya bau yang menyengat. Namun menurut Pandji, persoalan itu bisa diupayakan agar dalam prosesnya, bau tidak bocor ke lingkungan sekitar.

“Begitu pakai sampah plastik itu, ada bagian yaitu bagian pewarna. Ini yang kita tidak bisa lawan baunya. Dan memang proses pirolisis ini lebih diutamakan supaya dia tidak bocor ke lingkungan. Jadi akan lebih mahal karena kita tidak ingin ada efek-efek ke lingkungan sekitar,” ungkap Pandji.

Dari sisi keamanan, penggunaan minyak sampah plastik memiliki risiko yang sama dengan minyak tanah. Pandji mengingatkan, setiap bahan bakar memiliki risikonya masing-masing sehingga masyarakat harus selalu berhati-hati dalam menggunakannya.

“Saya tidak berani bilang ini sepenuhnya aman, tidak berbahaya. Pasti risikonya ada. Tapi kalau dilihat dari manfaatnya ada dua lalat yang tertangkap dengan sekali tepuk. Dari sisi energinya dan dari sisi sampahnya,” pungkas Pandji.#