Dr. Driando Ahnan-Winarno | Foto oleh Dr. Driando Ahnan-Winarno

Impian Amadeus Driando Ahnan-Winarno, peneliti tempe asal Indonesia adalah suatu saat tempe bisa diolah dari bahan lokal yang tersedia di tiap negara, agar nutrisinya yang setara daging sapi bisa dinikmati banyak orang. Bersama kakek dan ibunya, Driando memprakarsai Tempe Movement yang menyuarakan potensi tempe di Indonesia dan luar Indonesia.

TOKOH INSPIRATIF – Saat ini tempe sedang naik daun di dunia, khususnya di kalangan vegan. Nutrisinya yang dinilai sama dengan daging sapi menjadi daya tarik tersendiri. Kandungan protein, energi, dan zat besi di dalam tempe dinilai layak menjadi makanan alternatif selain daging.

Faktor lain yang dinilai lebih menyehatkan adalah kadar kalsium dalam tempe yang lebih tinggi, serta lemak jenuh dan kandungan garam yang jauh lebih rendah. Berdasarkan penelitian, vitamin B12, prebiotik, dan zat antikanker juga terkandung di dalam tempe.

Tempe yang menjadi makanan tradisional asal Indonesia secara turun menurun ini pun mulai diproduksi di berbagai negara. Tidak hanya memakai bahan kedelai, para peneliti kini berusaha membuat tempe dari berbagai biji-bijian yang lebih mudah ditemukan di tiap negara.

Itulah yang dilakukan oleh Amadeus Driando Ahnan-Winarno dari Indonesia Tempe Movement. Doktor muda yang besar di keluarga ilmuan pangan ini, bersama kakeknya, Prof. Winarno, dan ibunya, Wida Winarno mendirikan laboratorium penelitian untuk meneliti berbagai kacang-kacangan alternatif pembuatan tempe. Biji-bijian yang diteliti antara lain yakni kacang tanah, kacang hijau, dan biji chia.

Di dalam laboratorium yang dikelola puluhan tenaga profesional di Bogor, Jawa Barat, ini nutrisi tempe dihitung. Proses penelitian berawal dari percobaan menyatukan ragi dengan biji dan kacang yang akan difermentasi. Setelah menemukan formula yang tepat, tahap selanjutnya adalah meneliti kandungan nutrisinya.

Riset dan penelitian ini dilakukan dengan tujuan keberlangsungan pangan di setiap daerah dan negara. Apalagi kedelai tidak bisa ditanam di berbagai daerah dengan berbagai iklim. Ia berharap penelitiannya ini bisa membuat tiap negara memproduksi tempe dengan bahan dasar yang tersedia lokal.

“Saya punya visi supaya negara-negara di dunia punya tempe sendiri dengan kacang lokal supaya nanti pergerakannya tidak terdesentralisasi. Itu mimpi utama,” ujar Driando.

Melokalkan tempe di berbagai negara

Sejauh ini, tempe sudah dikenalkan ke lebih dari 20 negara, 13 di antaranya sudah dikunjungi secara langsung oleh Tempe Movement. Mereka juga bekerja sama dengan warga Indonesia yang tinggal di luar negeri. Tempe diolah menjadi makanan dan kemudian diberikan ke warga. Tempe Movement bersama produsen lokal membuat variasi rasa sesuai dengan rasa lokal sehingga lebih bisa diterima warga setempat.

Setelah warga menyukainya, barulah mereka menyampaikan informasi mengenai nutrisi tempe. Selain nutrisi, produksi yang ramah lingkungan juga disampaikan untuk menarik minat warga.

“Untuk memproduksi protein yang sama dengan daging sapi, membutuhkan empat kali lebih rendah energi dan efek gas rumah kaca lebih rendah 12 kali lipat. Harganya juga lebih rendah 8 kali lipat.”

Driando mengatakan, di UK, orang sudah mengetahui khasiat kesehatan dan pembuatan yang ramah lingkungan. Sedangkan di India, harus mengandung bumbu yang biasa dikonsumsi di sana.

“Jadi harus menemukan soft spot masing-masing negara,” ucap Driando.

Pembuatan tempe melibatkan pengusaha kecil di negara asing. Hal ini pun berdampak pada pengusaha kecil sehingga mendapat dukungan dari pemerintah lokal. Di Iowa dan Illinois, misalnya, pemerintah lokal mendukung industri fermentasi kacang-kacangan, karena bisa menyerap kacang lokal dan mengembangkan industri rumahan.

Tempe Movement menyajikan produk tempe dengan rasa berbeda dan disajikan dalam bentuk kemasan siap makan. Rasa barbeque, mediteranian, dan curry menjadi produk kemasan yang banyak dicari. Selain itu, mereka juga masih menyediakan rasa original tempe juga untuk memudahkan konsumen mengolah tempe sesuai selera daerah masing-masing.

“Di Jepang, warga menyukai tempe yang mentah seperti sashimi yang kemudian diberikan bumbu tradisional. Kalau di Eropa dan Amerika, warga suka produk siap makan dari supermarket.”

Selain di supermarket, beberapa produk varian tempe juga bisa dibeli di marketplace seperti Amazon Inggris dan Selffridges and co. Untuk satu kemasan tempe dilabel dengan harga 3,29 poundsterling atau sekitar Rp60.000.

Tempe memiliki zat antikanker

Tempe mentah produksi Indonesia Tempe Movement (foto: Driando Amadeus/Tempe movement)

Kini tempe mulai dikembangkan, tidak hanya dari fermentasi kedelai, tetapi juga dari kacang-kacangan atau biji-bijian lainnya diantaranya kacang merah, kacang tanah, kacang polong, biji rami, biji chia, dan masih banyak lagi. Riset juga dilakukan untuk mencari tahu kandungan biji-bijian dan kacang-kacangan jika difermentasi menyerupai tempe.

Riset dilakukan di laboratorium, sehingga bisa disosialisasikan ke masyarakat. Hasil penelitian yang dilakukan Driando yang juga ilmuwan lulusan Universitas Massachusetts, menunjukan bahwa kedelai akan lebih efektif jika difermentasi.

“Sel kanker saya kasih makan tempe, itu lebih kuat antikankernya dibandingkan dengan kedelai. Artinya, hasil fermentasi bisa meningkatkan kesehatan bahan pangan.”

Target fermentasi dari berbagai kacang dan biji adalah untuk keberlanjutan pangan tanpa tergantung bahan pangan dari negara-negara lain. Hal ini akan membuat harga tempe dengan bahan baku yang ada di negara masing-masing lebih murah. Ini memang yang menjadi impian Driando dari Indonesia Tempe Movement.***

Sumber: dw.com