Irendra Radjawali

Pencipta Mesin Terbang Tanpa Awak (Drone)

Idealisme Sociopreneur Masa Kini

Drone ciptaannya berhasil digunakan untuk berbagai proyek sosial di sejumlah wilayah di tanah air, bahkan memetakan lokasi bencana dalam hitungan jam. Melalui komunitas Akademi Drone yang dia dirikan, Irendra Radjawali berharap bisa menularkan kepedulian dan keberhasilannya dalam menyederhanakan teknologi pembuatan drone kepada masyarakat luas. Drone, teknologi mutakhir yang dulu tak terjangkau harganya, kini diperkenalkan secara akrab kepada masyarakat dengan harga merakyat.  

Suasana di tempat kerja Swandiri Institute siang itu tampak begitu sibuk. Sejumlah perkakas tampak berserakan di meja yang disusun memanjang di tengah ruangan. Lantai pun tampak berantakan. Beberapa pasang mata terlihat serius memelototi layar monitor laptop di depannya. Sebagian lagi asyik dengan piranti berbentuk remote control.

Dari meja panjang itulah Irendra Radjawali bersama kru Swandiri Institute memproduksi pesawat tanpa awak atau drone. Di tangan anak-anak muda tersebut teknologi yang selama ini dikenal mahal bisa diaplikasikan dengan biaya terjangkau. Produksi mereka bisa lebih murah seratus kali lipat dibanding produksi impor yang dijual di pasaran.

Drone karya Swandiri Institute beberapa kali telah dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat luas. Mulai untuk memetakan tanah adat yang bermasalah sampai mengembangkan potensi wisata di daerah terpencil. Lantaran banyak diaplikasikan di desa-desa, pesawat dengan kamera pemotret itu kemudian populer dengan nama Drone Desa.

”Sebenarnya drone semacam itu banyak dijual di pasaran, namun dengan harga yang cukup mahal, bisa mencapai ratusan juta. Kami coba merancangnya sendiri dengan biaya supermurah, hanya sekitar Rp 3 juta,” ujar Irendra Radjawali, inisiator Drone Desa.

Sebenarnya, Radja –panggilan Irendra Radjawali– selama ini bekerja dan menetap di Jerman. Namun, enam tahun lalu dia balik ke Indonesia dan memilih tinggal di Pontianak. Dia sedang menggarap proyek penelitian ekologi. Bersama sejumlah aktivis lingkungan hidup, Radja melakukan riset-riset seputar ekologi sosial di Kalimantan Barat.

”Saat melakukan riset itulah, kami menemui beberapa kendala. Salah satunya tak bisa mengakses lokasi yang menjadi objek penelitian,” ujar pria kelahiran Malang tersebut.

Para peneliti dari Swandiri Institute juga sering terhalang izin masuk ke lahan perusahaan perkebunan. Padahal, sangat mungkin terjadi pembalakan liar di lahan tersebut. Dari problem-problem itulah muncul ide untuk melakukan pemantauan lokasi menggunakan pengamatan dari udara.

”Kami sempat terpikir untuk menggunakan helikopter, tapi ternyata biaya sewanya tidak murah,” ungkap Radja.

Pengamatan ekologi memang bisa dilakukan lewat citra satelit seperti halnya Google Maps. Namun, cara itu dinilai masih kurang akurat dan efisien. Salah satu kelemahan pemantauan lewat citra satelit adalah kurang bisa merekam objek dengan detail. Apalagi, beberapa pencitraan satelit masih sering terganggu awan.

Maka, tercetuslah gagasan untuk menggunakan pesawat tanpa awak yang dikendalikan dengan remote control. ”Kalau drone kan terbang di bawah awan, jadi bisa merekam lebih detail. Yang pasti biayanya jauh lebih murah,” jelasnya.

Alumnus Teknik Sipil ITB itu sempat bertemu teman sealmamater yang bergerak dalam bisnis drone. Dia meminta bantuan agar dibuatkan drone dengan ”harga teman”. Namun, setelah dihitung, biaya pembuatan drone tersebut tetap tak terjangkau Swandiri Institute.

Teman Radja biasa menjual drone untuk perusahaan perkebunan di kisaran harga Rp 1,5 miliar. Namun harga teman yang disodorkan ternyata masih tinggi, sekitar Rp 300 juta.

”Lantaran mentok, akhirnya kami berinisiatif membuat sendiri drone yang diinginkan,” terang peraih gelar magister dari Universitas Paris 1 Pantheon-Sorbonne, Prancis, itu.

Mereka lantas belajar secara otodidak lewat buku-buku dan internet. Salah satunya dari YouTube dan aktif diskusi dalam forum Do It Your (DIY) Drone. Radja mengaku diuntungkan banyaknya perangkat drone yang open source.

Dengan begitu, dia bisa leluasa melakukan modifikasi untuk menghasilkan drone yang murah, namun dengan kualitas tak kalah dengan yang berharga ratusan juta. ”Dari forum itu saya juga bisa mendapatkan komponen-komponen dari Tiongkok dengan kualitas bagus,” terangnya.

Radja berhasil membuat drone pertama saat pulang ke Jerman. Di negara itu dia sekaligus melakukan uji coba lapangan. ”Ketika itu musim salju. Saya harus berjam-jam di luar rumah untuk mencoba drone,” kisahnya.

Dalam tempo tiga minggu Radja berhasil merancang drone buatan sendiri dengan bodi kayu. ”Saya menghabiskan biaya sekitar 400 euro, tapi itu mahalnya untuk beli komponen otopilot asli dari Amerika,” papar pria 44 tahun ini.

Belakangan komponen yang paling penting itu sudah diproduksi di Tiongkok. Harganya pun jauh lebih terjangkau. Dengan begitu, harga pembuatan drone-drone berikutnya pun bisa ditekan hingga sekitar Rp 3 juta.

Drone pertama buatan Radja kemudian dibawa ke Indonesia untuk diujicobakan pada proyek-proyek penelitian Swandiri. ”Di bandara saya sempat mengalami kendala. Drone yang saya bawa sempat dikira bom,” kenang doktor dari Bremen University itu.

Sesampai di Indonesia, drone model helikopter tersebut diujicobakan di Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat. Pemerintah daerah di sana sedang membutuhkan perekaman gambar dari udara untuk mempromosikan pariwisata alam.

Perekaman gambar itu dilakukan dengan menempatkan kamera poket Canon Powershot S100. Kamera bekas berteknologi GPS itu dia beli dengan harga Rp 700 ribu. Hasilnya tidak mengecewakan. Pemkab Kayong Utara puas.

Setelah drone pertama sukses, Radja dan awak Swandiri terus melakukan pengembangan dan penyempurnaan. Sampai sekarang mereka telah memproduksi belasan unit drone, baik berbentuk pesawat maupun helikopter.

Drone karya Swandiri mampu terbang hingga 2,5 jam dengan ketinggian 300 meter. Dalam satu jam, drone itu memiliki daya jelajah 100–400 hektare. ”Daya jelajahnya bergantung jenis drone-nya,” jelas Radja.

Beberapa drone telah berhasil digunakan untuk sejumlah proyek sosial di sejumlah wilayah di tanah air. Di antaranya untuk memotret daerah terpencil di Kalimantan, juga dipakai di Biak, Bali, dan Nusa Tenggara Timur.

“Alat ini kami gunakan untuk membantu masyarakat. Misalnya untuk memetakan hutan adat yang bermasalah dengan perusahaan perkebunan,” terang Radja.

Sejauh ini Swandiri memanfaatkan drone karyanya untuk proyek-proyek nonkomersial. ”Sudah pernah ada seorang pengusaha yang datang meminta bantuan drone, tapi kami tolak. Sebab, drone kami untuk keperluan nonkomersial,” ungkapnya.

Radja menambahkan bahwa drone ala Swandiri Institute tersebut juga tidak bermaksud menghilangkan pemetaan partisipatif yang selama ini dilakukan masyarakat adat. Sebab, menurut dia, hal itu sama dengan menghilangkan nilai-nilai positif yang ada dalam masyarakat.

”Kami hanya membantu mempermudah pemetaan partisipatif yang dilakukan warga. Jika tanpa drone pemetaan satu desa bisa satu tahun, kini hanya dengan beberapa jam,” paparnya.

Radja optimistis, jika pemerintah ingin memanfaatkan drone murah meriah itu untuk kepentingan pemantauan udara terkait pembalakan liar dan pencurian ikan di laut Indonesia, pihaknya bersedia membantu pengadaannya. ”Kami juga bersedia berbagi ilmu, khususnya tentang pembuatan drone ini,” tegas Radja.

***

Irendra Radjawali menamatkan pendidikan tingginya di Institut Teknologi Bandung (ITB), Fakultas Teknik Sipil, pada 2002. kemudian laki-laki kelahiran Malang, 8 September 1974, ini melanjutkan studi S-2 planologi di perguruan tinggi yang sama dan lulus pada 2004. Setahun kemudian, Radja mendapat beasiswa ke Perancis.

Tamat dari Perancis pada 2008, dia disambut dengan beasiswa ke Jerman untuk belajar S-3 mengenai ekologi politik pada tahuun yang sama. Selesai S-3, Radja mengerjakan beberapa proyek pemetaan kawasan di Kalimantan. Saat itulah, dia melihat kebutuhan untuk bisa memanfaatkan drone, sebelum akhirnya menemukan jalan yang lebih terbuka lebar lewat ajang Wismilak Diplomat Success Challenge (DSC) 2015.

Tak dipungkiri, lompatan dalam “karier” Radja dengan drone terjadi saat dia memenangi Wismilak DSC 2015. Dia memenangi kompetisi itu lewat desain MATA atau Mesin Terbang Tanpa Awak atau drone. Atas kemenangannya, Radja mendapat dana hibah sebesar Rp 500 juta.

Lewat DSC, Radja kemudian merealisasikan ide-ide bisnisnya, yaitu membuat drone berbiaya jauh lebih murah dari yang kini beredar di pasaran. “Manusia merupakan pusat dari teknologi itu sendiri. Ketika teknologi tak lagi melayani manusia atau malah menjadikan orang terlalu bergantung pada teknologi tersebut, maka hal tersebut menjadi paradoks,” ujar Radja.

“Saya tidak percaya bahwa untuk berteknologi itu, orang harus selalu bersekolah setinggi mungkin. Namun, saya juga tidak mengatakan bahwa orang tidak perlu sekolah. Intinya, berteknologi itu bisa dilakukan oleh siapa saja, yang mau berpikir dan peduli terhadap suatu gagasan-gagasan yang timbul dari dalam diri,” tambahnya.

Hal itulah yang memicu Radja mencoba menularkan semua ilmu yang telah didapatnya kepada masyarakat. Dia ingin menerapkan transfer of knowledge kepada siapa pun anggota masyarakat yang membutuhkan di berbagai pelosok daerah, khususnya dalam bidang pengolahan data. Dia tak peduli apa pun latar belakang pendidikan masyarakat tersebut.

Mulailah dia membangun kelompok-kelompok masyarakat di beberapa daerah dengan nama Akademi Drone. Lewat komunitas itu, dia berharap bisa menularkan kepedulian dan keberhasilannya dalam menyederhanakan teknologi pembuatan drone.

“Saya ingin Indonesia tidak ketinggalan dalam perkembangan teknologi dan bisa memproduksi drone sendiri,” ungkap Radja.

Tak terbilang, daerah-daerah di pelosok sudah dijelajahinya dengan drone buatannya. Sejumlah daerah di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Papua, serta beberapa pulau lainnya sudah merasakan manfaat drone buatannya. Melalui berbagai institusi di daerah-daerah tersebut, drone buatan Radja menjadi begitu memasyarakat. Drone, teknologi mutakhir yang tak terjangkau harganya itu, kini dia perkenalkan secara akrab kepada masyarakat.

Sukses dengan Akademi Drone di beberapa daerah Indonesia, nama Radja semakin berkibar. Bahkan, Aliansi Masyarakat Adat Amerika Tengah langsung memintanya membuat Akademi Drone di wilayah tersebut untuk membantu menyelesaikan permasalahan di daerah-daerah tapal batas Indonesia dengan teknologi drone murah buatannya.

Tak hanya itu. Kini Radja tengah disibukkan dengan persiapan proyek kerja sama dengan Balai Sabo, Kementerian Pekerjaan Umum RI, untuk mitigasi bencana longsor letusan gunung api dengan menggunakan drone. Proyek berskala nasional tersebut akan dimulai dari Gunung Sinabung di Sumatera Utara, dan selanjutnya 129 gunung api di seluruh Indonesia.

Radja menuturkan, kepiawaiannya mengolah data memang dimanfaatkannya untuk membantu mencarikan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi, khususnya dari sisi data spasial. Data spasial merupakan data yang memiliki referensi ruang kebumian (georeference). Dalam hal itu, berbagai data atribut terletak dalam berbagai unit spasial.

Saat ini, data spasial menjadi media penting untuk perencanaan pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan pada cakupan wilayah kontinental, nasional, regional, ataupun lokal. Pemanfaatan data spasial itu kian meningkat setelah adanya teknologi pemetaan digital dan pemanfaatannya pada sistem informasi geografis.

Menurut Radja, metodologi data penginderaan jarak jauh yang bersumber dari citra satelit memang bagus. Hanya saja, data hasil metodologi itu masih memiliki keterbatasan dari sisi presisi.

“Kalau selama ini data dipahami hanya sekadar numerik dan tekstual, saya melihat ada data lain yang juga sangat penting untuk melengkapi proses pembangunan, yaitu data spasial atau ruang,” ujarnya.

“Ruang itu mengejawantah dalam bentuk peta. Jadi, saya fokus ke data spasial dengan memanfaatkan drone karena adanya kebutuhan kami sebagai peneliti terhadap data spasial yang bisa diproduksi sendiri dengan metode ilmiah, dan cukup murah, dengan presisi yang tinggi,” tambahnya.

Dengan merakit drone sendiri, lanjut Radja, dia bisa mereduksi biaya. Selain itu, secara otomatis, ilmunya pun bisa dia bagikan kepada masyarakat demi kepentingan sosial kemasyarakatan.

Radja mengaku tidak menampik soal banyaknya tawaran mengalir dari luar negeri. Proses metodologi pemetaannya dianggap unik dan tidak bisa didapatkan secara sembarangan. Contohnya adalah data yang dia dapatkan dari aplikasi kamera near infrared (NIR). Radja mengaplikasikan NIR itu pada drone buatannya.

“Dengan ini (NIR), kami bisa memetakan misalnya pada lahan pertanian untuk mengetahui mana tanaman padi yang sakit. Jadi, petani tidak perlu memberi pupuk pada keseluruhan lahan padi tersebut, tetapi cukup pada tanaman yang sakit sehingga bisa menghemat biaya cukup besar,” katanya.

Kini, Radja juga sibuk menggarap proyek-proyek yang sudah berjalan di beberapa daerah di Indonesia. Salah satu yang akan dia garap adalah pemetaan wilayah adat di Republik Indonesia, yang diprakarsai Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama pemerintah.

Bersama-sama lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau NGO lainnya, dia juga tengah sibuk mempersiapkan proyek pemetaan ekosistem gambut dan mitigasi bencana letusan gunung api.

“Saya juga berharap, akan muncul lebih banyak lagi para entrepreneur sosial yang tidak hanya berorientasi profit, tetapi juga benefit, dalam arti bisa bermanfaat bagi orang lain. Harapan saya, ketimpangan sosial bisa diminimalkan di negeri ini,” pungkasnya.

Riwayat Hidup

Biodata

Nama             : Irendra Radjawali

TTL                 : Malang, 8 September 1974

Pekerjaan      :  Peneliti

Pendidikan

Sarjana, Fakultas Teknik Sipil, Institut Teknologi Bandung, 2002

Master, Institut Teknologi Bandung, 2004

Master, Universitas Paris 1 Pantheon-Sorbonne, Prancis, 2008

Doktoral, Ekologi Politik, Bremen University, Jerman.

Organisasi

Inovator 4.0

Mendirikan Komunitas Akademi Drone

Fellows Swandiri Institute

Penghargaan

Wismilak Diplomat Success Challenge (DSC) 2015#