Bersama Komunitas Malu Dong yang dia dirikan, Komang Sudiarta mengikis budaya nyampah di Pulau Dewata dengan aksi nyata. Seiring berjalannya waktu, bendera komunitas Malu Dong juga makin banyak berkibar di banjar-banjar, komunitas adat terkecil di Bali.

Tak sulit menemukan spanduk untuk memperingatkan orang yang gemar nyampah di Kota Denpasar, Bali. Kalimatnya ada yang sopan sampai umpatan. Pemerintah Kota Denpasar juga kerap menyidangkan pelaku nyampah sembarangan ini di balai banjar. Ada petugas yang kerap mengintai lalu “tangkap tangan” pelaku dengan mencatat identitas dan meminta datang ke sidang tindak pidana ringan (tipiring).

Ada juga kebijakan terbaru larangan mengeluarkan sampah di pinggir jalan raya. Desa sudah diminta membentuk armada pengangkut sampah dari rumah ke rumah agar sampah tak menggunung di jalanan. Namun ini belum menyeluruh. Perilaku nyampah juga tak mudah hilang.

Pertanyaannya, bagaimana menghentikan perilaku nyampah sampai merasuk dalam hati?

Komunitas Malu Dong telah menemukan jawabannya dengan aksi nyata.

Komunitas peduli sampah yang namanya makin populer di kalangan anak-anak muda Pulau Dewata ini berhasil menemukan strategi sederhana, tapi cukup mengena untuk menyentil prilaku warga yang gemar membuang sampah sembarangan.

Seperti namanya, kegiatan utama Malu Dong memang membersihkan sampah. Tiap minggu sore mereka mengadakan aksi membersihkan sampah di Pantai Mertasari, Sanur. Secara berkelompok, mereka memungut beragam jenis sampah ketika ratusan warga lain memilih duduk, berenang, atau jalan-jalan di pantai yang selalu ramai itu.

Pada beberapa gelaran festival atau musik, anggota komunitas ini juga hadir sebagai bagian dari tim kebersihan. Anggota Malu Dong dari beragam latar belakang, seperti arsitek, pengacara, desainer, dan musisi tanpa sungkan bertindak layaknya pemulung. Mereka membawa alat penjepit untuk memungut sampah dan karung untuk tempat sampah. Komunitas Malu Dong juga rutin mengadakan bersih-bersih sampah di Pantai Mertasari, Sanur.

Di akun media sosial paling hits saat ini, Instagram, komunitas ini punya lebih dari 19.100 pengikut. Bendera komunitas yang lebih akrab disingkat Malu Dong ini juga makin banyak berkibar di banjar-banjar, komunitas adat terkecil di Bali. Dalam tiap kegiatan bersih-bersih, sedikitnya 100 orang ikut kegiatan mereka.

Adalah Komang Sudiarta, 53 tahun, sosok di balik Komunitas Malu Dong. Warga Banjar Tampak Gangsul, Denpasar ini memulai inisiatif untuk memungut sampah di lingkungannya sejak 2009. Ketika itu dia baru selesai bekerja di luar negeri, termasuk Amerika Serikat dan Australia. Saat kembali ke tanah kelahiran, Komang merasa malu melihat banyak orang membuang sampah sembarangan.

“Bali terkenal sebagai tempat wisata tapi banyak sekali sampah. Harus ada yang turun ke lapangan untuk membersihkannya,” kata bapak dua anak yang akrab dipanggil Om Bemo ini.

Sejak itu, Om Bemo terus memungut sampah dari tiap tempat yang dia kunjungi. Dia selalu membawa bendera Malu Dong yang berisi gambar simbol ekspresi wajah atau emoticon malu. Namun, dia justru mendapat cemoohan sebagian orang. Beberapa warga dan bahkan aktivis lembaga swadaya masyarakat yang pernah mendukung kemudian pergi.

“Tapi saya tidak mau mundur. Saya harus konsisten untuk membuktikan keseriusan saya membersihkan sampah,” kata suami dari Made Ayu Silayanti ini.

Dengan cara memungut sampah itu dia tak hanya ingin menunjukkan pada anak-anak muda tentang perlunya membuang sampah pada tempatnya tapi juga menyampaikan pesan kepada pemerintah agar lebih peduli pada pengelolaan sampah.

Banjar dan sekolah menjadi target awal Om Bemo ketika melakukan gerakan Malu Dong. Dia mendatangi sekitar 300 sekolah, dari SD sampai SMA, di ibu kota Provinsi Bali ini. Tanggapan terhadapnya bermacam-macam. Ada sekolah yang dengan senang hati menerima tapi ada pula yang mengabaikannya.

Seiring waktu, makin banyak pihak tertarik dan kemudian bergabung. Tahun lalu, tepatnya pada 23 April 2016, Komunitas Malu Dong resmi diluncurkan kepada publik.

“Resmi itu maksudnya dengan memperkenalkannya kepada publik sebagai sebuah komunitas,” kata Anak Agung Yoka Sara, penggagas dan anggota komunitas. Yoka Sara mengatakan Malu Dong adalah komunitas di mana tiap orang bebas masuk jika ingin atau keluar jika bosan.

“Tapi kami mengatur pembagian tanggung jawab sesuai kemampuan dan waktu yang kami miliki masing-masing,” tambah arsitek ternama di Bali itu.

Saat ini, jumlah anggota mereka sekitar 175 orang. Banjar yang bergabung dalam gerakan Malu Dong juga makin bertambah. Komunitas ini membagi 468 bendera yang dikibarkan di 4 kantor kecamatan, 43 desa, dan 420 banjar di Denpasar.

Menurut Sudiarta, media sosial menjadi salah satu pemicu makin banyaknya anak muda tertarik bergabung komunitas ini. “Itu yang membuat saya bangga,” ujarnya.

Kegiatan terbaru Komunitas Malu Dong dilaksanakan pada Minggu pagi 26 Mei 2019, dengan memasang 10 asbak raksasa di 10 titik yang ada di pesisir pantai di wilayah Denpasar. Kesepuluh titik pemasangan asbak itu dimulai dari Pantai Padang Galak, Pantai Matahari Terbit yang dipasang tiga titik, Pantai Segara, Pantai Sindu, Pantai Karang, Pantai Semawang, dan Pantai Mertasari di dua titik.

Tindakan ini  merupakan bentuk protes terhadap puntung rokok yang sudah terkumpul selama enam tahun dan tidak ada yang bertanggung jawab atau menindaklanjuti. Kegiatan ini sekaligus menyentil para perokok yang tak tahu aturan membuang puntung rokok.

Om Bemo mengatakan, tak mungkin menyetop perusahaan rokok, namun perlu dicarikan solusi untuk menangani bahayanya puntung rokok. Menurutnya membuat smoking area di tempat orang merokok seperti yang pihaknya lakukan yakni meletakkan asbak besar yang merupakan salah satu solusinya.

Selain pemasangan asbak untuk merokok juga dilaksanakan aksi bersih-bersih puntung rokok. Bahkan di Pantai Mertasari, di lapangan tempat bermain layang-layang pihaknya mengumpulkan hingga 30 botol puntung rokok.

Usaha tidak pernah mengkhianati hasil, akhirnya pemerintah dan perusahaan rokok turut berkontribusi dengan menyiapkan asbak tersebut dan menentukan titik peletakannya. Ia juga membutuhkan peran media untuk menyosialisasikan, agar masyarakat tidak merokok sembarangan.

Kini, Komunitas Malu Dong kerap menjadi narasumber di beberapa universitas atau kegiatan seperti bakti sosial. Dalam waktu dekat,  Komunitas Malu Dong juga akan menjadi pengisi kegiatan edukasi yang diadakan oleh Sekolah Monarch Bali dan persiapan untuk Malu Dong Festival yang akan digelar dalam waktu dekat.

Sampah dan nyampah memang tak pernah usai diperbincangkan di Bali. Pemerintah Provinsi Bali juga masih belum memastikan sistem penanganan sampah terintegrasi karena di TPA terbesar,Suwung, investor dinilai gagal mengolah sampah jadi listrik seperti perjanjian pasca konferensi perubahan iklim 2007 lalu di Bali.

Dan pada akhirnya, orang-orang baik seperti Komang Sudiarta dengan Komunitas Malu Dong yang didirikannya menjadi jawaban konkrit atas berbagai masalah pelik persampahan di Pulau Dewata. #