Ashab dan Tubagus

 

 

Di usia yang masih terbilang belia, keduanya sukses mendirikan sebuah perusahaan rintisan (start-up) di bidang peternakan bernama Chickin Indonesia. Bertujuan membantu peternak ayam Indonesia untuk meningkatkan produktifitas dengan memoderninasi sistem peternakan, dalam perjalanannya perusahaan rintisan itu berhasil memperoleh pendanaan sekitar Rp35 miliar dari 3 investor global, lewat pendanaan sesi seed round dalam waktu 10 bulan terakhir.

 

 

 

NAMA Ashab Alkahfi, 22, dan Tubagus Syailendra,23, belakangan menjadi buah bibir karena prestasinya yang luar biasa. Dua pemuda alumnus Universitas Brawijaya ini terpilih masuk ke dalam daftar 30 under 30 Forbes Indonesia.

Forbes 30 under 30 merupakan daftar anak muda yang berusia di bawah 30 tahun. Baik dari kalangan pengusaha, pemimpin, maupun pekerja seni yang berhasil membuat sebuah terobosan.

Bukan tanpa alasan keduanya bisa masuk ke dalam daftar prestisius tersebut. Di usia yang masih terbilang belia, keduanya sukses mendirikan sebuah perusahaan rintisan (start-up) di bidang peternakan bernama Chickin Indonesia, dibantu oleh Ahmad Syaifullah, mahasiswa Sistem Informasi FILKOM UB untuk mengembangkan aplikasinya.

Aplikasi Chickin Indonesia digunakan untuk memudahkan para peternak ayam di tanah air dalam melakukan operasional peternakan secara efisien namun di saat bersamaan juga memperoleh peningkatan produktivitas ternak.

Ashab yang merupakan alumnus program studi (prodi) Agroekoteknologi duduk sebagai President di perusahaan rintisan tersebut. Sedangkan Tubagus adalah alumnus Hubungan Internasional dipercaya sebagai CEO. Adapun Ahmad Syaifullah ditunjuk sebagai Chief Technology Officer. Mereka lulus tahun 2020.

“Kami dipertemukan saat baru menempuh kuliah semester 1,” tutur Tubagus.

Proses Panjang

Selama kuliah, mereka telah malang-melintang di dunia usaha. Seperti menciptakan beberapa bisnis, menjadi peternak unggas, berpartisipasi dalam kegiatan wirausaha, dan kompetisi bisnis.

“Terlihat sangat ambisius di usia kami saat itu, karena kami harus bekerja 18 jam/hari untuk menyeimbangkan kehidupan kuliah dan bisnis saat itu,” ucap mahasiswa yang berhasil menyelesaikan kuliahnya 3,5 tahun.

Usai menjalankan usaha kecil-kecilan dan memenangkan berbagai kompetisi bisnis, mereka mengumpulkan modal untuk mendirikan usaha yang lebih serius. Yakni Chickin Indonesia, start-up di bidang peternakan.

“Karena sejak kami menjadi peternak, kami telah melihat banyak sekali kendala dalam membudidayakan ayam dan industri perunggasan yang memiliki potensi besar untuk berkembang,” jelas Tubagus.

Kehadiran start-up tersebut bisa membantu para peternak untuk melakukan aktivitasnya. Seperti pengontrolan suhu kandang ayam secara manual, data harian, bahkan data penjualan.

“Awal kami riset dan development di daerah Klaten Jawa Tengah. Di sana kita jadi peternak, lalu membangun kandang dan mulai usaha ternak ayam sampai akhirnya ketemu banyak permasalahan yang dihadapi peternak lokal. Dari situ kita mencoba solve problem dengan menggunakan teknologi,” ujar Ashab, mengutip laman resmi UB.

Lebih jauh dengan diterapkan teknologi IoT, platform yang mereka kelola juga mampu membantu berbagai kebutuhan seperti mengelola data kandang, mengatur berbagai aktivitas harian mulai dari pengontrolan suhu, memantau kondisi serta umur ayam, hingga memantau data penjualan.

Istimewanya melalui teknologi yang digunakan, produktivitas ayam yang dihasilkan oleh para peternak diketahui juga bisa meningkat hingga 25 persen lebih tinggi. Hal tersebut diakui oleh salah satu peternak bernama Yudi, yang sudah menggunakan platform Chickin dan menurutnya sangat membantu dalam pengelolaan serta manajemen pemeliharaan.

“Apabila dilakukan dengan SOP yang ketat, sistem pemeliharaan akan efisien untuk pakan, mortalitas bisa ditekan dengan cara pencegahan dan pengobatan yang presisi,” ujar Yudi.

Dari ide brilian itu, start-up Chick-in dibina langsung oleh Badan Inovasi dan Inkubator Wirausaha Universitas Brawijaya (BIIW). Baik untuk pengembangan usaha hingga pencarian pendanaan.

Selain menghadirkan platform pengelolaan ternak, Ashab, Tubagus, dan Syaifullah juga mengelola sistem pengelolaan dan distribusi ayam dari hulu ke hilir. Ini bertujuan agar ayam hasil produksi dari para peternak dapat terdistribusi dengan baik secara langsung ke sejumlah produsen, atau rumah makan yang ada di Indonesia.

Diunduh lebih dari seribu peternak

Saat ini, Chickin telah diunduh lebih dari seribu peternak ayam di Indonesia dengan target 10 juta ayam yang dipelihara tiap bulannya. Chick-in juga telah menjalin kemitraan dengan 14 rumah potong hewan dan 100 industri makanan penyuplai daging ayam.

Catatan besarnya lagi, pertumbuhan bisnis Chick-in mencapai 22 kali lipat dalam 10 bulan terakhir. Bahkan perusahaan rintisan yang telah mereka bangun diketahui berhasil memperoleh pendanaan sekitar Rp35 miliar dari 3 investor global, lewat pendanaan sesi seed round dalam waktu 10 bulan terakhir.

“Kami menargetkan peningkatan omset sebesar Rp 500 milyar di akhir tahun 2022 dengan 10 juta ekor ayam yang diberdayakan setiap bulannya,” ucap Tubagus.

Berkat inovasi tersebut, tak salah bila start-up Chickin Indonesia lolos ke daftar Forbes 30 Under 30 Indonesia.

“Dengan kepercayaan dari orang-orang di sekitar saya, saya merasa sangat terhormat bisa menjadi bagian dari angkatan 30 under 30 Forbes tahun 2022,” ucap Ashab.

Ashab berharap, aplikasi yang mereka kembangkan dapat memberikan dampak positif dan kemudahan untuk para peternak ayam. Untuk itu, mereka kerap memberikan pembinaan pada peternak ayam secara gratis untuk modernisasi peternak ayam Indonesia. Mereka juga memilki misi untuk meminimalisir pemberian antibiotik pada ayam organik dengan mengandalkan suhu kandang.

Salah satu peternak yang memanfaatkan aplikasi itu adalah Yudi. Menurut dia, Chickin sangat membantu dalam pengelolaan dan manajemen pemeliharaan ternak.

“Apabila dilakukan dengan SOP yang ketat, sistem pemeliharaan akan efisien untuk pakan, kematian ternak juga bisa ditekan dengan cara pencegahan dan pengobatan yang presisi,” kata Yudi.#