Sejak masa lampau ikan batak menjadi hidangan wajib keluarga raja dan bangsawan di Toba. Saat acara keagamaan, ia menjadi semacam mula jadi na bolon atau persembahan kepada Tuhan. Sayang, kini populasinya makin menipis. 

TOKOH INSPIRATIF – Bicara soal Danau Toba, ingatan masyarakat tentu akan langsung tertuju kepada pemandangan alam dan danau luas yang terbentuk dari letusan gunung purba Toba pada 74.000 tahun lampau. Tak banyak yang tahu bahwa danau seluas 1.130 kilometer persegi itu juga memiliki biota endemik di dalamnya yang telah berkembang biak sejak ribuan tahun silam.

Namanya Neolissochilus thienemanni atau oleh masyarakat setempat dikenal sebagai ikan jurung atau ihan batak. Secara ilmiah ia disebut sebagai ikan batak dan masih berkerabat dekat dengan ikan mas karena dari famili yang sama yakni Cyprinidae atau suku ikan karper. Hanya saja, secara morfologi ikan batak punya ciri tertentu.

Menurut website Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), ikan batak dicirikan dengan badan pipih memanjang dengan warna keperakan di usia kurang dari enam bulan dan akan berubah menjadi kuning kehijauan seiring bertambahnya usia. Cuping ikan batak berukuran sedang pada bibir bagian bawah.

Sirip punggungnya berbentuk cekung dan sirip dubur membuat serta sirip pada ekor menggarpu dengan bagian ujung meruncing. Terdapat 10 sisik di depan sirip punggung dan 26 sisik di sepanjang gurat sisi. Selain itu, terdapat 24–28 sisik menutupi bagian linea lateralis atau garis yang biasanya terlihat pada bagian tengah tubuh ikan.

Pada masing-masing sisi moncong dan di bawah mata terdapat 10 baris pori-pori yang tidak teratur. Alurnya memanjang dari belakang sampai ke bibir bawah. Lalu, untuk membedakan jenis kelamin ikan bisa dilihat dari bentuk tubuhnya lantaran si betina akan lebih kembung badannya dari jantan. Perbedaan lainnya, ada pada warna karena ihan jantan lebih gelap dari betina.

Menurut peneliti dari Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar dan Penyuluhan Perikanan KKP Deni Radona, fauna ini, terutama anakannya, banyak ditemui di perairan dangkal danau, di kedalaman 4-5 meter dengan dasar berpasir atau bebatuan serta berarus deras. Mereka menyukai air jernih dan bersuhu rendah, sekitar 16–26 derajat Celcius serta kandungan oksigen tinggi.

Semakin besar usia, ikan batak akan memilih berenang di bebatuan dasar danau sampai kedalaman maksimal 15 meter. Ikan ini termasuk fauna nocturnal atau mencari makan di malam hari dan saat siang akan banyak berdiam di balik bebatuan. Makanan alaminya adalah siput, cacing, dan azolla (Mosquito ferns) atau sejenis tanaman paku yang tumbuh mengapung di permukaan air.

Sebagai ikan penghuni hulu dengan arus air deras, gerakannya sangat cepat dan agresif. Ikan batak membutuhkan waktu hingga 54 bulan untuk mencapai ukuran tubuh maksimal 1 meter dan berat 30 kilogram. Usia hidup ikan ini lumayan panjang, dapat mencapai 40 tahun. Sepintas, ihan batak mirip dengan marga Tor seperti kancra, tombro, semah, lempon, atau ikan dewa.

Ikan Dilindungi

Ikan batak memiliki nilai ekonomi tinggi karena rasa dagingnya yang padat, empuk, serta gurih ketika dimasak. Anakannya seukuran 2–3 cm dihargai rata-rata Rp7.000 per ekor dan seekor ikan dengan berat 100 gram dan panjang 21 cm dibanderol senilai Rp90.000. Artinya, seekor ikan seberat 1 kg harganya bisa mencapai hampir Rp1 juta.

Selain itu, sejak masa lampau ikan batak menjadi hidangan wajib keluarga raja dan bangsawan di Toba. Saat acara keagamaan, ia menjadi semacam mula jadi na bolon atau persembahan kepada Tuhan. Ia juga menjadi hidangan yang paling ditunggu-tunggu saat ritual adat masyarakat Mandailing upa-upa atau mangupa, yaitu berdoa untuk meminta keselamatan, kesehatan dan ungkapan syukur kepada Yang Maha Kuasa.

Umumnya, ikan batak menjadi bahan utama arsik, masakan ikan berkuah khas masyarakat Batak Toba. Dalam setiap acara perkawinan adat di Toba, masakan arsik dari ikan batak wajib diberikan sebagai buah tangan keluarga mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan atau tudu-tudu sipanganon. Sayangnya, hidangan arsik berisi ikan batak perlahan mulai digantikan oleh ikan mas.

Hal itu karena semakin langkanya fauna tersebut di habitat aslinya. Penangkapan besar-besaran oleh nelayan dan para pemancing karena tingginya harga ikan dan meningkatnya permintaan masyarakat menjadi penyebabnya. Bahkan Dewan Konservasi Alam Internasional (International Union Conservation Nature/IUCN) telah memasukkan hewan ini ke dalam Daftar Merah (Red List) berkategori Vulnarable (VU).

Artinya, ikan batak rentan terhadap kepunahan dari habitatnya di Danau Toba. Oleh sebab itu, KKP pun menerbitkan Surat Keputusan Menteri KKP nomor 1 tahun 2021 tentang Jenis Ikan Yang Dilindungi. Dalam peraturan tersebut, KKP memasukkannya ke dalam jenis ikan yang statusnya dilindungi secara penuh.

Lewat peraturan ini pula, pemerintah mengawasi setiap penangkapan ikan batak oleh masyarakat agar tidak berlebihan, mulai dari kawasan sekitar Danau Toba dan sungai-sungai yang bermuara ke danau vulkanik terbesar di dunia tersebut. Selain itu, masyarakat juga diajak untuk mulai mengonsumsi ikan-ikan di luar ikan batak.

Saat ini, Instalasi Riset Plasma Nuftah KKP di Cijeruk, Sukabumi, Jawa Barat sudah berhasil membudidayakan ikan batak dalam jumlah banyak. Sebagian besar hasilnya dilepaskan ke habitat aslinya di Danau Toba untuk menambah populasinya. Pemerintah kabupaten di Humbang Hasundutan dan Samosir misalnya telah meminta masyarakatnya untuk membatasi penangkapan ikan batak.

Mereka juga mengajak kelompok-kelompok nelayan di sekitar Danau Toba untuk mulai membiakkan anakan ikan batak di kolam-kolam penangkaran dan dalam umur tertentu dapat dilepaskan ke habitatnya.

Hal itu dilakukan supaya ikan batak tetap menjadi penghuni terakhir di perairan Danau Toba dan agar masyarakat bisa terus mencicipi gurihnya arsik berbahan ihan batak tanpa perlu khawatir populasinya makin berkurang.***

Sumber: Indonesia.go.id