Lili Hasanudin, Direktur Program Setapak 2

Anak Rimba Pulang Kampung

Setelah 17 tahun “merantau” ke isu demokrasi, pemilu, konflik, hingga desentralisasi, Lili Hasanuddin seperti sedang pulang kampung ketika dipercaya menggawangi Program Setapak 2 (Selamatkan Hutan dan Lahan Melalui Perbaikan Tata Kelola), The Asia Foundation. Di sini, Lili bagaikan simpul penghubung dari berbagai pihak, antara CSO, akademisi, lembaga pemerintah, maupun lembaga-lembaga lain yang membuat Setapak makin berwarna dan bergerak dinamis.

Indonesia dikaruniai hutan hujan tropis terluas ketiga di dunia dengan tingkat kayakeanekaragaman hayati yang luar biasa. Hutan tropis ini merupakan habitat flora dan fauna yang kelimpahannya tidak tertandingi oleh negara lain dengan ukuran luas yang sama. Bahkan sampai sekarang hampir setiap ekspedisi ilmiah yang dilakukan di hutan tropis Indonesia selalu menghasilkan penemuan spesies baru.

Di sisi lain, puluhan juta masyarakat di negeri ini masih mengandalkan hidup dan mata pencahariannya dari hutan. Melihat betapa pentingnya hutan bagi kehidupan, namun menjadi miris ketika melihat laju kehilangan hutan di Indonesia begitu cepat.

Pembalakan ilegal sudah berlangsung secara terang-terangan dalam volume yang sangat besar selama bertahun-tahun dan diyakini telah merusak hutan seluas 10 juta ha. Sementara bukti-bukti terjadinya kerusakan sudah sedemikian banyak, namun gambaran tentang kerusakannya masih tetap kabur karena data yang ada saling bertentangan, informasi tidak tepat, dan klaim serta bantahan yang saling bertentangan.

Direktur Program Selamatkan Hutan dan Lahan Melalui Perbaikan Tata Kelola (Setapak) 2, Lili Hasanuddin mengatakan, kerusakan hutan sulit terelakkan akibat kebakaran hutan, penebangan ilegal (illegal logging) dan izin-izin yang masuk ke kawasan hutan.

“Izin itu legal maupun non legal. Maksudnya, banyak perusahaan yang mengambil kawasan hutan dan sesuai dengan peruntukan berdasarkan izinnya, ada pula yang melanggar izin,” kata Lili.

Lili berharap, kerusakan hutan seharusnya tidak hanya dilihat sekedar persoalan kayu dan keaneragaman hayati. Hutan adalah isu soal kehidupan masyarakat. Apalagi, tak sedikit masyarakat lokal yang masih menggantungkan hidupnya dari hasil hutan.

“Jadi musnahnya hutan, juga akan memusnahkan kebudayaan dan kehidupan. Karena itu, kita harap semua pihak yang punya modal dan kewenangan memberikan izin, berpikir ulang untuk merusak hutan,” katanya. 

Tentang program penyelamatan hutan dan lahan melalui perbaikan tata kelola, The Asia Foundation (TAF) melalui Program Setapak 2, selama hampir sewindu terus menggaungkan program ini. Bekerjasama dengan 68 mitra yang terdiri atas lembaga penelitian dan organisasi masyarakat sipil yang tersebar di hampir seluruh provinsi di Indonesia, telah banyak capaian yang diraih Setapak bersama para mitranya.

Diantaranya adalah menghasilkan 193 kebijakan terkait dengan izin perhutanan sosial, transparansi, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan kebijakan terkait anggaran, mediasi konflik, moratorium sawit dan tambang, hak masyarakat hukum adat, dan lain-lain untuk memperbaiki tata kelola hutan dan lahan yang berkelanjutan.

Menekan sebesar 1.080 izin usaha pertambangan yang melanggar di sejumlah daerah dan bekerja bersama Korsup Minerba KPK untuk mengkaji izin-izin minerba yang bermasalah.

Setapak 2 juga berkontribusi 8 persen terhadap 146.797 juta hektar pencapaian perhutanan sosial secara nasional. Dimana 222.970 hektar telah diizinkan untuk dikelola warga melalui berbagai skema perhutanan sosial.

Program Setapak 2 berhasil mendorong penguatan gender focal point dengan menambah jumlah “gender champions” melalui pendekatan Gender Responsiveness Approach (GRA) untuk mendorong keadilan gender serta memperkuat jejaring organisasi masyarakat sipil (CSOs) dalam isu-isu gender dan lingkungan hidup serta mewujudkan keadilan dan kesetaraan dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Langkah lainnya adalah dengan bekerjasama dengan pemerintah dan membuat program-program yang fokus terhadap perempuan, seperti Temu Pejuang Keadilan dan Kesetaraan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Adil dan Berkelanjutan di Jakarta dan Papua pada tahun 2018 dan 2019, dengan menghadirkan tokoh perempuan dan laki-laki dari berbagai provinsi yang aktif mengawal isu tata kelola hutan dan lahan.

Lili yakin bersama mitra Setapak, program Setapak akan semakin mengokohkan peranannya dalam memperjuangkan keadilan gender dan kesetaraan khususnya bagi kaum perempuan.

***

Lili Hasanuddin adalah sosok yang memiliki pengalaman lebih dari dua puluh tahun bekerja dengan organisasi masyarakat sipil dalam isu-isu tata pemerintahan yang baik, pemilihan umum yang demokratis, desentralisasi dan perlindungan lingkungan.

Selama sepuluh tahun bekerja dengan Aliansi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Demokrasi (Yappika), Lili Hasanuddin terlibat dalam mempromosikan perbaikan pada sistem pemilu di Indonesia, setelah mengadakan observasi pemilu di provinsi Aceh dan Papua (1999) serta terlibat dalam tinjauan kerangka peraturan yang mengatur pemilu. Di sini, Lili meletakkan dasar untuk memantau pemilu, bahkan sebelum menjamur lembaga survei meramaikan negeri ini pasca reformasi.

Dia juga bertugas sebagai pengamat internasional untuk pemilihan presiden Sri Lanka 2005.

Sebelum bergabung dengan Yappika, Lili menghabiskan delapan tahun dengan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) sebagai koordinator program, di mana fokusnya adalah penelitian, advokasi dan penjangkauan publik seputar masalah kehutanan dan keanekaragaman hayati. Dengan keterampilan yang kuat dalam manajemen program, ia berpengalaman dalam merancang, merencanakan, memantau, dan mengevaluasi program peningkatan kapasitas untuk organisasi masyarakat sipil.

Menceburkan diri dalam dunia organisasi dilakoni Lili sejak duduk di bangku SMA. Anak ke empat dari lima bersaudara ini membuat organisasi bernama Forum Ilmiah Remaja Jakarta Utara. Didampingi oleh lembaga Penelitian Indnonesia (LIPI), organisasi ini melakukan berbagai penelitian sosial.

Menjelang akhir SMA, bersama seorang sahabatnya, Lili membuat penelitian tentang kehidupan buruh di Pelabuhan Tanjung Priok. Tak disangka, penelitian itu berhasil menyabet juara 3 dalam ajang Lomba Karya Ilmiah Remaja. Inilah yang kemudian menjadi tiket baginya untuk melenggang masuk kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) tanpa ujian.

“Saya diundang oleh Prof. Andi Hakim Nasution (rektor IPB saat itu, red.) karena menang lomba karya ilmia remaja. Sampai sekarang surat undangannya masih saya simpan,” kenang kelahiran Sumbawa, 8 April 1963.

Selama menjadi mahasiswa, Lili memilih tinggal di asrama dengan berbagai dinamikanya. Lili yang sejak awal menyukai ilmu-ilmu sosial, memilih Fakultas Sosial Ekonomi Pertanian pada saat penjurusan sebagai pilihan pertama, dan Fakultas Kehutanan menjadi pilihan kedua. Namun, nasib mengantarkannya menuju pilihan kedua. 

“Awalnya nggak tertarik kehutanan. Pilih kehutanan juga karena keluarga ibuku banyak yang kerja di jawatan perhutanan,” cetus Lili yang begitu mengagumi sosok ibunda yang telah membesarkan lima anak seorang diri setelah suaminya berpulang, sejak Lili berusia 3 tahun.

Dari ibundanya pula Lili belajar banyak tentang kehidupan dan bagaimana harus saling menghargai perbedaan di tengah komunitas masyarakat yang beragam. Kebetulan, Lili dan saudara-saudaranya tumbuh besar di Tanjung Priok, Jakarta Utara, sebuah kawasan yang dihuni berbagai etnis dan bisa disebut sebagai miniaturnya Indonesia.

”Mama bilang, menghormati sesama manusia juga aturan agama. Jangan terlalu sempit (memahami agama),“ Lili yang di dalam tubuhnya mengalir darah Sumbawa dari ibu dan Cirebon dari mendiang sang ayah.

Wejangan itu begitu membekas di hati Lili, sehingga selalu menjadi pegangan dalam perjalanan hidupnya di kemudian hari. Termasuk ketika dia aktif di lembaga pers kampus dan Sylva Indonesia, sebuah organisasi mahasiswa kehutanan lintas kampus.

Pandai membawa diri, otak cemerlang, dan kepribadian yang kuat, mengantarkannya terpilih menjadi Ketua Senat Mahasiswa IPB. Posisi ini pula yang mengantarkan Lili muda berkenalan dengan banyak organisasi di luar kampus, termasuk Walhi.

Menjelang lulus kuliah, Lili mulai mencari pekerjaan yang pas dengan karakternya. “Sepertinya bekerja di organisasi itu enak. Bisa jalan ke mana-mana, ke lapangan, dan tidak melulu duduk di kantor,” cetus Lili yang pernah menjadi jurnalis lepas dan menulis di beberapa media.

Gayung bersambut. Lili mendapat undangan dari Walhi untuk mengikuti latihan investigasi hutan di Padang, Sumatera Barat. Selama sepekan, dia menjalani training di atas kapal laut, lalu praktik langsung di lapang, di sebuah lokasi di Sumatera Barat. Cukup menyenangkan, katanya.

“Di situ saya melihat ada orang-orang aneh. Orang yang agak tua, tapi gayanya masih seperti anak muda, enerjik, gagasannya aneh-aneh, bercandanya enak,” kenang Lili.

Di situlah kemudian dia menemukan ‘dunia lain’ yang asyik dan membuatnya terkaget-kaget. Ingin menyelami lebih dalam tentang Walhi, Lili pun mendaftarkan diri menjadi salah satu relawan di sana.

Dua tahun menjadi relawan, akhirnya dia direkrut menjadi staf yunior untuk program keanekaragaman hayati. Di sini, Lili banyak menghadiri acara-acara yang diselenggarakan Walhi di banyak tempat hampir di seluruh penjuru Indonesia. Cakrawala pandang terhadap situasi Indonesia makin terbuka.

“Melihat Jakartanya bagus, tapi di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, apalagi di pulau-pulau kecil seperti Mentawai, ada perbedaan yang sangat timpang dalam pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia,”  Lili yang juga diminta menulis dan mengelola buletin Tanah Air bersama Trinirmalaningrum, rekan sesama Walhi.

Tiga tahun kemudian, tepatnya 1994, Lili dipercaya sebagai Manager Kampanye Hutan menggantikan Emmy Hafild yang terpilih menjadi Direktur Eksekutif Nasional Walhi. Kemampuan Lili semakin terasah.

Asyik menyelami dunia NGO, sampai pada suatu titik, Lili merasa ‘terjerumus’, sehingga melihat tidak ada jalan untuk kembali. Walaupun jujur diakui, jelang sembilan tahun aktif di NGO, dia sempat gelisah. Saat itu, Lili merasa seperti hidup dalam dua dunia. Di satu sisi dia lantang meneriakkan idealisme, di sisi lain harus melihat perekonomian rumah tangga yang kembang kempis.

Padahal, pada saat bersamaan, beberapa tawaran pekerjaan yang menjanjikan kehidupan yang lebih mapan terbentang di depan mata. Terlebih pada saat itu, lulusan Fakultas Kehutanan IPB masih sangat dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan besar di bidang kehutanan.

“Bayangkan, gaji 125 ribu rupiah sebulan untuk menghidupi anak, istri, harus memikirkan pendidikan dan masa depan anak. Saya tidak boleh egois. Bagaimanapun saya punya tanggung jawab untuk keluarga dan masa depan anak-anak.”

Saat berada dalam persimpangan, Lili menemukan sosok panutan, dimana dia bekerja di NGO tapi tetap bisa menghidupi keluarga dengan layak. Akhirnya, suami dari Elliyani (almarhumah) ini pun mulai mempelajari kapasitas apa saja yang harus dimiliki seseorang untuk aktif di NGO. Di situlah kemudian dia belajar lebih banyak dan mendalami tema-tema khusus yang menjadi bekal untuk tetap bertahan di dunia NGO yang telah terlanjur dicintainya.

“Jadi dalam perjalanan itu kemudian mucul kesadaran-kesadaran baru bahwa ternyata situasi negara itu harus ada pengimbang, untuk mengimbangi harus ada kekuatan. Nah kekuatan itu harus dibekali dengan kemampuan. Itu yang saya bangun pelan-pelan.”

Dan, perjalanan panjang Lili di dunia NGO pun dimulai dengan langkah lebih mantap. Setelah menyelesaikan tugas di Walhi yang kental dengan isu kehutanan, selanjutnya ia bergerak ke isu kelembagaan dan penguatan partisipasi masyarakat.

Itu terjadi pada pada akhir 1997, ketika Yayasan Persahabatan Indonesia Kanada (YAPIKA) sebuah konsorsium antara NGO Indonesia dan Kanada, memintanya bergabung dalam organisasi tersebut. Dalam perjalanannya, YAPIKA bermetamorfosa menjadi YAPPIKA (Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat) dan Lili dipercaya sebagai koordinator program advokasi dan pengembangan jaringan (1997-1999), Wakil Direktur Pengembangan Program (1999-2002), dan terhitung sejak Juni  2002-2008 menempati posisi Direktur Eksekutif.

Pada tahun keenam, Lili tetap diminta menjadi direktur eksekutif YAPPIKA, tapi dia menolak. “Saya tidak mau. Selama ini kita kritik Suharto duduk lama-lama, masa kita praktikkan di sini,” terang Lili yang akhirnya memutuskan mengundurkan diri dari YAPPIKA.

Dengan bekal pengalaman berkecimpung di dunia lingkungan hidup, kelembagaan, demokrasi, desentralisasi, dan isu konflik, selanjutnya Lili memilih menjadi fasilitator dan konsultan di berbagai lembaga baik pemerintah maupun non pemerintah.

“Jadi kalau kawan-kawan NGO butuh pengembangan keorganisasian, bikin study planning, bikin perencanaan program, dll, saya bantu. Nggak usah mikir honor, yang penting dikasih ongkos pasti berangkat. Tapi kalau dengan lembaga-lembaga donor besar, ya kita kerja profesional,” Lili sambil mengutarai tawa.

Terhitung selama empat tahun sejak 2008, Lili ‘mengamen’ dan menjadi konsultan di beberapa lembaga pembangunan. Hingga suatu ketika pada 2012, Sandra Hamid, Country Representative Indonesia untuk The Asia Foundation, memintanya untuk bergabung sebagai manager program Pemilu, barulah Lili menerima. Itu pun setelah minta waktu dua minggu berpikir.

“Kenapa saya terima? Saya berpikir, ketika ngamen itu kita tidak bisa menelorkan sesuatu.  Tapi begitu kita stay di sebuah organisasi dengan sebuah organisasi yang punya visi jelas, program jelas, clear, itu kita akan bisa menularkan sesuatu, mengembangkan sesuatu. Itu yang  mengubah saya dari ngamen menjadi menetap.”

Dua tahun berselang, masih di The Asia Foundation, Lili ditunjuk menjadi direktur program Setapak 2 hingga saat ini. Menggawangi Program Setapak (Selamatkan Hutan dan Lahan Melalui Perbaikan Tata Kelola), Lili merasa seperti pulang kampung.

“Setelah merantau ke isu demokrasi, pemilu, sekarang saya balik lagi ke isu hutan,” tutur ayah dari Banir Rimbawansyah, Wana Alamsyah, dan Silva Lestari.

Dengan berbagai pengalaman dan jejaring yang dimiliki, di Setapak 2, Lili menjadi simpul penghubung dari berbagai pihak, antara CSO, akademisi, lembaga pemerintah, dan lembaga-lembaga lain. Itulah yang kemudian membuat Setapak makin berwarna dan bergerak dinamis.

Sosok low profile ini menjelaskan, sesungguhnya isu-isu pengelolaan sumberdaya alam sudah dibicarakan oleh semua orang di forumnya masing-masing. Pada titik inilah Setapak hadir menyedikan ruang untuk mempertemukan gagasan-gagasan itu.

Juga ketika Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tengah mendorong adanya kebijakan perhutanan sosial dengan melibatkan masyarakat. Saat itu wacana yang sedang berkembang adalah membentuk payung hukum berupa Peraturan Menteri LHK. Untuk mewujudkannya, KLHK, dalam hal ini Direktorat Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) membutuhkan banyak ‘teman’ untuk memperkaya kebijakan yang akan dibuat.

“Karena butuh teman ya kami temani. Kebetulan di KLHK ada Chalid Muhammad (penasihat senior Menteri LHK) yang juga menjadi sahabat kita. Jejaring itu akhirnya bekerja sesuai dengan apa yang kita impikan dulu. Semua orang-orang lama yang punya kapasitas dan pengetahuan soal isu kehutanan dan perhutanan sosial tinggal dipencet tombolnya dan otomatis bekerja berdasarkan kebijakan yang ada.”

Atas semua capaian yang telah diraih, Lili tak mau berpuas diri. Karena baginya, justru inilah titik awal untuk perjuangan ke depan yang lebih berat lagi.

“Sebuah keberhasilan memang patut kita rayakan. Tapi merayakannya harus juga dengan kecemasan baru, karena selalu ada tantangan baru di balik itu,” ucap Lili Hasanuddin memungkasi. #

Riwayat Hidup

 Biodata

Nama                           : Lili Hasanuddin

Tempat, tanggal lahir  : Sumbawa, 8 April 1963

Anak                           : Banir Rimbawansyah, Wana Alamsyah, dan Silva Lestari

Pendidikan:

Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.

Pelatihan/kursus:

  • International Policy Advocacy Course
  • Training Course on International Human Rights Instruments;
  • Working with Conflict: a Four Day Residential Course;
  • Civic Education for Future Indonesian Leader (CEFIL) training, Result Based Management (RBM) training
  • Kursus Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

Pengalaman kerja:

  • WALHI (Wahana Lingkungan Hidup): Asisten Koordinator Program Biodiversity (1989-1992) ; Manajer Pengembangan Sumberdaya Informasi (1992-1994); dan Koordinator Program Advokasi Hutan (1994-1997).
  • YAPPIKA (Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat): Koordinator Program Advokasi dan Pengembangan Jaringan (1997-1999); Wakil Direktur Pengembangan Program (1999-2002); dan  sejak Juni 2002-2008 menduduki posisi Direktur Eksekutif.
  • Tahun 2008-2012 menjadi konsultan di beberapa Lembaga, seperti UNDP dan Oxford Policy Management
  • Tahun 2012 bergabung dengan The Asia Foundation (TAF), sebagai manager program Pemilu dan kemudian sejak tahun 2016 hingga sekarang menjadi direktur program Setapak 2.#