Membiasakan Diri Berpikir Kritis

 

Menjadi salah seorang sastrawan terkemuka Indonesia, Linda Christanty telah melahirkan ratusan karya sastra yang sarat pesan sosial dan menyuarakan kaum terpinggirkan. Baginya, dunia kesusastraan penting menyuarakan  masalah-masalah kemanusiaan itu sendiri. Inilah yang kemudian membuat sastra dapat menjadi suara bagi mereka yang dibungkam. Suara yang memastikan bahwa ketidakadilan bukanlah masa depan dari peradaban manusia.

Salah satu berkah dari keterbukaan politik pasca jatuhnya pemerintahan Soeharto, adalah berkembang-biaknya karya-karya sastra. Keterbukaan membuat orang berani bereksperimen, mengembangkan imajinasi, lalu menuangkannya dalam baris-baris yang indah.

Dari perkembangan karya sastra yang pesat itu lalu muncul berbagai aliran atau bahkan perkubuan dalam dunia sastra kontemporer Indonesia. Muncul perdebatan tentang genre-genre sastra tertentu, yang perdebatan-perdebatan itu makin memperkaya perkembangan kesusastraan  dan terkadang mempertajam perbedaan di kalangan sastrawan yang telah ada.

Bagi Linda Christanty, salah seorang sastrawan terkemuka Indonesia saat ini, dunia kesusastraan dengan beragam aliran, perdebatan, dan perkubuan  itu menarik dan dapat menyuarakan masalah-masalah kemanusiaan secara lebih luas, termasuk yang selama ini ditutup-tutupi oleh  mesin-mesin ideologi kekuasaan maupun stereotip-stereotip dalam masyarakat yang berkembang akibat interpretasi terhadap agama dan nilai-nilai tertentu. Hal inilah yang kemudian membuat sastra menjadi suara dari mereka yang dibungkam. Suara yang harus memastikan bahwa ketidakadilan bukanlah masa depan dari peradaban manusia.

Di masa sekarang, lanjut Linda, sensor yang masif dan menyeluruh seperti terjadi pada era orba memang tidak ada lagi, tapi bukan berarti hilang sama sekali. Dia mengambil contoh dengan menyoroti berita-berita politik dan kasus-kasus protes rakyat yang tidak selalu dimuat dengan perspektif yang benar dan adil. Sejumlah media arus utama misalnya juga cenderung menjadi corong kekuasaan.

“Ini dapat dinilai sebagai sebuah kemunduran dibanding masa-masa sebelumnya setelah reformasi,” cetusnya.

Dalam pengamatan Linda, kehidupan sastra pasca reformasi cukup berkembang dan menarik, dengan tema-tema cerita yang juga beragam. Namun sebagian orang kemudian lebih tertarik membatasi pengamatan dan kesimpulan mereka terhadap sastra Indonesia pasca reformasi sebagai “sastra perempuan”, lalu dikaitkan dengan seks dan seksualitas perempuan. Penulis perempuan dianggap lebih berani membicarakan perihal tubuh dalam cerita-cerita mereka yang tidak terjadi di masa sebelumnya.

Linda Christanty mengamati, perkembangan yang jauh lebih menarik sebenarnya  justru terjadi dalam dua sampai tiga tahun terakhir ini. Sejumlah penulis generasi yang lebih muda, menurutnya, menunjukkan kemampuan berbahasa yang jauh lebih baik dibanding banyak penulis dari generasi sebelumnya dan mereka menciptakan karya-karya sastra yang luar biasa dari segi kekuatan naratifnya. Beberapa karya bahkan dapat dianggap baru dari segi sudut pandang maupun penceritaan.

Ziggy Zezsyazoviennazabrizkie, misalnya, menulis sebuah novel yang mengisahkan  sebuah kehidupan atau kosmos yang ternyata sebuah tempat pembuangan sampah akhir.  Sabda Armandio Alif,  sastrawan segenerasi dengan Ziggy, menulis cerita detektif gaya baru. Dalam novel Armandio, interogasi-interogasi panjang yang ganjil diurai dengan lucu, tidak membosankan,  dan membuat orang tertarik membaca novelnya, sambil berpikir bahwa jangan-jangan proses sekonyol ini mungkin saja terjadi di kantor-kantor polisi kita. Selain mereka berdua, ada Faisal Oddang, Mahfud Ikhwan, Dea Anugerah, Felix K. Nesi, dan beberapa nama lain.

 

“Nama-nama ini membuat kita percaya bahwa sastra Indonesia hari ini begitu cemerlang, terlebih bila kita menjadikan karya-karya mereka sebagai rujukan,” ujar Linda yang dua kali meraih penghargaan Khatulistiwa Literary Award (KLA), melalui buku kumpulan cerita pendeknya Kuda Terbang Maria Pinto (2004) dan Rahasia Selma (2010).

Selain mereka, menurut Linda, penulis pasca reformasi yang menjadi salah seorang sastrawan terpenting Indonesia saat ini adalah Azhari Aiyub. Belum lama ini Azhari menerbitkan Kura-Kura Berjanggut, sebuah novel tentang situasi Aceh dan Nusantara sekitar abad ke-16 yang luar biasa, baik ketebalan maupun kualitasnya.

Novel ini adalah novel maritim Nusantara yang dapat disejajarkan dengan novel maritim Arus Balik yang ditulis Pramoedya Ananta Toer.  Sebagian kalangan menilai kemampuan Azhari mengolah bahasa, ironi dan metafora bahkan melampaui Pramoedya.

“Ada orang-orang yang menganggap novel Pramoedya adalah sebuah upaya menafsir sejarah secara kritis melalui fiksi, sedangkan kemampuan Azhari menyuguhkan cerita dengan detail dan kecanggihannya bercerita membuat sejumlah orang percaya bahwa semua tokoh ceritanya adalah tokoh-tokoh sejarah.”

***

Berbincang dengan Linda Christanty terasa sekali kehangatan dan keramahan dibalut tutur kata bernas yang mengalir deras. Ceria, penuh tawa, dan sorot mata berbinar. Pengetahuan yang luas dan prestasi segudang tak membuatnya canggung berbincang dengan para yunior yang minim pengalaman.

Perjalanan kesusasteraan Linda tidak terlepas dari kebiasaannya membaca buku sejak belia. Tanpa buku, katanya, dia tidak akan menjadi penulis seperti sekarang.

“Membaca dan menulis adalah dua hal yang saling terkait erat, mirip sepasang kekasih yang saling setia,” cetus Linda yang baru saja menggenapi 49 tahun usianya.

Lahir di Pulau Bangka 18 Maret 1970, sejak kecil Linda telah menulis puisi, cerpen, dan novel. Linda menulis novel dengan tulisan tangan dalam beberapa buku tulis tipis di masa sekolah dasar. Pada secarik kertas kecil pada sampul muka buku-buku itu ditulisnya keterangan: Novel oleh Linda Christanty.

Kemampuannya mengolah kalimat, menciptakan karakter atau tokoh cerita dipelajarinya dari buku-buku yang dibacanya. Ini ditunjang oleh perpustakaan keluarga di rumah yang menyimpan buku-buku koleksi ibu, ayah, dan kakeknya.

Setiap akhir pekan, sang ayah biasa mengajak keluarganya untuk jalan-jalan ke kota Pangkalpinang yang berjarak sekitar satu jam perjalanan dari tempat tinggalnya. Di kota ini mereka selalu mampir di sebuah toko buku bernama Toko Buku Pemuda. Toko buku itu bagaikan surga bagi Linda dan adik-adiknya untuk mendapatkan buku-buku terbitan terbaru yang tak ditemui di kota tempat tinggalnya.

“Sebulan sekali kami boleh memilih sebuah buku untuk dibeli. Saya masih ingat sejumlah buku yang dibeli orangtua kami di toko tersebut. Astrid Dibajak karya Djokolelono, Genderang Perang dari Wamena karya Djokolelono, seri Lima Sekawan yang ditulis Enid Blyton, Delapan Puluh Hari Mengelilingi Dunia karya Jules Verne versi untuk anak-anak yang sudah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, buku-buku dongeng Indonesia dan negara-negara lain,” kenang Linda.

Kebiasaan membaca buku sebenarnya ditularkan oleh kakeknya. Kata Linda, sang kakek adalah seorang kutu buku. Minat kakeknya adalah politik dan sejarah. Biasanya sang kakek membaca iklan atau promosi buku di suratkabar dan menitip dibelikan buku oleh ayahnya.

Selain membaca, Linda dan adik-adiknya mempunyai kebiasaan unik. Mereka senang berkirim surat kepada sejumlah kedutaan asing di Indonesia, seperti Kedutaan Malaysia, Korea, Amerika Serikat dan Inggris. Mereka meminta dikirimi buku. Ini mungkin karena karena buku-buku yang ada di rumahnya sudah dibaca semua dan jumlah buku yang dibelikan orang tua mereka setiap bulan tidak berbanding lurus dengan kecepatan membaca anak-anaknya.

Alamat-alamat kedutaan diperoleh dari buku agenda milik sang ayah, sedangkan sang ibu kebagian tugas mengirimkan surat-surat itu ke kantor pos.

Rupanya kedutaan-kedutaan itu memiliki persediaan buku gratis untuk dikirim. Linda pun mengingat Kedutaan Korea, misalnya, mengirim kumpulan cerita dongeng dalam Bahasa Melayu. “Mereka menerjemahkan cerita-cerita berbahasa Korea ke dalam Bahasa Melayu,” katanya. Beberapa cerita di situ yang masih dia ingat, antara lain “Istri Lukisan” dan “Lebai Malang”. Adapun Kedutaan Amerika tidak mengirim buku-buku cerita, melainkan Majalah Titian.

Linda memiliki beberapa sahabat pena waktu masih di sekolah dasar. Ada tiga sahabat pena yang namanya hingga kini masih diingat: Dian Ambarwati Setyoadi, Evi Setianingsih, dan Aan Almaidah Anwar. Dian Ambarwati tinggal di Palimanan – Cirebon, Evi Setianingsih tinggal di Tangerang, dan Aan Almaidah Anwar (cucu Rosihan Anwar) tinggal di Bali waktu itu.

 “Kebiasaan berkorespondensi itu melatih saya berbahasa dengan baik dan menulis. Ibu mendukung saya menjalin persahabatan dengan orang-orang di daerah-daerah lain untuk bertukar cerita dan pikiran.“

Linda meninggalkan Pulau Bangka, karena disekolahkan  orangtuanya di Bandung, Jawa Barat. Di kota kembang ini dia menamatkan SMA dan lalu melanjutkan kuliah di Fakultas Sastra jurusan Sastra Indonesia, Universitas Indonesia, di Jakarta.

Beranjak dewasa, buku-buku yang dibacanya lebih beragam dan membuatnya semakin kritis. Di berbagai kota di berbagai negara yang pernah dia singgahi, Linda menyempatkan pergi ke toko buku. Salah satu toko buku yang paling dia sukai adalah Book People. Toko buku ini berada di kota Austin, Amerika Serikat. Buku-buku berbagai kategori dijual di sana. Tempatnya luas dan nyaman. “Saya selalu merindukan untuk kembali ke sana,” tuturnya.

Linda juga menyukai buku-buku Colm Toibin, seorang penulis Irlandia. Sebuah bukunya, The Sign of the Cross: Travels in Catholic Europe, bukan sekadar catatan dari perjalanan-perjalanan ziarah yang biasa, melainkan membukakan mata kita tentang sebab-sebab perang di Balkan. Salah satu bagian dari buku ini mengungkapkan bahwa praktik ketidakadilan yang dilakukan penguasa telah memicu perang atau konflik antar-golongan, ras, dan agama. Di lain pihak, kaum agamawan atau rohaniawan, dalam konteks buku ini adalah gereja, yang memengaruhi pemerintahan telah ikut memiliki andil dalam terjadinya perang di sebuah negeri.

Di Indonesia sendiri, konflik antar-pemeluk agama di Maluku dan Maluku Utara telah dipicu oleh persaingan politik, masalah pertambangan dan perbatasan, dan persoalan sehari-hari dalam masyarakat yang tidak cepat ditindak secara hukum dengan cepat, benar, dan adil.

“Saya mengetahui hal ini berdasarkan pengalaman meliput dan mewawancarai orang-orang di sana. Selain itu, media sering terlibat dalam memprovokasi masalah menjadi lebih luas dan makin panas. Sebab pemilik media ternyata memihak kepada kelompok tertentu ataupun turut berpolitik untuk kepentingan bisnisnya. Tidak hanya di Indonesia hal seperti ini terjadi. Di negara-negara lain juga terjadi.”

Linda juga menyukai catatan perjalanan ataupun otobiografi yang ditulis Walter Benjamin, Jose Saramago, dan Gabriel Garcia Marquez. Cerita-cerita hidup mereka membuat kita menyimak bagaimana dan mengapa orang-orang ini dapat menjadi tokoh pemikiran dan sastra yang penting di abad ke-20.

Dari dunia jurnalisme, Linda menyukai reportase Charlotta Gall tentang Afghanistan, The Wrong Enemy, dengan pembandingnya reportase Sebastian Junger yang juga tentang Afghanistan, berjudul War, dan Little America: The War Within the War for Afghanistan yang ditulis Rajiv Candrasekaran.

“Saya juga menyukai esai dan reportase yang ditulis wartawan Inggris Robert Fisk. Dia menulis tanpa bias, tentang negara-negara Timur Tengah dan Asia Tengah.”

Adapun penulis-penulis Indonesia yang karya-karyanya dia kagumi adalah Mohammad Diponegoro, Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, Nasjah Djamin, Sapardi Djoko Damono, Marianne Katoppo, NH. Dini, dan Budi Darma.

***

Menyerap bahasa dan berlatih menggunakan bahasa sejak dini merupakan proses panjang yang menyiapkan dirinya menjadi penulis handal dengan segudang prestasi. Terbukti, Linda berhasil menjadi salah seorang peraih Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas pada 1989 dalam usia yang cukup belia: 19 tahun.

Dia menjadi satu-satunya pemenang termuda dalam lomba yang diadakan sebagai rangkaian perayaan hari ulang tahun ke-25 harian Kompas dan terbuka untuk umum. Karya Linda berhasil menyisihkan lebih dari 7.000 cerpen lain yang dibaca para juri. Selain Linda, pemenang lainnya adalah Putu Wijaya, Satyagraha Hoerip, dan Bre Redana, penulis-penulis yang jauh lebih senior.

“Perasaan saya cukup senang dan berpikir kira-kira apa ya yang bisa saya beli dari uang hadiah waktu itu.  Ha ha ha….” cetusnya.

Dan yang tak disangka, ternyata salah seorang jurinya adalah Sapardi Djoko Damono, seorang profesor sastra di Universitas Indonesia, yang juga dosennya sendiri. Nama-nama penulis pada cerpen-cerpen yang ikut lomba tersebut dihapus dan diganti dengan angka-angka. Ketika karya-karya pemenang sudah diketahui, nama-nama di balik angka itu dibuka. Profesor Sapardi pun cukup kaget waktu dia mengetahui bahwa salah seorang pemenang adalah mahasiswa fakultas sastra di kampusnya.

Setelah memperoleh penghargaan cerpen itu, Linda makin rajin menulis. Dia mulai mengirim karya-karyanya ke berbagai surat kabar. Memang tidak semua cerpen yang dikirim memperoleh kesempatan dimuat. Banyak juga yang ditolak dan dikembalikan. Tapi itu tak membuatnya patah arang.

Tema cerpen Linda cukup beragam. Cerpen pertamanya tentang lesbianisme dimuat surat kabar Suara Karya pada 1993. Judulnya “Suatu Pagi”. Sepasang kekasih sesama jenis mengadopsi seorang anak perempuan. Linda mengisahkan keseharian mereka dan tantangan hidup yang dihadapi pasangan ini. Pemuatannya tidak berjauhan dengan cerpen berikutnya yang berjudul “Rumput Liar” di surat kabar Media Indonesia, yang mengisahkan kehidupan sebuah keluarga dengan salah seorang anak menjadi aktivis yang melawan pemerintah.

Cerpen Linda yang bernuansa politik yakni, “Pengkhianatan”, dimuat Media Indonesia pada 1997. Tentang dua bersaudara yang berseberangan pendapat dalam politik. Salah seorang dari mereka bekerja untuk lembaga intelijen negara. Cerpen terakhir Linda di masa Soeharto dimuat Media Indonesia pada 1998. Sebuah kisah cinta,  “Katya”.

Saat masih aktif di Partai Rakyat Demokratik (PRD) Linda tidak menulis cerpen-cerpen tentang pengorganisasian buruh. Alasannya, hal itu merupakan pekerjaan organisasi yang sifatnya tertutup. “Tapi saya tetap menulis beberapa cerpen dengan tema politik di masa itu dan mengirim cerpen-cerpen tersebut ke surat kabar.”

Pada 1995, misalnya, Linda menulis cerpen tentang Timor Timur, mengisahkan kehidupan seorang pejuang perempuan, anggota pasukan bersenjata Falintil. Cerpen dikirim ke Kompas, tapi tidak dimuat oleh redaksi Kompas.

Kemudian Linda mengirim “Ketika Melihat Langit” juga ke Kompas. Cerpen itu bertutur tentang seorang laki-laki, santri di sebuah pesantren, yang dituduh melawan pemerintah yang berkuasa. Dia ditangkap sejumlah orang tak dikenal. Lagi-lagi cerpen itu tak dimuat.

Kini, Linda tetap teguh pada jalurnya. Sebagai sastrawan idealis dengan ratusan karyanya yang luar biasa, Linda tak tertarik untuk menjadi politikus atau anggota parlemen atau berkecimpung di dunia pemerintahan. Tak sedikit kawan-kawannya dulu yang berperan dalam pemerintahan sekarang. Ada yang menjadi menteri. Ada yang menjadi legislator. Ada yang menjadi komisaris di perusahaan negara.  Namun ada pula yang masih berjuang sampai hari ini bersama masyarakat dan mengalami kekecewaan-kekecewaan akibat kebijakan pemerintah. Ada juga yang tidak lagi kritis dan tidak menjabat apa pun, tapi sangat memuja pemerintah. Ada yang takut bersuara kritis. Ada pula yang tidak peduli lagi terhadap politik.

Menurut Linda, untuk menata negeri ini, kita membutuhkan orang yang cerdas, cerdik dan bijak, yang mengerti benar perannya dalam sebuah negeri yang besar dan dihuni beragam suku yang menganut kepercayaan dan adat yang berbeda-beda.

Generasi sekarang sebetulnya lebih diuntungkan dengan kemajuan teknologi. Untuk mencari informasi, termasuk untuk mengirim tulisan ke penerbit, bisa lewat surat elektronik. Teknologi itu memudahkan, tapi ketika teknologi justru memudahkan, orang juga tidak selalu memanfaatkannya untuk hal-hal yang berguna dan tujuan-tujuan yang mulia.

Meski demikian  Linda beranggapan sesungguhnya masalah yang dihadapi anak zaman sekarang tidak kalah berat dibandingkan apa yang dia alami di masa Soeharto dulu. Bahkan, katanya, mungkin jauh lebih berat. “Karena sekarang ini ruang untuk berpikir kritis itu yang coba dihilangkan secara sistematis. Melalui teknologi digital yang efektif dampaknya bisa berlipat ganda, masif, meluas dan tanpa batas. Sebagian besar media di Indonesia maupun dunia tetap saja dikendalikan pemain-pemain di dunia bisnis dan politik, sedangkan banyak orang  memercayai begitu saja semua berita dan cerita yang mereka baca atau dengar. Di internet misalnya kita kadang-kadang menemukan situs pengoreksi berita atau cerita yang entah dibuat oleh  entah siapa. Situs itu juga dikelola pihak tertentu dengan motif tertentu. Tidak ada jaminan  dapat dipercaya. Akses untuk memverifikasi itu sukar didapat.”

Karena itulah perlunya budaya literasi digalakkan. Dengan banyak membaca buku-buku berkualitas, anak-anak milenial akan terbiasa menyaring informasi yang baik dan benar. Itu pula yang harus dilakukan oleh penulis pemula.

“Menulis itu tidak pernah terpisah dari membaca buku-buku yang bermutu dan memperkaya pengalaman hidup, juga membiasakan diri berpikir kritis. Itu hanya saran,” pungkas Linda tanpa mau menggurui.#

 

Riwayat Hidup

Nama   : Linda Christanty

Lahir    : Bangka, 18 Maret 1970

Pendidikan: Sarjana 1, Fakultas Sastra jurusan Sastra Indonesia, UI

 

Bibliografi

  1. Kuda Terbang Maria Pinto (Kumpulan cerpen, 2004)
  2. Dari Jawa Menuju Atjeh (Kumpulan esai, 2008)
  3. Rahasia Selma (Kumpulan cerpen, 2010)
  4. Jangan Tulis Kami Teroris (Kumpulan esai, 2011)
  5. Seekor Anjing Mati di Bala Murghab (Kumpulan cerpen, 2013)
  6. Seekor Burung Kecil Biru di Naha (Kumpulan esai, 2015)
  7. Para Raja dan Revolusi (Kumpulan esai, 2016)

 

Penghargaan

  1. Daun-Daun Kering (1989), cerpen terbaik Harian Kompas 1989.
  2. Militerisme dan Kekerasan di Timor Timur (1998), esai terbaik HAM.
  3. Kuda Terbang Maria Pinto, kumpulan cerpen terbaik Khatulistiwa Literary Award 2004.
  4. Rahasia Selma, kumpulan cerpen terbaik Khatulistiwa Literary Award 2010.
  5. Dari Jawa Menuju Atjeh, Penghargaan Prosa dari Pusat Bahasa-Kementerian Pendidikan Nasional, 2010
  6. Women and Media Award 2010, Radio Komunitas Suara Perempuan, Aceh.
  7. Seekor Anjing Mati di Bala Murghab, Penghargaan Prosa dari Pusat Bahasa-Kementerian Pendidikan Nasional, 2013
  8. Penghargaan Sastra Asia Tenggara (SEA Write Award, 2013) dari Kerajaan Thailand.

9.         Kartini Award 2014