Masing-masing dari kita hendaknya sadar, setiap satu pohon yang kita tebang, baik untuk membangun gedung atau lainnya merupakan suatu dosa lingkungan. Kelak, masing-masing dari kita bertanggung jawab untuk menebusnya.
TOKOH INSPIRATIF – Setiap agama pasti mengajarkan kebaikan, termasuk untuk berbuat baik kepada alam. Sebagai seorang Muslim, saya pernah belajar dan mendengar hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Shahih Muslim tentang tanda-tanda kiamat, satu diantaranya adalah berbangga-bangga meninggikan bangunan.
Pada saat mengkaji hadis tersebut sebenarnya saya terheran-heran, bagaimana bisa gedung-gedung tinggi termasuk tanda-tanda kiamat? Bukankah gedung-gedung tinggi merupakan salah satu tanda semakin majunya suatu bangsa dan hampir semua negara melakukannya?
Bukankah orang-orang saat ini, khususnya yang memiliki uang memang berlomba-lomba membangun gedung-gedung tinggi pencakar langit? Apakah berarti hari kiamat memang sudah di depan mata?
Selang beberapa lama kemudian, saya bertemu dengan sebuah buku berjudul Doughnut Economy yang ditulis oleh Kate Raworth.
Dalam bukunya, profesor ekonomi dari Oxford University itu menuliskan, “how can be a city as generous as the forest?” disertai dengan gambar sebuah kota dari atas yang isinya ‘rindang dengan gedung-gedung tinggi, di bawahnya juga dilengkapi dengan sebuah foto hutan yang dipenuhi pepohonan.
Pada titik itu, saya berpikir mungkin inilah alasan kenapa berlomba-lomba meninggikan bangunan menjadi tanda datangnya hari kiamat.
Kiamat telah terjadi
Hari ini, kita memang tengah mengalami kiamat, tentu saja kiamat di sini bukanlah kiamat yang diartikan sebagai akhir dari kehidupan di muka bumi (kiamat kubra/besar), melainkan kiamat kecil (kiamat sughra) berbentuk krisis iklim, banjir, gempa, longsor, dan sebagainya.
Semua bencana alam ini adalah try out, stimulus dari kiamat sesungguhnya.
Hal ini terjadi karena manusia yang mestinya melestarikan alam justru merusak bahkan mengeksploitasinya. Salah satunya adalah meninggikan/membangun gedung-gedung. Banyak lahan-lahan yang dulunya asri dipenuhi pepohonan ditebang kemudian dibangun gedung-gedung tinggi pencakar langit yang berdiri gagah. Semakin tinggi dan perkasa gedungnya, semakin tinggi pula kemungkinan kerusakan alam yang dibuat.
Bagaimana tidak, hutan-hutan yang dipenuhi pepohonan sebagai daerah resapan air dan oksigen justru ditebang. Ketika suatu daerah rusak atau tandus, maka saat hujan turun, tanah tidak mampu menampung air hujan sehingga menimbulkan longsor dan banjir. Apalagi di kota-kota besar yang memang tidak ada pepohonan dan selokan-selokan yang mestinya menjadi saluran pembuangan air justru ditutup, tidak heran apabila berita tentang terjadinya banjir dan longsor sering kita dengar.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Pada tahun 2021 mencatat kasus bencana alam yang terjadi di Indonesia sebanyak 5.402 di mana mayoritasnya merupakan bencana ekologis berupa banjir 1.794, tanah longsor 1.321, cuaca ekstrem 1.577 dan disusul KARHUTLA 579, gempa bumi 24, gelombang pasang & abrasi 91, kekeringan 15, kemudian erupsi gunungapi 1. BNPB mencatat terdapat 3.340 bencana alam yang terjadi di Indonesia sepanjang tahun 2022.
Nampaknya perbuatan manusia yang merusak alam ini memang sudah diprediksi oleh Tuhan. Itulah mengapa jelas-jelas dalam al-Qur’an surah ar-Rum ayat 41 dijelaskan bahwa terjadi kerusakan di bumi dan lautan karena ulah manusia__yang salah satunya__merusak keseimbanagn ekosisitem.
Padahal bumi dan alam semesta mempunyai prinsip-prinsip kehidupan berupa wisdom of nature dalam ruang lingkup ekosistem yang harus dipatuhi (Capra, 1996).
Pembangunan memang tidak bisa sepenuhnya kita hindari dan bagaimanapun tetap kita butuhkan. Namun dalam proses pembangunannya mestinya tetap memperhatikan dampak alam yang ditimbulkan.
Itulah mengapa sebelum melakukan pembangunan diharuskan melakukan analisis lanskap, tata ruang, AMDAL dan seterusnya. Tujuannya adalah mengukur apakah daerah tersebut layak dilakukan pembangunan dan tidak merusak lingkungan alam, bukan hanya kepentingan materialistis semata jika ternyata dikemudian hari kawasan tersebut akan mengalami bencana dan menyebabkan kerugian.
Masing-masing dari kita hendaknya sadar, setiap satu pohon yang kita tebang baik untuk membangun gedung atau lainnya merupakan suatu dosa lingkungan. Termasuk segala tindakan lainnya yang juga merusak alam seperti membuang sampah sembarangan, mencemari air dan udara, dan seterusnya.
Masing-masing dari kita bertanggung jawab untuk menebusnya. Hal ini kita lakukan dalam misi menjalankan tugas sebagai khalifah di muka bumi yang salah satunya menjaga alam, bukan merusaknya!***
Penulis: Dita Anis Zafani, Peserta Green Leaders Indonesia Batch 2