Nenek berusia 70 tahun ini masih setia membuat minyak klentik secara tradisional, sejak 50 tahun terakhir. Bahkan warga Padukuhan Gedangsari, Kalurahan Baleharjo, Kapanewon Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta ini bisa dibilang sebagai satu-satunya orang yang bertahan membuat minyak kelapa di desanya.
Minyak klentik, dikenal juga sebagai minyak kelapa. Minyak jenis ini makin banyak dilirik seiring makin langka dan melambungnya harga minyak goreng sawit.
Kehadiran minyak klentik sesungguhnya sudah ada sejak jaman dahulu dan turun temurun dilakukan oleh nenek moyang, sebelum minyak sawit merajai pasar. Pengolahan minyak klentik banyak dilakukan secara tradisional dan selalu memiliki peminatnya sendiri.
Namun seiring berjalannya waktu, pembuat minyak klentik tradisional mulai berkurang. Ini seiring dengan makin populernya pengolahan minyak kelapa dengan cara modern yang dicampur dengan berbagai bahan sehingga dikenal kaya akan khasiat. Harga yang mahal, membuat minyak jenis ini hanya digunakan oleh sejumlah kalangan tertentu.
Adalah Mbah Tumi, yang tak tergerus laju zaman. Nenek berusia 70 tahun ini masih setia membuat minyak klentik secara tradisional. Bahkan warga Padukuhan Gedangsari, Kalurahan Baleharjo, Kapanewon Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta ini bisa dibilang sebagai satu-satunya orang yang bertahan membuat minyak kelapa di desanya.
Dulu, bersama suaminya, Mbah Tumi membuat minyak yang berasal dari kelapa murni tersebut sejak 1970. Saat suaminya masih hidup, keduanya bisa menghabiskan 1.000 butir kelapa untuk membuat minyak klentik hanya dalma waktu dua minggu.
“Kalau sekarang kadang sehari, kadang dua hari sekali baru membuat minyak klentik,” ujar Mbah Tumi, mengutip IDN Times.
Kapasitas produksi pun jauh berbeda. Sekarang, akunya, hanya mampu mengolah sebanyak 50 butir atau paling banyak 100 butir kelapa dalam sekali produksi yang hanya menghasilkan sekitar tiga liter minyak klentik.
Mbah Tumi mengatakan, sebutir kelapa dibeli seharga Rp5.000-Rp6.000. Setelah menjadi minyak, dia membandrol Rp 50 ribu untuk minyak klentik berukuran 600 ml.
Saat stok minyak klentik sudah cukup, Mbah Tumi menjajakan minyak buatannya di Pasar Argosari Wonosari. Meskipun telah berusia senja, sosok nenek tangguh ini berangkat berjualan sekitar pukul 03.00 WIB dini hari dengan berjalan kaki. Biasanya minyak sudah habis terjual pada sekitar pukul 07.00 WIB.
Tak hanya kemasan setengah liter, Mbah Tumi juga menjual minyak klentik dengan ukuran plastik kecil yang dibanderol dengan harga lebih sekitar Rp8.000 per bungkus. Untuk kemasan tersebut, dia lebih banyak menitipkan penjualan ke pedagang sayur kecil.
Lain itu, Mbah Tumi juga menjual ke beberapa orang yang memesan secara khusus atau tiba-tiba datang langsung ke rumahnya untuk membeli minyak klentik. Itulah yang membuat minyak klentik buatannya kadang sudah habis lebih dulu sebelum dijual ke pasar.
Proses panjang dan melelahkan
Minyak klentik selama ini memang dikenal memiliki harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan minyak sawit. Selain karena lebih banyak khasiat, proses pembuatannya sendiri memang tidak mudah, bahkan terbilang melelahkan terutama jika dilakukan secara tradisional.
Mbah Tumi menuturkan, proses pembuatan dimulai pukul 07.00 WIB dan baru selesai pukul 15.00 WIB. Bila jumlah kelapa mencapai 100 butir, bahkan bisa sampai pukul 18.00 WIB.
Untuk membuat minyak klentik, kelapa yang sudah dibersihkan batoknya kemudian diparut dan diambil santannya. Kemudian, santan dimasak dengan api yang sedang dan diaduk terus menerus hingga menjadi blondo.
Blondo kemudian dimasukkan ke dalam saringan dan diperas menggunakan kain. Dari proses itu barulah diperoleh minyak klentik dan olahan sampingan berupa blondo kering.
Tips dari Mbah Tumi, akan lebih baik apabila air yang digunakan untuk campuran memeras kelapa parut adalah air kelapa itu sendiri. Katanya, itu akan membuat kualitas minyak klentik yang dihasilkan menjadi lebih bagus dan blondo menjadi lebih gurih.
Olahan sampingan blondo
Selain minyak klentik, hasil olahan sampingan berupa blondo ternyata juga banyak diminati terutama oleh para penjual makanan tradisional di wilayah Yogyakarta. Apabila sudah diperas sampai, blondo akan menjadi santapan pelengkap dengan cita rasa gurih, manis, dan legit. Bentuknya menyerupai abon. Biasanya banyak dinikmati bersama nasi, ketan hangat, atau lauk pelengkap gudeg.
Mbah Tumi biasa menjual blondo dengan harga di kisaran Rp50 ribu sampai Rp90 ribu per bungkus.
“Pedagang bakmi dan rumah makan masakan tradisional yang langganan. Kalau Blondo bisa dijadikan campuran Gudeg,” ujar Mbah Tumi.
Meski masih dibuat dengan cara tradisional, Mbah Tumi mengaku tidak takut barang dagangannya tidak terjual, karena memang sudah memiliki pelanggan tetap di pasar. Bahkan dirinya mengungkap ada beberapa orang yang datang dari Klaten untuk membeli minyak klentik buatannya.
“Langganan saya terus bertambah, tak hanya warga Gunungkidul bahkan sampai daerah Klaten. Katanya minyak klentik ini ada khasiat untuk kesehatan tubuh dan saat ini yang membuatnya sudah sangat jarang,” imbuh mbah Tumi, mengutip SuaraJogja.id
Dengan proses pembuatan yang memakan waktu cukup lama, Mbah Tumi mengungkap jika penghasilan yang diperoleh tidak menentu. Untuk sekali pembuatan, dia bisa mengantongi keuntungan antara Rp35 ribu sampai Rp70 ribu untuk sekali pembuatan. Tapi tak jarang dirinya memperoleh penghasilan di atas rata-rata.
Sumber: sisibaik.id