Edelweis yang tumbuh di Desa Wonokitri ini tidak secara alami. Ada kelompok tani yang berperan membudidayakan bunga yang jadi salah satu simbol kemakmuran itu. Kelompok tani itu bernama, Hulun Hyang.
TOKOH INSPIRATIF – Kabut turun perlahan menyapa hamparan tanaman bunga edelweis di Desa Wonokitri, KecamatanTosari, Kecamatan, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Udara makin sejuk manakala mendung bergelayut di atas desa di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) itu.
Anak-anak memakai seragam olahraga, usai sekolah tampak berlarian. Bermain petak umpet di antara hamparan kebun bunga edelweis berketinggian satu meter itu.
Edelweis, penduduk asli menyebut dengan tanono layu, berasal dari bahasa Sansekerta, berarti tak akan layu. Bunga ini simbol kesuburan sekaligus sebagai sarana beribadah masyarakat Suku Tengger.
Kalau ditaruh dalam air, sumber air tak akan habis. Kalau ditaruh di tanah tegalan, melambangkan kemakmuran, kesuburan tanah ini abadi.
Edelweis yang tumbuh di Desa Wonokitri memang tidak tumbuh secara alami. Ada kelompok tani yang berperan membudidayakan bunga yang jadi salah satu simbol kemakmuran itu.
Kelompok tani itu bernama, Hulun Hyang.
Suherman, sekretaris kelompok tani ini bercerita awal mula ada Taman Bunga Edelweis di desa mereka.
Awalnya, Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, melarang warga Suku Tengger mengambil bunga di Kawasan Bromo Tengger Semeru. Penyebabnya, bunga ini termasuk kategori bunga yang mulai berkurang atau dilindungi.
”Desa memfasilitasi, terus kelompok yang menggarap, dari taman nasional memberikan izin untuk penangkaran,” katanya.
Hingga kini, katanya, penangkaran bunga yang dia buat bersama rekan-rekan masih kewalahan memenuhi permintaan pasar. Mereka belum mampu menyuplai permintaan warga desa yang membeli untuk jadi oleh-oleh wisatawan kala ke Gunung Bromo.
“Kalau permintaan kami kualahan, per bulan panen itu dapat hampir 50 tangkai. Satu tangkai kami bandrol Rp50.000,” katanya, di lahan edelweis keluasan 1.300 persegi itu.
Tidak hanya untuk wisatawan, edelweis juga jadi sarana ritual Masyarakat Adat Suku Tengger. “Biasa untuk upacara Leliwet dan Karo,” katanya.
Budidaya ini memberikan manfaat agar masyarakat yang berkunjung ke Gunung Bromo, maupun Semeru, tidak memetik edelweis di alam. Paling tidak, ada alternatif lain dengan berkunjung ke Desa Wisata Edelweis.
Cara budidaya
Kelompok tani ini mengenal tiga jenis edelweis, yaitu, Anaphalis javanica, Anaphalis vicida, dan Anaphalis longifolia. Adapun jenis edelweis yang dilindungi adalah Anaphalis javanica.
Masing-masing pertumbuha berbeda. Anaphalis javanica perlu waktu dua sampai tiga tahun untuk berbunga. Untuk Anaphalis longifolia, satu tahun sudah bisa berbunga dan Anaphalis vicida, lebih lama.
Untuk perawatan, sama seperti tumbuhan lain. Pembibitan dari biji dan stek.
“Kami memilih bunga dan biji yang bagus. Setelah itu, bunga dikeringkan dalam beberapa hari lalu ditaburkan ke media tanam,” jelas Suherman.
Menurut dia, media tanam paling bagus adalah komposisi 60 tanah dengan 40 pupuk. Tanah harus steril, tak ada unsur pestisida. Kalau media bagus, pada usia 1-2 minggu sudah tumbuh kecambah.
Saat menyiram, tak boleh terlalu basah karena tanaman ini perlu suhu lembab. Sebulan sudah kelihatan daun. Pada umur dua bulan, katanya, yang bagus itu sudah bisa dipindahkan ke polybag. Setelah usia empat bulan, baru bisa pindah ke lahan, minimal tinggi tiga cm.
Budidaya ini memberikan manfaat agar masyarakat yang berkunjung ke Gunung Bromo, maupun Semeru, tidak memetik edelweis di alam. Paling tidak, katanya, ada alternatif lain dengan berkunjung ke Desa Wisata Edelweis.
Suherman berharap, kalau ada mahasiswa mau penelitian tentang tumbuhan, mungkin edelweis ini bisa dikaji. Mengingat edelweis memiliki enzim yang tidak mudah layu.***
Sumber: Mongabay Indonesia