Merah Johansyah Ismail

Koordinatir Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam)

Gelora Perjuangan Aktivis Jatam

Kabar mengejutkan datang dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam). Organisasi non politik (ornop) ini menyatakan, ada ratusan Surat Izin Usaha Pertambangan (SIUP) yang terbit menjelang Pilkada Serentak 2018. Koordinator Jatam, Merah Johansyah, menyebut, saat ini sudah ada sekitar 171 izin tambang di berbagai daerah sejak tahun 2017 hingga 2018.

“Kemunculannya hingga mendekati penetapan masa calon Pilkada 2018 lalu. Sepanjang 120 izin diobral di Jawa Tengah, 34 izin diobral di Jawa Barat lalu diikuti oleh izin-izin tambang di Lampung, Sumsel hingga NTT,” kata Merah Johansyah saat menyambangi Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), 31 Mei 2018.

Obral izin tambang ini, tandas Merah, bisa menjadi sumber pendapatan politik bagi Calon Kepala Daerah. Analisa tersebut merujuk pada riset KPK terkait biaya seorang calon bupati walikota dan gubernur untuk maju di Pilkada.

Untuk menjadi calon bupati dan walikota membutuhkan biaya sekitar Rp40 miliar dan calon Gubernur ada Rp100 miliar. “Sedangkan LHKPN mereka itu sekitar 6-7 miliar. Jadi ada celah sponsor politik bisa berlangsung salah satunya dari korporasi yang menitipkan uangnya,” ucap Merah.

Oleh karena itu, Merah meminta KPK untuk mengusut tuntas kasus tersebut karena izin tambang acapkali erat dengan kasus suap. Menurut Merah, hal tersebut terjadi di berbagai kasus, seperti korupsi mantan Bupati Kutai Kartanegara, Rita Widyasari, mantan Bupati Sulawesi Tenggara, Nur Alam, Bupati Ngada NTT Marianus Sae dan Aswad Sulaiman mantan bupati Konewe Utara.

“Kasus-kasus yang melibatkan para kepala daerah bagai fenomena puncak gunung es korupsi di sektor sumber daya alam,” ucapnya.

Merah mengingatkan, antara perusahaan tambang dan kandidat, sama-sama punya kepentingan. Kandidat berkepentingan untuk mendapatkan biaya, sementara perusahaan tambang berkepentingan untuk mendapat jaminan politik dan keamanan dalam melanjutkan bisnisnya di daerah.

“Di sinilah ijon politik itu terjadi,” ujar Merah.

Melalui praktik ijon politik, lanjutnya, para kandidat yang disponsori oleh penyokong dana yang terhubung dengan perusahaan-perusahaan tambang, bila kelak terpilih maka punya kewajiban menebus ijon dengan memberikan fasilitas dan kenyamanan bagi kepentingan tambang dan industri ekstraktif. Demokrasi akhirnya dibajak oleh industri dan oligarki tambang.

“Untuk menghadang laju ekspansi tambang dan ekstraktif atau membendung kerusakan lingkungan kami di Jatam melakukan kampanye dan investigasi terus menerus dan melaporkannya pada publik,” tandasnya.

Muara dari perjuangan ini adalah perubahan paradigma pengelolaan sumberdaya alam secara adil dan bijaksana. Kekayaan tambang dan sumber energi hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat dan menjamin keberlanjutan keselamatan rakyat dan ekosistem kini dan masa depan.

Bisnis ekstrasi tambang, apapun jenisnya, terang Merah, adalah industri yang rapuh, karena berasal dari sumber daya alam yang tidak bisa diperbaharui. Jika hendak habis, dampaknya baru akan terlihat. Mulai kerusakan alam hingga derasnya aliran pegawai yang dirumahkan karena kehilangan pekerjaan. “Belakangan malah menyebabkan banyak anak mati di lubang tambang,” ungkap dia.

Sebelum mengenal eksploitasi batu bara dan hutan, nama Indonesia sudah lebih dulu tersohor dengan produk perkebunan, pertanian, dan perikanan. “Bangsa ini bukan besar dari tambang. Itu belakangan. Namun, tambang dihidupkan lagi saat otonomi daerah.”

Bagi Merah, pertambangan tak boleh dijadikan panglima ekonomi. Maksimalkan dulu sektor yang lain. Sebab, sudah banyak negara mencontohkan kemajuan tanpa mengandalkan tambang.

***

Perjalanan Merah Johansyah Ismail menapaki dunia aktivis bermula saat menjadi Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) IAIN Samarinda, 2005. Selain aktif di BEM, dia aktif pula dalam organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Lulus kuliah pada 2008, dia melanjutkan karier dengan berprofesi sebagai pengacara muda di sebuah kantor advokat di Balikpapan.

Suatu ketika, Merah bertemu dengan Kahar Albahri yang saat itu adalah dinamisator Jatam Kaltim. Dari pertemuan itu, jiwa aktivis Merah bergelora. Dia pun memilih bergabung ke Jatam.

Kasus pertama yang dia soroti saat bergabung di Jatam yakni menghitung kerugian banjir lumpur di Rimbawan, Tanah Merah, Samarinda. “Banyak pemilik kolam ikan yang dirugikan karena aktivitas perusahaan tambang batu bara di sana,” kenang Merah yang menjadi saksi hidup atas eksploitasi tambang berlangsung dari tahun ke tahun di kota kelahirannya, Samarinda.

Merah melihat dengan mata kepala sendiri Sungai Mahakam yang dulu alirannya jernih dan tenang kini menjadi keruh dan riuh dengan lalu-lalang transportasi batubara. “Halaman belakang kampung kami rusak parah dan diwariskan lubang-lubang tambang yang menganga dan beracun. Ibu-ibu menangis karena anak-anaknya tewas di lubang tambang, kami hanya disisakan bentang alam yang super rusak,” sesal Merah.

Wawasan Merah tentang geliat industri batubara semakin terbuka. Berdasarkan banyak literasi yang didapat, tambang batubara tidak akan bisa disandingkan dengan sektor lain, baik sektor perikanan, pertanian, apalagi pariwisata.

Kerusakan bentang alam akibat pertambangan semakin parah sejak otonomi daerah diterapkan. Momen itu menjadi ajang kepala daerah mengobral lahan izin usaha pertambangan. Jual gampang izin pertambangan kian menjadi ketika memasuki momen pemilihan kepala daerah. Meskipun mengusung alasan klise bahwa sektor tambang digunakan untuk menyokong pembangunan ekonomi negara, tapi sudah menjadi rahasia umum bahwa aroma suap di balik penerbitan izin tambang sudah tercium ke mana-mana. Karena itulah Jatam meminta KPK untuk mengusut tuntas kasus korupsi ijin tambang dengan menyodorkan setumpuk hasil investigasi jejaring Jatam di seluruh bentang Indonesia.

Menyegarkan kembali ingatan, Jaringan Advokasi Tambang disingkat Jatam, adalah jaringan organisasi non pemerintah (ornop) dan organisasi komunitas yang memiliki kepedulian terhadap masalah-masalah HAM, gender, lingkungan hidup, masyarakat adat dan isu-isu keadilan sosial dalam industri pertambangan dan migas.

Jatam bekerja dengan masyarakat korban di banyak daerah di Indonesia yang dirusak oleh kegiatan pertambangan dan migas. Posisi dan tuntutan Jatam lahir dari keprihatinan terhadap penghancuran masif lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat setempat akibat industri pertambangan dan migas. Jatam menemukan banyak fakta dilapang bahwa industri pertambangan mensejahterakan adalah mitos belaka.

“Kami sekarang sedang fokus melakukan kampanye mendorong demokrasi Indonesia baru yang bersih dari jejak busuk industri tambang dan ekstraktif. Mandat kami berdasarkan analisa terhadap situasi saat ini adalah rusaknya bentang alam dan lingkungan hidup indonesia disebabkan oleh rusaknya bentang politiknya,” urai Merah.

Sebagai organisasi non-pemerintah, pertanyaan yang paling banyak muncul adalah, bagaimana Jatam menghidupi diri? Merah lantas menjelaskan, mereka memiliki beberapa sumber pendanaan. Mulai uang pribadi, hingga unit usaha milik Jatam, seperti gerai merchandise, peralatan perkemahan, buku, kedai kopi, terminal benih, dan banyak lagi lainnya. Ada pula donasi dari alumnus Jatam se-Indonesia.

***

Menggeluti bidang yang acap kontra dengan pemangku kepentingan bukan hal mudah. Tak hanya idealisme yang menjadi pedoman, tapi keberanian ekstra dan nyali yang tinggi mutlak dimiliki. Itu pula yang diakui Merah selama sepuluh tahun bergerak bersama Jatam.

Intimidasi dari berbagai pihak bukan hal baru baginya. Tawaran untuk tutup mulut dengan sodoran uang miliaran rupiah, atau ancaman lewat pesan pendek, sudah pernah dialami. Teranyar, ketika sekretariat Jatam disambangi sejumlah orang berbadan kekar yang memamerkan senjata.

Merah menuturkan, pada 2016, saat dirinya masih menjadi koordinator Jatam Kalimantan Timur, kantor Jatam Kaltim dikepung oleh puluhan preman dari perusahaan tambang PT MHU di Kutai Kartanegara. Mereka tidak terima dengan hasil investigasi dan kampanye Jatam digunakan oleh Gubernur Kaltim untuk menutup 11 perusahaan tambang yang membuat 17 anak-anak tewas di lubang tambang.

“Mereka menyerbu dan menodongkan senjata, kasus ini sudah dilaporkan ke Kepolisian, namun hingga kini penanganan ancaman dan intimidasi ini tidak jelas ujungnya,” sesal Merah.

Ancaman serupa juga datang saat Jatam melakukan kampanye obral izin tambang di tahun politik 2018. Kantor Jatam di kawasan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, beberapa kali disatroni aparat dan intel. “Bahkan beberapa kandidat yang terganggu oleh kampanye Jatam mengancam menyerang fisik dan menggugat Jatam ke meja hijau karena merasa dirugikan oleh kampanye yang gencar kami lakukan.”

Tapi, tegas Merah, itu adalah risiko perjuangan. Ia dan kawan-kawan di Jatam tak akan mundur sejengkal pun untuk memperjuangan keadilan lingkungan bagi masyarakat yang terdampak pencemaran pertambangan.

Semangat Merah yang selalu menyala tak lepas didikan orang tua dan aliran deras darah pejuang dari sang kakek yang seorang pejuang kemerdekaan. Nama Merah Johansyah, katanya, adalah pemberian almarhum kakek yang terinspirasi dari karibnya saat masih menjadi gerilyawan di hutan menumpas penjajah Belanda.

“Beliau adalah kiai di kampung kami. Menjadi salah satu penggerak perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia di Kalimantan Selatan,” tutur Merah yang juga mengaku banyak terinspirasi oleh konsistensi para seniornya di JATAM.

Merah pun spontan menyebut nama Chalid Muhammad, Siti Maemudah, Arief Wicaksono, dan Hendro Sangkoyo sebagai nama-nama istimewa dalam perjalanannya menapaki dunia aktivis. Mereka, kata Merah, tak pelit berbagi ilmu dan selalu memotivasi dirinya untuk bergerak maju.

Menjadi bagian dari kelompok milenial yang jumlahnya mencapai 60 juta, Merah membayangkan jika kekuatan ini mampu mendorong demokrasi baru Indonesia yang anti korupsi, pro lingkungan hidup, pro keselamatan rakyat, dan tidak terjebak pada topik SARA yang sangat mengerdilkan martabat bangsa.

Merah memiliki harapan besar terhadap negara ini: “Saya memimpikan Indonesia bangkit dan menjadi negara yang membahagiakan warganya dengna kualitas lingkungan hidup yang tinggi.”

Merah juga mengharapkan meningkatnya martabat demokrasi Indonesia, khususnya demokrasi yang bersih dari jejak busuk tambang dan ekstraktif.

Menurut Merah, impian besar itu akan terwujud jika generasi milenialnya cerdas dan ikut terlibat dalam mendorong politik cerdas yaitu politik tanpa sara, salah satunya poltiik yang dipenuhi oleh topik lingkungan hidup demi kualitas hidup bangsa.

“Saya adalah saksi sekaligus korban, kampung saya dihancurkan oleh tambang, banyak anak muda gelisah, saya salah satunya, karena itulah saya bergabung di Jatam, saya ingin melakukan sesuatu dan berdampak,“ tegasnya.

Seperti kata Pramoedya Ananta Toer, kaum muda jangan pura-pura tidak bisa. Anak muda adalah yang paling bisa mengurus negara ini. Itulah yang disebut keadilan antargenerasi. Generasi kemarin dan generasi saat ini adalah yang paling bertanggungjawab atas kerusakan lingkungan hidup yang terjadi saat ini dan masa yang akan datang.

“Karena itu generasi milenial harus ambil bagian menjadi solusi dan mengambil peran yang signifikan dan cerdas, bukan terus merepetisi dan membiarkan kondisi ini langgeng,” pungkas Merah dengan semangat menyala.

——————————————————————————

RIWAYAT HIDUP

Nama : Merah Johansyah Ismail
Umur : 35 Tahun

Pendidikan
S-2 Public Policy, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Mulawarman (UNMUL)
S-1 Fak Syariah STAIN (IAIN) Samarinda

Jabatan
Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) 2016 – 2020
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur (JATAM Kaltim) 2014 – 2016
Presiden Mahasiswa BEM STAIN (IAIN) Samarinda 2005 – 2006