“Sulit saya menerima penghargaan lingkungan yang tidak pantas saya terima akibat kegagalan untuk memungkinkan kita mencapai cita-cita konvensi itu,” ujar Prof Emil Salim saat penyerahan penghargaan Climate Hero Award.

TOKOH INSPIRATIF – Profesor Emil Salim menolak pemberian penghargaan Climate Hero Award dari Foreign Policy Community Indonesia (FPCI). Itu dilakukan karena menilai dirinya gagal menjalankan konvensi Rio 1992.

“Saya rasa tidak patut menerima penghargaan ini,” kata Emil Salim dalam keterangannya Minggu (25/6/2023).

Pakar lingkungan hidup dan ekonom ini kemudian bercerita kalau dirinya pernah ditugaskan oleh Presiden ke-2 RI sebagai bagian dari delegasi Indonesia untuk menandatangani dua konvensi Rio 1992 dalam KTT Bumi yang diadakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 3-14 Juni 1992 di Rio de Janeiro, Brazil. Mantan menteri lingkungan hidup tersebut juga menyebutkan bahwa dia membaca laporan pelaksanaan konvensi Rio 1992 yang diumumkan pada 2022.

“Ketika saya baca laporan tersebut, ternyata semua pemerintahan di dunia gagal melaksanakan konvensi tersebut, termasuk Indonesia. Dikatakan bahwa pelaksanaan Indonesia untuk dua konvensi itu adalah poor, rendah, buruk,” tuturnya.

Berdasarkan laporan tersebut, artinya tujuan konvensi untuk menyelamatkan alam, hutan, dan Indonesia gagal sehingga peringkat Indonesia sebagai negara dengan hutan terbesar kedua di dunia turun menjadi terbesar ketiga.

“Akibatnya adalah muka laut naik, tanah turun, land subsidence, perubahan cuaca, hujan berkurang, dan sebagainya. Dampaknya adalah kepada kehidupan manusia yang perlu mengatasi ancaman krisis air minum, pangan dan lain-lain,” tuturnya.

Lebih lanjut, tokoh yang terlibat dalam pendirian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) tersebut menilai kalau penandatangan konvensi Rio 1992 yang dilakukannya itu untuk menyetujui akan kegagalan dalam menjalankan konvensi.

“Sulit saya menerima penghargaan lingkungan yang tidak pantas saya terima akibat kegagalan untuk memungkinkan kita mencapai cita-cita konvensi itu,” ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, Emil Salim juga meminta maaf kepada orang-orang yang telah membantu dia selama ini karena tidak berhasil mencapai cita-cita di dalam konvensi perubahan iklim dan The Convention on Biological Diversity.

“Ini bukan persoalan menerima atau menolak, ini persoalan hati nurani, mohon maaf kalau saya (menolak), terima kasih supaya Tuhan melindungi Tanah Air kita,” pungkas Prof. Emil Salim yang kini berusia 93 tahun.

Cermin Kerendahan Hati

Pengamat Lingkungan Hidup Universitas Indonesia Mahawan Karuniasa menilai, keputusan Prof Emil menolak penghargaan tersebut sebagai cermin kerendahan hati dan kejujuran.

Padahal kiprah Emil sejak dulu tak layak disanksikan, terutama di awal Orde Baru menjadi Menteri Lingkungan Hidup dan berbagai peran lainnya luar biasa untuk menjaga, mengelola lingkungan hidup di Indonesia.

“Bahkan kontribusinya untuk dunia, berbagai kegiatan beliau dengan berbagai NGO dan sebagai menteri, pejabat banyak dan tidak diragukan lagi kiprahnya,” kata Mahawan melansir Greeners, di Jakarta, Selasa (27/6).

Jika pada kenyataannya lingkungan hidup Indonesia dan dunia memburuk, menurut Mahawan. tanggung jawab bukan pada perorangan. Sehingga tidak bisa bila disebut Prof Emil gagal membawa lingkungan hidup Indonesia lebih baik.

Sebaliknya, semua elemen bangsa justru harus belajar dan mencontoh sosok Emil Salim dengan berbagai prestasi yang luar biasa. Mahawan mengatakan, berbagai pihak sudah seharusnya melanjutkan perjuangan Emil Salim.

Setali tiga uang dengan Mahawan, pendapat senada juga diucap Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Nadia Hadad. Sosok Emil Salim, menurut Nadia, adalah pribadi yang rendah hati. Hanya sedikit mantan pejabat yang konsisten mendorong agenda perubahan dan perbaikan lingkungan.

“Indonesia memang sudah banyak berbuat banyak dalam mendorong pencapaian target iklim, tapi belum cukup,” ucapnya.

Jika cara mitigasi dan adaptasi perubahan iklim masih business as usual akan sulit mencapai penurunan emisi. Ia pun mendesak pemerintah konsisten menyelaraskan seluruh program pembangunan dengan aturan terkait lingkungan hidup dan komitmen penanganan perubahan iklim.

Tentang FCPI

Sebagai informasi, FPCI mengadakan Climate Hero Award sebagai bentuk penghargaan pada tokoh-tokoh dan kelompok masyarakat yang berjasa dalam memperjuangkan ambisi, komitmen, dan aksi iklim Indonesia.

Melalui Climate Hero Award, FPCI ingin menghargai kepemimpinan dan ketekunan para tokoh dalam advokasi aksi iklim yang ambisius dan progresif, dan merupakan pengakuan tertinggi terhadap kontribusi signifikan para tokoh untuk Indonesia dan masa depan emisi nol bersih.

FPCI sendiri merupakan komunitas hubungan internasional terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara. Dengan kekuatan dan ketenarannya, FPCI memantik semangat para komunitas dunia untuk bergabung dalam forum berskala global.

Selain kepada Emil, FPCI juga memberikan Climate Hero Award kepada Mercy Barends, anggota DPR Komisi VII di bidang energi, riset, dan teknologi, serta lingkungan, serta selaku Ketua Kaukus Ekonomi Hijau DPR RI, yang konsisten mengadvokasikan kebijakan pro-lingkungan dan pro-iklim.

Selanjutnya, penghargaan diberikan kepada Komunitas Adat Marena, yang merupakan salah satu Masyarakat Adat Indonesia, yang menerapkan nilai-nilai kearifan lokal “Aluk Tanah” dalam pengelolaan hutan dan sumber daya alam, menyebutkan bahwa Komunitas Adat Marena percaya bahwa manusia berasal dari tanah, maka sudah sepantasnya tanah turut dijaga.

Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari, dan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono juga turut hadir dalam INZS 2023 yang digelar pada Sabtu, 24 Juni 2023.***