Modesta Wisa,

Ketua Adat Samabue Kalbar.

Menyalakan Lentera di Kampung Halaman

 

Hak-hak masyarakat adat, antara lain tanah, hutan, dan kearifan lokal kian tergerus. Minat generasi muda juga meredup untuk belajar adat. Realitas tersebut berpotensi membuat masyarakat tercerabut dari jati dirinya. Hal itu mendorong Modesta Wisa mendirikan Sekolah Adat Samabue bersama empat rekannya.

Kepedulian untuk mewariskan adat dan budaya di sebuah komunitas biasanya muncul dari generasi tua yang khawatir. Tetapi tidak di Menjalin, Kabupaten Landak, Provinsi Kalimantan Barat. Justru di sini pendidikan adat lahir dari tangan generasi muda perempuan.

Modesta Wisa adalah pelopor. Tamat Politeknik Kesehatan Kemenkes Pontianak, Jurusan Kesehatan Lingkungan pada 2012, Wisa lebih suka menjadi aktivis adat daripada menjadi tenaga kesehatan. Ia aktif di Barisan Pemuda Adat Nusantara, sayap organisasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan menjabat Dewan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Region Kalimantan.

Sempat setahun merantau ke Jakarta sebagai  pelatih tari, Wisa justru berkenalan dengan AMAN dan beberapa kali mengikuti pelatihan yang mereka selenggarakan. Bahkan, Wisa juga pernah ikut kampanye mengumpulkan tanda tangan di Bundaran Hotel Indonesia terkait putusan Mahkamah Konstitusi No. 35 tentang Hutan Adat.

“Akhirnya sedikit demi sedikit saya mulai mempelajari isu masyarakat adat,” kenangnya.

Saat Jambore Nasional Barisan Pemuda Adat Nusantara 2015, Wisa terpilih menjadi Dewan Pemuda Adat Nusantara untuk Region Kalimantan. “Untuk itu, Itu kita harus stay di komunitas, dan kebutulan saya ingin pulang kampung. Saya tak betah hidup di Jakarta.”

Ringkas kata, ide mendirikan sekolah adat muncul saat acara “Next Gen Masyarakat Adat”, pelatihan kepemimpinan yang diadakan AMAN, BPAN, dan Life Mosaic di Sui Utik, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimatan Barat pada Agustus-September 2015. Acara ini diikuti 30 pemuda-pemudi adat se-Nusantara.

Para peserta diminta berkomitmen melakukan kegiatan untuk mempertahankan wilayah adat.

“Kami dibagi per kelompok untuk menciptakan ide, kami bertiga cewek satu kelompok, saya dari Kalimantan Barat, Nedine dari Sulawesi Utara, dan Sritiawati dari Kalimantan Utara, diskusi kami melahirkan rencana sekolah adat, karena akan mampu melahirkan generasi penerus masyarakat adat dan kami berkomitmen serta bermimpi untuk mewujudkannya,” kata Wisa.

Wisa menjadi virus bagi kawan-kawannya di Menjalin. Ia melontarkan ide kepada Katharina Ria dan Reni Baday yang lebih muda empat tahun darinya, serta Yosita dan Dwiana Sary yang baru lulus SMA pada 2016.

Waktu itu di seluruh Indonesia belum ada yang membuat sekolah adat. Akhirnya ia dan kawan-kawannya mendirikan Sekolah Adat Samabue (SAS) pada  24 Januari 2016. Nedine mendirikan Sekolah Adat Koha di Sulawesi Utara pada April 2016, dan Sritiawati mendirikan Sekolah Adat Punen Semeriot di Kalimantan Utara pada 11 Desember 2015.

 “Ketiga sekolah kami sedikit berbeda fokus karena terkait kebutuhan. Semeriot fokus pada pengajaran anak-anak tulis-baca karena minimnya fasilitas pendidikan formal, Koha fokus pada mengangkat kekayaan budaya yang terancam hilang seperti aksara untuk kembali digali pemuda adat, sedangkan Samabue mendidik anak-anak yang sudah mendapatkan sekolah formal untuk mempelajari adat,” kata Wisa.

Menurut Wisa, perlunya generasi muda mempelajari adat karena pendidikan formal membuat anak-anak adat tercerabut dari wilayah adatnya. Mereka satu-persatu pergi ke kota, banyak yang tak mau menggunakan bahasa ibu Dayak Kanayatn, bahkan malu menggunakannya. Mereka tak mengenal adat, usai kuliah jarang yang mau pulang kampung dan memilih kerja di luar kecamatan.

“Kampung sepi, mereka yang pergi umumnya berpikir materialistis dan individualistis, kolektivitas hilang dan tidak ada kebersamaan, akibatnya banyak wilayah adat yang hilang dan dirampas,” katanya.

Wilayah adat mencakup semuanya yang berkaitan dengan adat, seperti manusianya, tanahnya, hutannya, hukum adat, aturan, ritual, budaya, dan kesenian.

“Itu semua terancam gara-gara modernisasi dan kapitalisme masuk kampung, juga sistem pendidikan modern yang seragam, karena itu perlu upaya untuk menyelamatkannya,” ujarnya.

Wisa bersama empat temannya, memulai sekolah adat ini dengan mengajar tujuh siswa yang sebenarnya ingin berlatih menari kepadanya. Minggu berikutnya, di kampung yang lain, murid SAS bertambah 12 anak.

Bulan berikutnya, pergi ke kampung berbeda, ada 22 anak yang ikut bergabung. Sehingga total selama empat bulan berjalan, SAS sudah memiliki setidaknya 53 siswa.

Kata Wisa, orangtua begitu antusias menyambut SAS. Karena, selain mengajarkan menari atau kegiatan-kegiatan lain, beberapa kali sesi SAS juga mendatangkan tetua adat untuk berkisah tentang asal-usul leluhur mereka.

Setahun berjalan, SAS telah memiliki 80 siswa dan empat sekolah. Kabar gembiranya, masing-masing kampung telah memiliki koordinator untukk SAS sehingga Wisa dan tim lebih mudah melakukan koordinasi.  Tahun kedua, SAS telah tersebar di delapan kampung dengan 200 siswa.

Tahun pertama, jelasnya, SAS menghabiskan dana operasional Rp816 ribu. Dana digunakan membeli buku catatan untuk anak-anak, dan makanan. Dana juga dipakai untuk uang bensin bagi tetua adat, perempuan adat, dan pemuda adat yang mengajar. Namun, katanya, umumnya mereka menolak.

“Tapi kebanyakan kami paksa karena kadang mereka datang dari jauh dengan kendaraan dan nilainya pun tak seberapa,” ujar Wisa yang didaulat AMAN untuk berbagi cerita tetang sukses SAS dalam satu panel di Kongres Masyarakat Adat Nusantara V di Medan, Maret 2017.

Uniknya, meski kegiatan semakin padat seiring dengan banyaknya anak-anak yang bergabung dalam SAS, soal dana, mereka masih patungan.  Karena, SAS memang menggratiskan semua biaya sekolah mereka.

“Dana kami tetap patungan. Setiap bulan kami, lima orang ini, iuran antara Rp 200 ribu –Rp 500ribu. Kebetulan saya jualan online, jualan baju. Teman-teman juga ada yang menjadi pegawai desa atau punya usaha. Kami juga tidak pernah bikin proposal,” Wisa yang kini juga bekerja di Yayasan Bahtera Bina Anak Bangsa.

Itulah yang membuat Wisa tertawa ketika pernah diisukan bahwa kegiatan SAS didanai oleh lembaga tertentu. Terlebih setelah ia dan kawan-kawannya berhasil menggelar perayaan 1 Tahun SAS di Rumah Adat Dayak Kanayatn, 24-25 Februari 2017. Perayaan menampilkan aneka kegiatan pendidikan SAS dan berhasil mendatangkan sejumlah pejabat kabupaten.

“Padahal satu tahun mengelola SAS di empat komunitas berbeda, melibatkan 120 anak dengan kegiatan dua hingga tiga kali seminggu, kami mendanai dengan iuran dari kantong kami sendiri dan pada perayaan ulang tahun kami membuka donasi,” katanya.

Wisa dan kawan-kawan terus beraktivitas. Anak-anak pun suka dengan sekolah ini karena menyenangkan, terutama mengikuti kegiatan adat di alam, seperti turun ke sawah atau mencari bahan untuk menganyam dan memasak.

“Bahkan kalau saya lewat di satu komunitas, anak-anak mengejar menanyakan kapan lagi sekolah adat Kak Wisa….” katanya senang.

Sekarang, SAS sudah ada di tiga kabupaten di Kalimantan Barat, yakni Kabupaten Kuburaya, Kabupaten Ketapang, dan Kabupaten Sintang. Wisa dan kawan-kawan juga bisa berbangga karena sekolah adat mereka mulai dicontoh kabupaten tetangga. Sebuah komunitas Dayak Kanayatn di Kabupaten Mempawah juga meniru dengan mendirikan Sekolah Adat Malabatn dan di Kabupaten Bengkayang sedang mencari tim membuat sekolah yang sama.

Ke depan, Wisa ingin di tiap-tiap kabupaten di Kalimantan Barat mempunyai sekolah adat. Harapannya, kehadiran sekolah adat bisa mendorong terjadinya kesadaran kritis di kalangan anak-anak dan orangtua murid tentang pentingnya melestarikan adat, budaya, kearifan lokal, dan menjaga kelestarian lingkungan.

“Tapi mimpi utama kami adalah SAS terus berjalan apa adanya, tidak terkontaminasi formalitas, bisa melahirkan generasi penerus masyarakat adat Dayak Kanayatn sebagai komunitas adat terbesar di Kalimantan Barat, dan semakin banyak orang lain mau menginisiasi sekolah adat, agar masyarakat adat Nusantara tidak tercerabut dari adat dan budayanya,” kata Wisa, bungsu dari empat bersaudara ini memungkasi.

Riwayat Hidup

Nama                                           : Modesta Wisa

Tempat, Tanggal Lahir            : Seringkuyang, 16 November 1991

Pekerjaan/jabatan                    : Ketua Sekolah Adat Samabue

Alamat surel                               : modesta.wisa@yahoo.com

Pendidikan:

1.SDN  05 Menjalin, 1997-2003

  1. SMP N 1 Menjalin, 2003-2006
  2. SMA St. Ignasius Singkawang, 2006-2009
  3. Perguruan Tinggi Politeknik Kesehatan Jurusan Kesehatan Lingkungan, 2009-2012

Kursus/pelatihan:

1.Pelatihan Fasilitator Next Generasi masyarakat adar

2.Pelatihan Pendidikan Adat

3.Pelatihan Etnografi

Organisasi:

  1. Sekolah Adat Samabue
  2. Barisan Pemuda adat Nusantara
  3. Anggota Perempuan AMAN

Penghargaan:

  1. Pemuda Pelopor Bidang sosial Budaya Kalimantan Barat, 2018

2. Pemuda Peduli Lingkungan 2016 dari Gubernur Kalimantan Barat.#