Mokh. Sobirin

Direktur Eksekutif Yayasan Desantara

Meretas Ketertinggalan dengan Pendampingan

Mempunyai pengalaman panjang melakukan pendampingan ke desa-desa terpinggirkan, Mokh. Sobirin dan organisasi nirlaba yang dipimpinnya banyak bergerak di isu lingkungan melalui strategi kebudayaan. Dia ingin mencari narasi-narasi alternatif  tentang upaya masyarakat untuk berdaya dan mendorong inisiatif masyarakat lokal untuk memperkuat diri dan mengatasi persoalan sendiri tanpa harus selalu mengharapkan bantuan pemerintah.

 

Dua tahun lalu, tepatnya pertengahan 2016, Yayasan Desantara terlibat di Program Peduli dengan dua site project yakni Desa Lung Anai — lokasi tempat tinggal komunitas Dayak Kenyah Lepoq Jalan — di Kecamatan Loa Kulu Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur dan Desa Pajanangger, Kecamatan Arjasa, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur.

Yayasan Desantara adalah lembaga kajian dan advokasi yang bergerak di isu kebudayaan dan lingkungan hidup. Sejak dibentuk tahun 2000, Desantara telah banyak melakukan kajian tentang masyarakat adat dan kelompok minoritas di banyak tempat di berbagai tempat di wilayah Indonesia.

Dua lokasi yang menjadi site project itu mempunyai keunikan dan problematika masing-masing. Desa Lung Anai mempunyai problem sosial dan ekonomi terkait potensi sumber daya alam mereka yang sangat terbatas dan potensi konflik dengan desa induknya.

Warga Desa Lung Anai yang terbiasa dengan sistem ladang berpindah harus bersiasat dengan semakin lebarnya area Hutan Tanaman Industri (HTI) dan pertambangan yang dibuka di sekitar desa mereka. Ini menjadi persoalan serius karena mereka tak bisa lagi berladang sesuai dengan cara yang diwariskan leluhur mereka. Belum lagi dengan tuduhan yang harus mereka dapatkan sebagai pihak yang menyebabkan banyak kebakaran hutan di Kalimantan. Posisi mereka pun semakin sulit dari hari ke hari.

Situasi inilah yang menjadi dasar bagi Yayasan Desantara dan beberapa pihak lain untuk bekerjasama mendorong model pengembangan komunitas yang terhubung dengan desa lain di sekitar Desa Lung Anai. Melalui proses diskusi yang panjang, akhirnya terjadilah sebuah dialog pengembangan desa berbasis kawasan sepanjang aliran sungai. Namun dialog ini tidak berjalan lancar Karena tidak sejalan dengan kebijakan dari pemerintah daerah yang menempatkan wilayah dampingan Yayasan Desantara sebagai kawasan pertanian.

Sedangkan pendampingan terhadap Desa Pajanangger merupakan tindak lanjut dari penelitian yang dilakukan oleh Komisi Ombudsman tahun 2015 terkait dengan layanan publik di daerah terpencil.

Menurut Sobirin, butuh energi ekstra untuk mencapai desa yang berada di Pulau Kangean ini. Bila menggunakan kapal cepat dengan kondisi ombak sedang, akan memakan waktu tempuh empat jam. Namun bila ombak tinggi, kapal ini tak bisa beroperasi. Satu-satunya transportasi yang bisa dipakai adalah kapal besar lintas pulau dan butuh waktu sekitar 10 jam untuk sampai ke Kangean.

“Mengapa ada LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang jauh-jauh datang dari Jakarta untuk mendukung pengembangan desa kami?” sergah seorang warga di Desa Pajanangger, Pulau Kangean pada awal kedatangan tim dari Yayasan Desantara ke sana.

Ada dua alasan mendasar mengapa warga curiga dengan kedatangan LSM di desanya. Pertama, dalam memori mereka tidak pernah ada LSM yang memberi mereka dukungan tanpa ada embel-embel uang terimakasih yang harus diberikan. “LSM itu artinya Lapar Siang malam mas,” imbuh warga yang lain.

Citra LSM sebagai lembaga yang menjadi tukang palak dan tidak pernah memiliki kontribusi yang jelas menjadi satu hambatan besar di awal program. Namun lambat laun masalah ini berhasil diatasi dengan pendekatan dan komunikasi yang lebih humanis. Tak hanya sekedar menjalankan program, namun juga menunjukkan keinginan untuk juga belajar dari apa yang dimiliki oleh warga.

Kedua, lokasi jarak yang cukup jauh antara lokasi pendampingan dengan kota kabupaten menjadikan akses yang mereka miliki sangat terbatas. Ditambah lagi belum lancarnya sarana telekomunikasi.

“Bila musim nggak bagus, bisa seminggu nggak ada kapal datang. Kalau sudah seperti itu, harga kebutuhan pokok  akan naik, bahan bakar juga naik,” tutur lulusan Fakultas Fisip Universitas Gadjah Mada ini.

Persoalan keterpencilan geografis dan keterbatasan daya jangkau program pemerintah mengakibatkan tidak optimalnya pengembangan potensi sosial dan Ekonomi yang dimiliki oleh desa. Untuk itu diperlukan desentralisasi model pengembangan sosial ekonomi berbasiskan moda produksi yang sesuai dengan karakteristik lokal.

Misalnya di wilayah pulau-pulau kecil seperti Kangean yang memiliki sumber daya laut yang cukup kaya namun tidak banyak Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang dapat dijumpai. Akibatnya nelayan harus menjual Hasil tangkapannya ke lokasi yang jauh dari wilayah tangkapan.

Sambil “menunggu” kebijakan yang lebih ramah pada warga pulau kecil, salah satu inisiatif yang sedang coba dikerjakan adalah pengelolaan Pantai Sapoong di Kangean agar menjadi kegiatan yang memiliki daya ungkit secara sosial dan ekonomi.

Bersyukur, kepala Desa Pajanangger menyambut baik program pendampingan yang dilakukan. Suhrawi, Kepala Desa Pajanangger, cukup responsif dengan program yang mereka tawarkan.

“Teluk ini dulu dikenal sebagai daerah rawan, karena biasanya para pencuri kerbai atau sapi membawa hasil curiannya ke teluk ini kemudian diangkut pakai kapal. Ada orang berbuat zina atau transaksi narkoba biasanya di teluk itu.”

Dimotori oleh kepala desa, warga desa Pajanangger gotong-royong membangun Teluk Sapoong. Butuh waktu enam bulan untuk membersihkan, menata, dan membuat spot-spot swafoto bagi para pengunjung. Hasilnya, kini nama Teluk Sapoong telah masyhur sebagai salah satu destinasi wisata baru di pulau Kangean yang cukup fenomenal.

“Kami berusaha menggunakan obyek wisata ini untuk menjadi pintu masuk mengatasi banyak persoalan di Desa Pajanangger. Karena kalau hanya mengharapkan pemerintah punya program, akan lama dan prosesnya akan berbelit. Jadi kami berusaha utuk menarik perhatian banyak orang melalui obyek wisata, agar mereka mengabarkan kepada banyak orang bahwa telah banyak hal baik terjadi di Pajanangan,” tutur Sobirin

Sejak didirikan 18 tahun lalu, Yayasan Desantara telah banyak melakukan pendampingan ke desa-desa terpinggirkan. Organisasi nirlaba yang bergerak di isu lingkungan melalui strategi kebudayaan ini  ingin mencari narasi-narasi alternatif  tentang upaya masyarakat untuk berdaya. Desantara berusaha mendorong inisiatif masyarakat lokal untuk memperkuat diri dan mengatasi persoalan sendiri tanpa harus selalu mengharapkan bantuan pemerintah.

Selain berkegiatan di Kalimantan Timur dan Kangean, wilayah lain yang juga menjadi area kegiatan organisasi nirlaba ini adalah wilayah Pegunungan Kendeng Utara di Kabupaten Pati dan Rembang, Jawa Tengah. Di beberapa Wilayah ini Yayasan Desantara lebih banyak memfokuskan sumber daya pada kegiatan penguatan kemampuan komunitas untuk merespon perubahan. Salah satunya dengan memperkuat kemampuan mereka mengolah informasi dan menggunakannya untuk kepentingan komunitas.

“Dari berbagai pengalaman yang kami dapatkan ketika melakukan pendampingan di beberapa lokasi tersebut, hampir di semua wilayah harus berjuang untuk menegakkan kedaulatan ekonomi dan kebudayaannya dari model pembangunan yang tidak cukup memperhatikan eksistensi mereka sebagai sebuah komunitas.”

***

Sobirin lahir di Grobogan, 8 Mei 1983. Bungsu dari lima bersaudara ini menamatkan pendidikan dasar di kampung halaman dan hijrah ke Yogyakarta untuk melanjutkan kuliah di Fakutas Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada. Sobirin tercatat sebagai mahasiswa angkatan 2001.

Berbicara soal pendanpingan masyarakat, Sobirin yang menyandang gelar Magister Antropologi FISIP Universitas Indonesia ini sudah mengawali sejak duduk di bangku kuliah. Di sela-sela waktu menyelesaikan skripsi, dia telah melakukan penelitian-penelitian tentang sosial kemasyarakatan di beberapa tempat.

Sampai tahun kelima kuliah, belum ada tanda-tanda kelulusan, sementara dia harus memegang komitmen untuk membiayai kuliah sendiri bila sampai tahun kelima kuliah belum selesai. Walhasil, sambil menyusun skripsi, Sobirin terlibat dalam sebuah kegiatan NGO di Yogyakarta yang kebetulan menjadi jaringan Desantara. Di organisasi ini, Sobirin berkenalan dengan banyak komunitas adat dan makin sering melakukan penelitian lapangan.

Tahun ketujuh, dosen pembimbingnya memanggil. Ada satu mata kuliah yang diujicobakan yakni teori jaringan. Itulah yang kemudian mengantarkannya untuk menuntaskan sripsi dan menamatkan pendidikan srata satu.

Tak butuh waktu lama bagi Sobirin untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan minatnya. Selesai kuliah, dia melakukan kerja pendampingan advokasi di Komunitas Samin di Kendeng dan tinggal di sana selama empat tahun sebelum hijrah ke Jakarta dan dipilih menjadi Direktur Eksekutif  Desantara.

Dari berbagai pengalaman pendampingan masyarakat adat dan kelompok minoritas yang telah dilakukan, Sobirin berharap diberlakukannya Undang-Undang Desa mampu menjawab tantangan ketertinggalan pembangunan di desa karena perencanaan pembangunan dilakukan oleh satuan politik yang paling dekat dengan komunitas, yaitu desa. Untuk itu diperlukan kerjasama berbagai pihak untuk menerjemahkan semangat kemandirian dan inisiatif oleh desa.

“Pemerintah di berbagai tingkat perlu memberikan insentif kebijakan dan dukungan agar perangkat dan masyarakat desa dapat menggunakan Undang-undang Desa sebagai ruang untuk mengembangkan potensi alam dan sumber daya manusia yang dimiliki desa,” pungkasnya.#

Riwayat Hidup

Nama                            : Mokh Sobirin

Tempat tanggal lahir : Grobogan 8 Mei 1983

Keluarga                      : menikah, memiliki satu anak

Jabatan                        : Direktur Eksekutif Yayasan Desantara

Riwayat Pendidikan:

  1. SD N II Kalongan
  2. SMP N 2 Purwodadi
  3. SMU N 1 Purwodadi
  4. Ilmu Politik dan Pemerintahan FISIPOL Universitas Gadjah Mada
  5. Magister Antropologi FISIP Universitas Indonesia

Riwayat Jabatan:

  1. Divisi Penelitian Lafadl Initiatives Yogyakarta
  2. Staf Advokasi Yayasan Desantara
  3. Direktur Eksekutif Yayasan Desantara