Muji Kartika Rahayu, S.H., M.Fil.
Pengacara Publik.
Advokat Antikorupsi, Pembela Kaum Tertindas
Pilihannya sebagai pengacara publik, mengangkat kaum tersungkur, dan menjunjung hukum ke tempat luhur, menjadikan sosok Muji Kartika Rahayu sebagai pengacara sekaligus aktivis yang cukup disegani. Menangani berbagai persoalan terkait dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, ia banyak melakukan pendampingan terhadap orang-orang yang menjadi wishtleblower dan pelapor korupsi yang tidak ingin identitasnya diketahui.
Kabar baik buat lingkungan negeri ini di penghujung tahun. Delapan bulan proses di Pengadilan Negeri Cibinong, Jawa Barat, Basuki Wasis, ahli lingkungan dari Institut Pertanian Bogor, bebas dari gugatan, pada Kamis, 13 Desember 2018.
Majelis hakim terdiri dari Chandra Gautama sebagai ketua, Andri Falahandika dan Ali Askandar, masing-masing hakim anggota, memberikan putusan sela. Ketiganya menerima eksepsi kuasa hukum tergugat yakni Basuki Wasis, dan menyatakan gugatan Nur Alam, terpidana sekaligus mantan Gubernur Sulawesi Tenggara, tak dapat diterima. Basuki Wasis, pun bebas dari gugatan perdata itu.
“Majelis hakim juga menegaskan dalam putusan menjamin perlindungan bagi setiap ahli yang memberikan keterangan dalam persidangan, tidak dapat digugat perdata atau pidana,” kata Muji Kartika Rahayu, salah satu kuasa hukum Basuki Wasis, usai persidangan.
Bagi Kanti, demikian Muji Katika Rahayu biasa disapa, kasus Nur Alam merupakan exercise memasukkan kerugian lingkungan sebagai elemen dari kerugian keuangan negara. Di sisi lain, gugatan perdata yang ditujukan kepada saksi ahli menjadi catatan merah dalam dunia penegakan hukum, dimana kebebasan seorang akademisi diintimidasi dan bahkan dimutilasi.
“Saya dan semua tim pembela Basuki Wasis, melihat gugatan tersebut dari berbagai perspektif, yaitu kebebasan akademik, perlindungan Human Right Defender, perlindungan saksi/ahli, perlindungan pejuang lingkungan hidup,” ucap Kanti saat berbincang dengan tokohinspiratif.id.
Sejak kasus ini bergulir pada April 2018, Kanti dan tim kuasa hukum Basuki mengupayakan beberapa langkah hukum, seperti mengajukan eksepsi, meminta perlindungan LPSK dan amicus brief dari Komnas HAM serta amicus dari banyak lembaga akademisi. Pada saat yang sama, dukungan datang dari berbagai kalangan terhadap Basuki Wasis mengalir deras. “Sehingga tugas kami hanya mengelola dukungan tersebut, agar sampai ke ruang sidang sehingga bisa didengar dan dibaca oleh hakim,” tutur Kanti.
Ada puluhan akademisi dan aktivis dari seluruh Indonesia yang mengirimkan amicus curiae (pendapat hukum sebagai sahabat peradilan). Ada pula yang menggalang dukungan publik melalui change.org, hingga datang ke pengadilan. Beberapa lembaga negara juga ‘hadir’ sesuai kewenangannya masing-masing, seperti LPSK, Komnas HAM, Komisi Yudisial, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan tentu saja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Bersyukur, hakim menyatakan gugatan Nur Alam tak dapat diterima. Basuki Wasis, pun bebas dari gugatan perdata itu.
Dalam perjalanannya sebagai advokat, telah banyak kasus-kasus yang menyedot perhatian publik yang dia tangani. Selain menjadi penasihat hukum Novel Baswedan, Kanti dan teman-temannya pernah pula menjadi penasihat hukum mantan pimpinan KPK, Bambang Widjoyanto saat ditersangkakan kepolisian.
Satu pengalaman cukup membekas saat ia menangani sebuah perkara yang sedang bersindang di salah satu Pengadilan Negeri di Wilayah Jakarta. Ia membaca ada gelagat yang tidak wajar dari sikap oknum panitera di Pengadilan. Benar saja, Kanti dimintai sejumlah uang oleh oknum panitera tersebut. Merasa hal tersebut tidak benar, Kanti melalui teman-temannya di LeIP (Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan), lantas melaporkan tindakan tersebut ke Badan Pengawas Mahkamah Agung. Tak disangka, laporan Kanti tersebut menjadi pilot project Bawas MA untuk melakukan pengawasan secara langsung.
“Jadi mereka mengirim orang untuk melakukan surveillance. Orang Bawas senang banget sampai mengatakan cari lagi dong mbak pengacara yang kayak kamu. Yang kalau dimintai uang lapor ke Bawas,” ujar Kanti.
Kanti cukup prihatin dengan praktik serupa yang dilakukan oleh oknum di pengadilan. Jika pengadilan di Jakarta saja sudah demikian, bagaimana dengan pengadilan di daerah-daerah?
Ia berpikir, sepanjang masih berpegang kepada prinsip moral maka menghadapi hal serupa bukanlah sesuatu yang sulit. “Menghadapi orang seperti ini nggak sulit. Karena tidak ada standar moral atau hukum yang kita langgar sama sekali. Yang sulit itu kan menghadapi manusia yang mentalnya lebih rendah daripada masalahnya. Bagaimana kita mau menyelesaikan kasusnya sedang dia lebih rendah dari kasusnya,” tegas peraih gelar M. Fil di Bidang Filsafat Hukum STF Driyarkara, Jakarta.
***
Muji Kartika Rahayu mengawali karir di dunia advokat dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya pos Malang. Tempat yang sama di mana aktivis Hak Asasi Manusia, Munir Said Thalib tumbuh dan mengkonsep gagasan-gagasan kritisnya terhadap HAM dan ketidakadilan sosial.mk
Perempuan kelahiran Blitar,18 Januari 1976 ini sejak kecil telah menunjukkan ketidaksepakatannya terhadap budaya patriarki yang berlaku di lingkungan tempat ia tumbuh. “Ibu memperlakukan kakak saya yang laki-laki lebih istimewa dari pada anak-anak perempuan, ya saya protes. Kenapa bapak disebut dengan bapaknya anak laki-laki? Menurut saya itu nggak benar.”
Hal ini terus terbawa ke bangku sekolah. Kanti menunjukkan ketidaksetujuannya dengan metode mengajar guru ketika menyuruh seisi kelas untuk mengerjakan Lembar Kerja Siswa (LKS). Menurut Kanti kecil, cara demikian tidaklah tepat karena hanya menghabiskan waktu.
Kanti mengawali karir di dunia advokat saat menempuh mata kuliah magang Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang. Bermula dari magang inilah Kanti menjadikan LBH Surabaya sebagai tempat beraktivitas sehari-hari selain kuliah.
Satu hal menarik dari pengalaman selama di LBH Surabaya adalah ketika “dipaksa” lulus kuliah oleh seniornya di LBH jika ingin melanjutkan proses di LBH Surabaya. Berkat desakan tersebut akhirnya Kanti menyelesaikan studi setelah lima tahun menjadi mahasiswa.
Delapan tahun di LBH Surabaya dengan jabatan terakhir sebagai wakil direktur, Kanti memutuskan untuk pindah ke Jakarta. Tahun 2005, Kanti bergabung ke Indonesian Corruption Watch (ICW). Menjadi pengacara di ICW, Kanti menangani berbagai persoalan terkait dengan pemberantasan tindak pidana korupsi. Ia banyak melakukan pendampingan terhadap orang-orang yang menjadi wishtleblower dan pelapor korupsi yang tidak ingin identitasnya diketahui.
Kanti menghabiskan waktu dua tahun di ICW, sampai 2007. Setelah itu ia banyak berkutat dalam penanganan kasus pembunuhan terhadap aktivis HAM, Munir. “Kalau dulu ingat ada Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM), saya fokus di situ. Setelah itu baru ke KRHN (Konsorsium Reformasi Hukum Nasional) 2008,” jelasnya.
KRHN merupakan salah satu dari sekian banyak wadah tempat bernaung para aktivis hukum di ibukota. KRHN dibentuk dengan tujuan agar menjadi salah satu “sekoci” Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). KRHN yang memiliki fokus pada reformasi konstitusi, ikut terlibat dalam proses amandemen Konstitusi. Menurut Kanti, KRHN merupakan salah satu yang leading dalam amandemen konstitusi, berlangsung sampai terbentuknya Mahkamah Konstitusi (MK).
Kini, Kanti sedang fokus tentang isu korupsi melalui riset dan kepengacaraan. Dia pun tergabung dalam Koalisi Masyarakat Antikorupsi bersama para aktivis antikorupsi yang lain. Menurutnya, melawan korupsi tidak bisa sendirian. Dengan berkoalisi saja, katanya, kita masih terengah-engah menghadapi regenerasi kopruptor. Jadi, harus ada gerakan massif untuk melawannya.
Gerakan antikorupsi, tutur Kanti, sesungguhnya berawal dan berujung pada kepentingan masyarakat. Artinya, masyarakatlah yang menjadi subyek dan penerima manfaat dari upaya-upaya pemberantasan korupsi.
Dengan konsisten pada jalur tersebut, Kanti berharap bisa membuat perubahan cara pandang dalam melihat dunia hukum yang selanjutnya akan mewarnai kerja-kerjanya. Sembari berharap perubahan cara pandang ini bisa mempengaruhi orang lain dalam melihat dunia hukum dalam kerangka lebih luas.
Ketika ditanya apakah gerakannya sudah membuahkan hasil. Diplomatis Kanti menjawab dia akan terus berfokus pada proses. “Karena kalau pun ada hasil, pasti bukan hanya saya yang menentukan keberhasilan tersebut,” kata sosok yang mengaku tantangan paling berat adalah melawan kemalasan untuk terus belajar dan belajar.
Telah banyak fase kehidupan yang dilalui Muji Kartika Rahayu selama menjadi aktivis dan beraktivitas di LBH sehingga membentuk dirinya menjadi sosok idealis seperti sekarang. Dari sisi aktivitas, tidak ada yang berubah secara signifikan pada dirinya. Dia tetap konsisten bekerja di dunia hukum, kepengacaraan, dan berfokus pada kasus-kasus publik.
Satu perbedaan yang ada adalah tentang cara melihat dunia. Dulu, katanya, dia berambisi bisa mengubah dunia hukum. Tapi ada satu masa ketika dirinya merasa semua yang dia lakukan ternyata tak berdampak, lalu dia mundur sejenak untuk belajar lagi. “Hasilnya, saya berubah. Yang terpenting dan realistis bukan mengubah dunia hukum tapi mengubah cara saya melihat dunia hukum.”
Pergolakan pemikiran dan kecemasan seorang Muji Kartika Rahayu dalam menjalani kehidupan akhirnya dia tuangkan dalam buku karyanya yang berjudul: ‘Sengketa Mazhab Hukum, Sintesis Berbagai Mazhab dalam Pemikiran Hukum’ yang terbit pada 2018.
Pada akhirnya, sebagai bagian dari anak bangsa akan terus bergerak maju menyongsong perubahan, Kanti berharap agar semua dari generasi milenial di negeri ini tidak termakan, terpinggirkan, atau terbuang oleh zaman. “Kita bergandengan tangan dengan zaman, membuat perubahan yang berarti bagi peradaban hukum dan kemanusiaan.”