Ngatinah
Anggota Serikat Tani Kabupaten Kubu Raya
Memperjuangkan Hak Tanah Yang Terampas
Nyalinya tak pernah surut walaupun harus berhadapan dengan perusahaan besar dan juga aparat penegak hukum. Perjuangan Ngatinah untuk memperoleh kembali hak tanah yang terampas terus dilakukan tanpa menghiraukan risiko yang dihadapi. Tak berjuang sendiri, kaum perempuan pun diajak bergandengan tangan menambah pengetahuan hukum agar mampu melawan kriminalisasi.
Desa Olak-Olak, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, terbentuk karena ada transmigrasi dari luar Kalimantan. Tak heran, Desa Olak-olak lebih banyak dihuni oleh suku bangsa Jawa. Desa yang dialiri sungai yang menjadi sumber kehidupan, karena sebagian besar masyarakatnya adalah petani. Tanah yang mereka tanami menjadi sumber pengharapan bagi masyarakat Desa Olak-olak sebagai penyambung hidup.
Untuk meningkatkan taraf hidup, masyarakat desa Olak-olak terus membangun diri. Ketika masuk tawaran dari PT Cipta Tumbuh Berkembang (PT CTB) yang mengulurkan kerjasama membangun perkebunan moderen pada 2008. Masyarakat Desa Olak-olak menerima dengan tangan terbuka.
Seiring pengelolaan perkebunan sawit perusahaan, asa memiliki perkebunan yang dikelola dengan baik dan pemasaran yang terjamin pupus ketika terdapat permasalahan antar perusahaan yang kian meruncing. Persoalan itu berupa adanya tumpang tindih perizinan PT Sintang Raya dan PT CTB seluas 801 ha, dimana 801 ha adalah lahan yang diserahkan masyarakat berdasarkan surat perjanjian lahan nomor:001/CTB-ok/2008 dan nomor:002/CTB-ok/2008 keduanya tertanggal 16 Desember 2008.
Atas tumpang tindih perizinan antar perusahaan baik PT CTB dan PT Sintang Raya, akhirnya dua perusahaan tersebut menyelesaikan sengketa dengan jalan keputusan win-win solution yaitu PT CTB mengambi alih (take over) lahan tersebut ke PT Sintang Raya seluas 801 ha.
Permasalahannya, dari luas 801 ha tersebut terdapat plasma masyarakat seluas 151 ha yang didalamnya termasuk lahan garapan masyarakat 64 ha milik masyarakat Dusun Melati (patok 30) yang memiliki perjanjian tersendiri antara PT CTB dengan masyarakat. Namun ketika PT CTB masuk di Olak-Olak, pihak PT CTB memasukan lahan garapan Dusun Melati (Patok 30) ke dalam 801 ha yang di take over ke PT Sintang Raya. Padahal ini perjanjian yang berbeda dengan perjanjian lahan 151 ha tersebut. Lahan garapan Dusun Melati (Patok 30) tidak termasuk dari lahan 151 ha tersebut.
Sebelumnya di Patok 30, PT Cipta Tumbuh Berkembang (PT CTB) melakukan Ganti Rugi Tanam Tumbuh (GRTT) pada tahun 2012. Dalam proses GRTT masyarakat hanya bertanda tangan di atas kwitansi yang hanya berisi nominal tanpa ada penjelasan untuk apa uang tersebut. Pembayaran mulai dengan nominal yang bervariasi dari Rp500.000 sampai dengan Rp2.500.000,- untuk 2 hektar lahan.
Dalam proses GRTT tersebut tidak ada Berita Acara Penyerahan Lahan dan Berita Acara Pengukuran yang ditandatangani masyarakat. Akhirnya, lahan dari 801 ha yang didalamnya terdapat lahan plasma 151 ha, dan lahan garapan seluas 64 ha milik masyarakat, harus jatuh di tangan PT Sintang Raya. Padahal masyarakat tidak pernah melakukan kerjasama dengan perusahaan tersebut.
Atas perjanjian win-win solution antara PT CTB ke Sintang Raya yang dilakukan tanpa disosialisasikan ke masyarakat, akhirnya masyarakat dirugikan dan terampas hak-haknya. Pada tahun 2013 masyarakat patok 30 (Dusun Melati) mengambil lahan garapan tersebut kembali seluas 64 ha yang terletak di Dusun Melati. Semenjak tahun 2013 masyarakat mengelola lahan tersebut sampai pada tahun 2017 dengan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk merawat lahan tersebut.
Namun, pihak PT CTB dan PT Sintang Raya kembali merampas lahan 64 ha tersebut tanpa ada proses musyawarah dengan masyarakat Dusun Melati (patok 30). Pihak PT CTB melakukan panen paksa,sepihak, dan melakukan intimidasi serta teror terhadap masyarakat dalam bentuk akan melaporkan atas tuduhan pencurian sawit dari lahan tersebut.
Aksi seperti ini sebelumnya juga dilakukan oleh PT Sintang Raya terhadap masyarakat Olak-Olak Kubu, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya. Untuk menakut-nakuti masyarakat Olak-Olak Kubu, PT Sintang Raya melakukan kriminalisasi dalam bentuk tuduhan pencurian sawit. Telah ratusan warga yang menjadi korban.
Dalam tekanan yang dialami, masyarakat Desa Olak-Olak melawan. Perlawanan mereka adalah untuk memperjuangkan hak-hak mereka yang terampas. Bukan hanya para lelaki, perempuan tak mau tertinggal dalam perjuangan. Di antara para perempuan yang berjuang untuk memperoleh kembali haknya yang terampas adalah Ngatinah. Perempuan kelahiran Kubu, 13 Juli 1983 ini tak kenal takut melawan perusahaan besar yang selalu mendapat back up dari aparat kepolisian.
Keterlibatan Ngatinah dalam perjuangan bermula dari sosok Rubiyem yang memilik tanah di Desa Olak-Olak yang sudah dikerjasamakan dengan CTB bersama kaum laki-laki dan perempuan lainnya berjuang untuk mempertahankan tanah. Keterlibatan Rubiyem dalam Program TKHL dengan PBHK (Perkumpulan Bantuan Hukum Kalimantan) akhirnya melibatkan Ngatinah dalam proses-proses pendampingan hukum yang dilakukan oleh PBHK. Meski yang melakukan pendampingan langsung di tingkat basis dilakukan oleh Agra Kalimantan yang selalu bekerjasama dengan PBHK dalam penanganan kasus kriminalisasi.
“Kami didampingi PBHK. Bersama masyarakat Olak-olak kami membentuk oraganisasi tani yang diberi nama Serikat Tani Kabupaten Kubu Raya (STKR)-cabang Desa Olak-olak Kubu yang di advokasi langsung oleh AGRA Kalimantan Barat,” ujar Ngatinah yang meengaku hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama.
Dalam lingkup yang lebih besar, perempuan berusia 35 tahun ini bersama-sama perempuan Kalimantan Barat lainnya membentuk Serikat Perempuan Rakyat (SPR) yang bertujuan untuk membangun aliansi perjuangan untuk merebut hak atas tanah secara bersama-sama. Membangun kesadaran hukum terus digaungkan oleh Ngatinah. “Saya ingin kaum ibu melek hukum sehingga mereka tahu bagaimana memperjuangkan hak-hak mereka yang terampas,” lanjutnya.
Ngatinah bersama-sama Rubiyem diberi kesempatan oleh PBHK untuk mengikuti training pengasutamaan gender dan teknik negoisasi. Usai mengikuti training, giliran Ngatinah mentransfer ilmu dan pengalamannya yang diperoleh selama training yang dia ikuti. Perempuan-perempuan Desa Olak-olak dia kumpulkan, lalu dia berbicara tentang pengasutamaan gender dalam merebut SDA (Sumber Daya Alam). Dua kali Ngatinah dan Rubiyem menggelar training untuk kaum perempuan Desa Olak-olak dan selalu didampingi oleh AGRA Kalimantan.
Salah satu langkah untuk mengajak kaum perempuan Desa Olak-Olak melek hukum adalah melalui Trining Hukum Kritis yang difasilitasi oleh AGRA Kalimantan Barat. Training ini diikuti oleh kelompok laki-laki dan perempuan. Ngatinah bersama Rubiyem dan satu rekan lainnya yang bernama Wagini menjadi tokoh perempuan yang mampu mengorganisir perempuan lainya agar mereka melek hukum pidana karena dalam perjuangan meraka selalu berhubungan dengan aparat penegak hukum.
“Membentuk satu kelompok perempuan memang menjadi sarana dalam perjuangan untuk merebut sumber daya alam kami yang terampas. Lewat kelompok tersebut, kami lalu mengumpulkan dan mengelola dana perjuangan yang di dapat dari iuran masyarakat desa Olak-Olak sebagai dana untuk kegiatan rapat, diskusi, dan pertemuan di desa,” papar Ngatinah yang dipercaya sebagai bendahara di STKR.
Ngatinah dan teman-teman seperjuangannya meyakini, mereka harus merangkul banyak pihak agar perjuangan mereka terdengar. Karena itu, Ngatinah juga melakukan audiensi ke kantor DPRD Provinsi Kalimantan Barat, Komda HAM Kalbar, dan Polda Kalbar untuk menyampaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat desa Olak-Olak Kubu dalam merebut sumber daya alam bersama PBHK dan AGRA Kalbar.
Hal itu perlu dilakukan karena tekanan yang dialami Ngatinah dan teman-teman bukan sekedar ancaman. Perjuangan mereka merebut kembali hak atas sumber daya alam dan tanah yang mereka miliki kerap berlinang airmata. Aparat yang seharusnya menjadi sandaran untuk memberi perlindungan justeru kerap melakukan patroli. Masyarakat Desa Olak-Olak tak lagi leluasa di tanah mereka sendiri.
Tak hanya itu, sejumlah warga juga pernah ditangkap dengan tuduhan melakukan pencurian karena masyarakat melakuan panen di lahan yang diklaim milik PT Sintang Raya. Mereka dijemput paksa oleh Brimob bersenjata lengkap. Akibatnya masyarakat dilanda ketakutan yang amat sangat. Mereka memilih meninggalkan desa dan berlindung di kantor Komda HAM Kalbar. Bersama anak-anak mereka yang masih kecil, mereka tidur di lorong-lorong kantor.
Berhadapan dengan aparat memang bukan hal baru bagi Ngatinah. Dia dengan berani tampil melawan aparat kel\polisian saat akan dilakukan penyitaan alat bukti sepeda Motor Tosa yang di diduga di gunakan sebagai alat untuk melakukan pemanenan sawit bersama. “Saya juga bersaksi di pengadilan dalam proses persidangan kasus kriminalisasi yang menjadikan Sudarman, warga Desa Olak-Olak, sebagai terdakwa,” cerita Ngatinah.
Ngatinah dan teman-teman seperjuangannya menyadari, tak mudah untuk bisa memperoleh kembali hak-hak mereka yang terampas. Tetapi, perjuangan harus terus dilakukan meski aparat penegak hukum kerap harus dihadapi. Ngatinah pun menyadari minimnya ilmu pengetahuan dan pengalaman yang mereka alami kerap menjadi hambatan dalam melakukan proses advokasi.
Namun, Ngatinah tak gentar. Ngatinah tak pernah mundur barang selangkah. Baginya, mengajak kaum perempuan Desa Olak-Olak sebanyak-banyaknya untuk bisa memahami peran gender dalam memperjuangkan dan merebut sumber daya alam harus diwujudkan agar hak mereka yang terampas bisa dikembalikan.
Riwayat Hidup
Nama : Ngatinah
Tempat /Tanggal Lahir : Kubu, 13-07-1983
Jenis Kelamin : Perempuan
Pendidikan : SLTP
Pekerjaan : Pengurus Rumah tangga
Alamat : Desa olak-olak Kubu
Organisasi :
- Serikat Tani Kabupaten Kubu Raya (STKR)
- Serikat Perempuan Rakyat (SPR)