Nina Gusmita

 

 

Akibat kecelakaan, kakinya diamputasi. Ternyata, itu menjadi jalan Tuhan untuk menjadikan Nina Gusmita berprestasi, bahkan memecahkan rekor nasional di ajang Paralimpik Nasional (Peparnas) XVI Papua.

 

 

 

MANIS, muda, dan berprestasi. Tiga padanan kata tersebut kiranya sangatlah pantas untuk disematkan kepada gadis asal Medan, Sumatera Utara, Nina Gusmita (23). Nina merupakan atlet paralimpik yang berhasil mendulang tiga medali emas di ajang Paralimpik Nasional (Peparnas) XVI Papua cabang olahraga (Cabor) Atletik dengan klasifikasi (T54) kursi roda.

Peparnas XVI Papua merupakan panggung perdana bagi Nina, dan juga tambang emas baginya. Gadis manis kelahiran Medan 8 Agustus 1998 itu berhasil mendulang emas di tiga nomor pertandingan sekaligus memecahkan rekor nasional.

Ketiga nomor pertandingan yang membuahkan medali emas untuk Nina adalah, nomor 100 meter putri (T54) dengan waktu 18,52 detik. Catatan waktu ini memecahkan rekor nasional (rekornas) atas nama Dina Rulina pada Peparnas 2016 dengan waktu 21,92 detik.

Kemudian, nomor 200 meter putri (T54) dengan catatan waktu 33,44 detik. Catatan waktu Nina memperbaiki rekornas 36,69 detik atas nama Mulyani pada Peparnas 2016 di Jawa Barat.

Terakhir adalah nomor 400 meter putri (T54). Pada nomor ini Nina berhasil membukukan rekornas baru dengan catatan waktu 1:07,49 menit.

Bagi Nina, berprestasi di usia muda bukan hal yang mustahil untuk diwujudkan. Namun, perjalanan menuju keberhasilan untuk mendapatkan prestasi tidaklah selalu berjalan mulus.

Pada saat usia 18 tahun, mahasiswi di Sekolah Tinggi Olahraga dan Kesehatan (STOK) Bina Guna Medan ini mengalami musibah, kecelakaan motor.

“Dulu aku atlet normal, aku atlet junior pelatda olahraga voli. Karena kecelakaan saat mengendarai motor akhirnya jadi penyandang disabilitas. Dulu kecelakaannya sehabis pulang dari latihan voli,” kata Nina kepada InfoPublik di Lukas Enembe Stadium, Sabtu (13/11/2021).

Tidak ada musibah yang manis, semuanya pahit dan membuahkan perasan hampa yang cukup mendalam. Dari sinilah banyak hal yang bisa dipetik.

Nina menuturkan, awalnya pada saat setelah kecelakaan dirinya berpikir tidak dapat melanjutkan keinginannya untuk terus bermain voli. Keinginannya itu seakan-akan hancur bersama dengan musibah yang dialaminya kala itu.

“Saat jatuh, aku mikir, udahlah gak bisa main voli lagi. Sempat berpikir seperti itu karena aku lihat kaki sudah hancur dan sudah tidak bisa latihan lagi. Akhirnya ketika dibawa ke rumah sakit, kaki aku harus diamputasi,” ujarnya,

Beberapa hari setelah diamputasi, saat itu masih di rumah sakit, datanglah atlet senior voli yang bekerja dibagian penyandang disabilitas.

“Senior itu ngajak aku, ayo ikut National Paralympic Committee Indonesia (NPCI), nanti bisa olahraga lagi, bisa berprestasi lagi. Walaupun sudah kekurangan, tapi nanti tetap bisa nerprestasi. Ya, akhirnya aku ikut NPCI,” kata Nina yang pernah mengenyam pendidikan di SMA Negeri 13 Medan.

Lulusan SD Angkasa 1 Medan dan SMP Negeri 28 Medan ini mengambil nilai positif dari sebuah musibah dan membuang segalahal negatifnya agar tidak merasa terbebani saat mewujudkan kesuksesan.

Menurut Nina, saat pertama kali masuk NPCI, dirinya diperkenalkan olahraga di nomor lempar, jadilah atlet Lempar. Kemudian dirinya menerima kabar kalau pelatnas voli duduk sedang mencari atlet.

“Karena aku mantan pemain voli, jadinya aku ditawarin. Kemudian aku mencoba voli duduk, dan ternyata asik, nggak terlalu berbeda sama voli berdiri. Sama sih, have fun gitu, karena dasarnya sudah voli jadi tinggal poles- poles sedikit,” tutur Nina.

Pada 2019, Nina mendapat panggilan masuk ke Pelatnas untuk menjadi atlet voli duduk. Pelatnas tersebut adalah untuk mengikuti ajang paralimpik internasional yakni ASEAN Para Games di Filipina.

Namun, setelah beberapa hari masuk pelatnas voli duduk, ternyata dikabarkan bahwa kalau negara yang berminat mengikuti voli duduk itu tidak banyak. Sehingga cabor voli duduk tidak jadi dipertandingkan. Nina pun batal diberangkatkan ke Filipina.

“Akhirnya aku ditawari sama NPCI, bahwa kalau ingin tetap di pelatnas maka harus pindah ke atletik yakni wheel chair (kursi roda). Akhirnya coba pindah cabor dan masuk di wheel chair. Ternyata progresnya bagus, dan akhirnya pindah cabor di kursi roda,” jelasnya.

Nina mengakui, setelah menjadi atlet kursi roda dirinya merasa sudah berada di cabang olahraga yang sesuai. Hingga saat ini Nina terus berlatih dari Senin hingga Sabtu, baik pagi hari maupun sore hari. “Sabtu sore dan Minggu free,” tambahnya.

Nina mengatakan, saat ini pemerintah sudah banyak mendukung atlet penyandang disabilitas maupun teman-teman penyandang disabilitas sehingga tidak ada halangan lagi untuk berkarya bagi penyandang disabilitas. Baik itu berkarya buat Indonesia, buat keluarga, maupun buat orang tua.

“Jadi tidak perlu malu lagi, meskipun kekurangan kita masih bisa membanggakan orang lain ataupun diri sendiri, masih bisa berprestasi,” tegas Nina.

Nina pun menghimbau bagi para orang tua yang memiliki anak penyandang disabilitas, jangan pernah menyembunyikan anak yang berkebutuhan khusus.

“Karena anak-anak yang menyandang disabilitas nggak sendiri, banyak juga anak-anak penyandang disabilitas yang lain. Jadi nggak usah malu jika menjadi penyandang disabilitas, karena memang sudah Jalan Tuhan. Tuhan kasih kita seperti itu berarti kita punya kelebihan,” pungkas Nina.

sumber: sisibaik.id