Kegigihan para petani perempuan di kaki Gunung Masurai, Jambi, berbuah manis. Upaya pemanfaatan kembali lahan terlantar dengan pertanian oraganik ini menjadi bagian dari upaya penyelamatan Taman Nasional Kerinci Seblat. Konservasi berbasis tata guna lahan sejak 2018, mulai dibangun Mitra Aksi sebagai upaya mengurangi laju deforestasi dan degradasi Taman Nasional Kerinci Seblat.
HARI itu hujan rintik-rintik. Rina, bersama empat petani perempuan lain yang tergabung dalam Kelompok Wanita Tani Family Kreatif Mandiri (KWT-FKM) tampak sibuk membersihkan lahan pertanian organik mereka. Bertutup caping, perempuan-perempuan hebat ini membersihkan rumput liar di sekitar tanaman cabai yang baru dua bulan ditanam.
Rina adalah satu dari 120 petani perempuan di enam desa di Kecamatan Jangkat– Desa Muara Madras, Renah Alai, Renah Pelaan, Pulau Tengah, Koto Renah dan Koto Rawang—yang tergabung dalam kelompok tani ini. Mereka bertani di Kaki Gunung Masurai, Merangin, Jambi.
Tepat di sebelah timur lahan pertanian ada saung yang mereka bangun. Mereka berkumpul membuat pembasmi hama organik. Ada lima biji bintaro, bawang putih, tembakau, gula dan air. Mereka menimbang semua bahan. Perlu satu kilogram tembakau, lima siung bawang putih, seperempat kilogram gula dicampur 10 liter air. Bahan-bahan ini direbus hingga mendidih dan dinginkan. Setelah itu, mereka kemas dalam botol-botol plastik bekas untuk bisa disemprotkan ke tanaman.
KWT-FKM, merupakan kelompok tani perempuan yang berupaya bertani organik di lahan kritis. Mereka terbilang sukses. Sejak Februari 2019, para perempuan ini sudah mencoba menanam aneka sayuran dan daun bawang di lahan demplot seluas 300 meter persegi. Panen perdana mereka pada 2019 menghasilkan Rp5.560.000.
Kesuksesan KWT-FKM menginspirasi delapan kelompok lain seperti Kelompok Cahaya Madras I,II,III,OH dan V, KWT Pelita Hati I dan II, dan KWT Albarokah untuk melakukan hal sama.
Esy Anggraini, Ketua KWT-FKM bersyukur upaya dan kegigihan mereka jadi contoh bagi petani perempuan lain.
“Awalnya , kami memang tertarik, karena selama ini para perempuan hanya mmembantu suami di ladang kopi dan kulit manis. Bertanam sayur dengan cara organik adalah hal baru bagi kami” katanya seperti dilansir Mongabay.
Kebutuhan sayuran biasa mereka beli di Jangkat. Pedagang keliling pakai kendaraan bermotor membawa makanan dan sayuran sehari-hari. Mereka enggan bertanam sayur karena sulit. “Butuh pengeluaran pupuk dan perawatan besar. Kami juga tidak begitu paham bagaimana budidaya yang benarnya,” kata Esy.
Keahlian ini tidak mereka dapat dengan mudah. Selain bertanam sayur organik, mereka senang bisa memanfaatkan lahan terlantar yang sudah ditinggalkan petani. “Ini luar biasa, dulu lahan ini bekas ladang kami secara berkelompok. Karena tidak bisa ditanam lagi kami tinggalkan. Sekarang bisa ditanami dan menghasilkan,”kata Rina.
Di atas tungku terlihat semua bahan tercampur air itu mulai mendidih. Tercium aroma unik, perpaduan tembakau dan bawang putih menguap ke udara. Para petani perempuan duduk berkumpul di atas saung. Masing-masing satu kelompok memiliki satu saung. Mereka bercengkerama dengan akrab satu dan lain.
Terdengar tawa riuh. Rina menuju tungku. Mengeluarkan satu per satu kayu yang terbakar, hingga api pun padam. “Didiamkan dan dinginkan dulu, nanti baru masuk ke botol,” katanya.
Rina bercerita, setiap minggu mereka mendapatkan pelajaran dari sekolah lapang yang diadakan lembaga pendamping, Mitra Aksi. Sekolah ini media bertanya petani di lapangan dengan satu orang pendamping.
Jhony Lovta, pendamping Mitra Aksi mengatakan, belajar di sekolah lapang tidaklah sulit. Masing-masing petani bisa bertanya kendala mereka di lapangan saat sekolah lapang. “Kendala hanya kadang jadwal bentrok dengan agenda anggota kelompok. Ada yang tidak bisa datang, jadi temannya yang lain juga tidak datang,”katanya.
Dengan aktif kegiatan kelompok ini, Rina merasa punya kegiatan lain yang bermanfaat. “Dulu, setelah bantu suami di ladang, di rumah saja. Sesekali ada ngumpul acara kenduri atau yasinan. Sekarang, lebih bisa silaturahmi juga di lokasi,” katanya.
Jhony menyatakan, mengubah pola pikir petani agar mau hijrah dari kimia menjadi organik perlu kesabaran dan keuletan. “Kita pilih ujung tombaknya kegiatan iniadalah perempuan karena mereka lebih sabar dan tekun. Ini tidak instan, karena harus terus ada dukungan dan semangat.”
Ada 120 petani perempuan tergabung dalam kegiatan memulihkan satu hektar lahan terlantar dengan pertanian organik. Kegiatan ini sudah berjalan dua tahun. Menurut Jhony, metode bertani organik ini mampu menekan biaya hingga Rp5,7 juta setiap hektar untuk membeli pupuk, pepsitida, herbisida, dan fungisida kalau bertani tak organik.
“Biaya per hektar Rp9,5 jt, 60% adalah biaya pupuk, pestisida,herbisida dan fungisida ini untuk pertanian konvensional. Pertanian organik kita tidak lagi membeli pupuk, pestisida dan fungisida, hanya biaya tenaga kerja dan alat kerja,” katanya.
Selain hemat biaya operasional, bertani organik juga mampu mendapatkan hasil berlipat daripada pertanian pupuk kimia.
Menurut Esy, kalau dulu panen cabai mereka maksimal hanya sembilan kali satu musim tanam. Dengan pola bertani organik bisa 15 kali panen sekali musim tanam.
Bertani organik, katanya, memerlukan pestisida alami 50 liter untuk satu hektar luasan tanam. Jhony bilang, untuk pupuk cair perlu 50 liter per hektar. “Pupuk cair dari cucian beras 10 liter, urine ternak 25 liter, batang pisang dua meter, hijauan 20 kg, bekatul 5 kg dan gula satu kg, MOL 0,5 liter.Semua bisa menghasil 100 liter pupuk cair.”
***
Umama, petani perempuan berusia 56 tahun ini anggota KWT-Al Barokah. Dia tampak menyemrotkan pupuk ke beberapa batang cabai yang mereka tanam. Dia senang sekali bisa menanam di lahan terlantar dekat dengan desa. Dia pun kembali bertani.
“Kalau jauh-jauh berladang ke atas (hutan penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat-red) saya tidak kuat lagi. Dulu ini lahan ditinggalkan sekarang sudah bisa ditanami lagi,”katanya.
Selama ini, petani berpikir hutan adalah tempat subur untuk membuka lahan pertanian dan perkebunan baru. Penggunaan pupuk kimia dan bahan kimia lain untuk membasmi hama juga membuat tanah jadi kehilangan unsur hara. Para petani pun memilih meninggalkannya.
Upaya pemanfaatan kembali lahan terlantar dengan pertanian oraganik juga bagian dari upaya penyelamatan Taman Nasional Kerinci Seblat. Konservasi berbasis tata guna lahan sejak 2018, sudah mulai dibangun Mitra Aksi. Ia sebagai upaya mengurangi laju deforestasi dan degradasi Taman Nasional Kerinci Seblat.
Hambali, Dewan Pengurus Mitra Aksi mengatakan, mereka juga membangun sistem informasi desa. Ia jadi dasar untuk penataan ulang ruang kehidupan bagi masyarakat jangka panjang.
“Ini akan jadi dasar penataan ulang ruang kehidupan mereka, kami menyebutnya ruang kehidupan untuk jangka waktu 10 hingga 20 tahun ke depan, misal, lahan untuk pertanian, pemukiman, dan fasilitas umum. Hingga kebijakan pembangunan desa berbasis data dan ruang,” katanya.
Tak hanya keruangan, data sistem informasi desa juga mampu menganalisa tingkat kesuburan tanah dan permasalahan beberapa lahan terlantar yang ditinggalkan petani.
“Selama ini, petani membuka hutan untuk lahan perkebunan karena lahan pertanian dan perkebunan mereka sebelumnya tidak subur. Hutan identik dengan lahan subur. Jadi kita membantu mereka mengatasi lahan kritis dengan penyuburan kembali.”
Dari enam desa, sudah teridentifikasi masih tersisa 1.213 hektar lahan kritis . Selama satu tahun ini, sudah ada 2.193, 12 hektar mendapat surat keputusan untuk pertanian organik.
Upaya penyelamatan TNKS ini mendapatkan dukungan dari TFCA Sumatera sejak 2011. Tahun ini ada tiga mitra fokus pada lanskape ini, yakni Mitra Aksi, KKI Warsi, dan Konsosrium Sinergitas Hijau.
TNKS dan kawasan penyangganya di Kabupaten Merangin seluas 121.046 hektar, 35% atau 42,326 hektar di dataran tinggi Jangkat. Ia merupakan ekosistem penting sebagai sumber air di hulu dan tempat hidup berbagai jenis flora dan fauna. Miris, dalam 20 tahun terakhir, daerah penyangga ini terus mengalami tekanan perambahan dan alih fungsi hutan untuk jadi lahan pertanian dan perkebunan.
Sumber: sisibaik.id