Persahabatan Sejati Suku Moi Kelim dengan Bumi
Hutan belantara menjadi sahabat sejati bagi warga Suku Moi Kelim yang berada di Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat. Persahabatan sejati, membuat mereka terikat satu dengan yang lain, dan saling jaga di antara mereka.
Desa Malaumkarta yang berada di Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat, adalah rumah bagi Suku Moi Kelim. Di belakang kampung itu ada gunung berselimut hutan nan lebat, berkah bagi kehidupan mereka secara turun-temurun. Sedangkan bila menghadap ke depan, akan terlihat hamparan Samudera Pasifik dengan airnya yang membiru.
Adalah Meli Kalami, perempuan paruh baya, yang menghabiskan hidupnya di Malumkarta. Keluarganya dan semua warga desa yang menjadi bagian dari Suku Moi Kelim, tak pernah kekurangan pangan dan air bersih, serta kehidupan yang tenang di sana.
Sagu yang menjadi makanan pokok warga biasa diambil di hutan. Masyarakat Adat Moi Kelim di Malaumkarta tidak hanya memiliki sagu untuk pangan pokok mereka. Masih ada kasbi, pisang, talas yang menjadi pilihan sumber karbohidrat.
Saat musim buah tiba, sumber vitamin berlimpah dari langsat, cempedak, durian, duku dapat mereka peroleh dengan mudah, hanya tinggal berjalan masuk ke hutan. Sayur-mayur pun mereka tanam, dari bunga dan daun pepaya, kangkung, daun gedi diolah menjadi masakan bergizi melengkapi papeda.
Sebagai pememenuh kebutuhan protein, ada ulat sagu atau jamur yang tumbuh di antara ampas tumbukan sagu yang bisa diolah. Masuk lebih jauh ke dalam hutan untuk berburu, ada babi dan rusa sebagai tambahan protein.
Mama Meli mengatakan, selama hutan terjaga, mereka tidak perlu resah. Tidak ada kekhawatiran akan kelaparan di kampungnya.
Jika menginginkan sumber protein dari ikan, mereka bisa berjalan ke pesisir untuk mendapatkan ikan yang berlimpah dengan alat dan cara tangkap tradisional. Mereka hanya perlu berhati-hati dengan tidak melanggar Egek (kearifan lokal untuk konservasi di terestrial dan perairan Suku Moi Kelim) yang sudah mereka sepakati secara adat.
Lobster, loka, teripang, udang bambu, kerang batik, udang pasir ada di perairan Malaumkarta. Bahkan ada spesies penyu bertelur di pantai Malaumkarta dan Pulau Um yang masih menjadi bagian dari wilayah desa tersebut, dugong pun nyaman dengan lamun yang tumbuh di pesisir sana.
Egek melestarikan keberagaman spesies di perairan Malaumkarta. Pelanggar Egek berhadapan dengan sanksi hingga ratusan juta rupiah yang diputuskan melalui musyawarah adat di sana.
Egek laksana Sasi yang akrab di masyarakat timur Indonesia. Suku Moi Kelim di Malaumkarta sepakat tidak mengambil loka kecil dengan ukuran di bawah 20 sentimeter. Mereka juga tidak menangkap lobster dan teripang selama setahun penuh.
Hasilnya, melimpah. Terakhir (2018), kata Ketua Bamus Malaumkarta Eferadus Kalami, saat Egek dibuka, mereka dapat mengumpulkan hingga Rp200 juta dan semua hasilnya dipergunakan untuk gereja.
Saat mereka sakit, hutan adalah gudang apotek hidup bagi mereka. Malaria takut dengan tanaman tali kuning yang tumbuh di hutan. Saat sekujur tubuh terasa pegal mereka akan mengambil daun gatal untuk diusapkan di kulit dan tak menunggu waktu lama, ras apegal pun sirna.
Masih banyak tumbuhan lain yang tetap mereka gunakan untuk sekedar menjaga kesehatan maupun menyembuhkan sakit. Semua ilmu pengobatan tradisional itu tersimpan rapi dalam kearifan lokal Masyarakat Adat Moi Kelim dan belum tercantum dalam ilmu etnobotani manapun.
Kepala Kampung Malaumkarta Jefri Mobalen mengatakan bahwa pamali ada dalam Masyarakat Adat Moi Kelim. Hutan keramat mereka tertutup untuk aktivitas apapun. Itulah yang menyebabkan kayu merbau dengan diameter batang dengan ukuran sedepa orang dewasa banyak tumbuh di sana. Demikian dilansir dari antaranews.com
Warga Malaumkarta juga pantang memotong pohon untuk diperjualbelikan kayunya. Itu di atur melalui musyawarah kampung. Inilah membuat hutan mereka lebat dan hijau dengan sumber air yang terjaga.
Aliran dari sumber air inilah yang kemudian dimanfaatkan sebagai penggerak pembangkit listrik mikrohidro untuk menerangi rumah-rumah warga. Berbekal dana desa dari dua kampung bertetangga, Malaumkarta dan Suartolo, mereka patungan membeli peralatan tersebut seharga Rp 1,2 milyar yang mampu mengalirkan listrik berkpasitas 50kVA, cukup untuk menerangi rumah-rumah warga di dua desa.
Mereka hanya perlu membayar iuran Rp10.000 per bulan sebagai dana perawatan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMh). Walhasil, mereka tak perlu lagi menunggu Perusahaan Listrik Negara (PLN) hadir.
Setiap ada tamu yang akan mengunjungi kampung mereka, Ketua RT 1 Kampung Suartolo segera meniup ‘un’, sebuah benda mirip terompet yang dibuat dari cangkang triton, pertanda tamu telah datang ke kampung mereka. Suara ‘un’ berarti komando agar warga segera untuk berkumpul. Mereka akan mendengarkan berbagai kabar hingga program pembangunan yang disampaikan, namun jika itu berarti harus merusak hutan dan laut mereka akan tolak mentah-mentah.
Begitulah hubungan mesra masyarakat adat Suku Moi Kelim sengan alam yang ada di sekitarnya. Kecintaan pada hutan dan laut terbayarkan dengan hadiah dari bumi yang selalu mencukupi kebutuhan mereka. #