Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif (Foto: muhammadiyah.or.id)

‘‘Dalam situasi krisis dan kritis kewarasan yang mengancam bangsa ini, patut bagi kita untuk terus menyalakan lilin kewarasan. Indonesia harus tetap bertahan satu hari sebelum kiamat,’’ Buya Syafii.

TOKOH INSPIRATIF – Wejangan itu didengungkan oleh Prof DR. H. Ahmad Syafii Maarif, yang menjadi oase penyejuk, penuh makna, dan mendalam, bagi semua orang yang bisa meresapinya dengan pikiran terbuka. Kontribusi pemikiran tokoh Muhammadiyah ini memberikan corak serta nuansa berbeda dalam arus utama diskursus keislaman dan praktik demokratisasi di Indonesia.

Bagi sebagian kalangan, Buya Syafii dikenal sebagai cendikiawan muslim yang senantiasa kritis. Kiprahnya dalam memperjuangkan visi keislaman yang pluralis, inklusif, dan toleran membuat seorang antropolog kelahiran Belanda Martin Van Bruinessen menyebutnya  sebagai ‘‘Indonesian’s last remaining public wise old man’’.

Problem Kontemporer

Di tengah hiruk-pikuk kegetiran akan bahaya paham radikalisme dan terorisme yang memiliki muatan tuna moral dan tuna adab, Buya Syafii memberikan sinyal lain yang lebih genting dalam tulisannya di Kompas berjudul: Lumpuhnya Pancasila (31/5/2021).

Dalam narasinya ia membeberkan bahwa dalam pencaturan politik, Pancasila hanyalah dijadikan etalase. Nilai-nilai subtansial nan luhur yang terkandung di dalamnya ditelanjangi serta dikhianati dalam pikiran dan tindakan. Tentu hal ini merupakan satu kenyataan yang berbanding terbalik dengan apa yang diharapakan oleh founding father bangsa ini.

Nasib Pancasila dalam rumusan 18 Agustus 1945 samar-samar dibiarkan redup begitu saja sebagai epigon atas suatu peristiwa. Pada momentumnya, iklim demokrasi dan konstestasi politik di Indonesia modern yang seyogianya mempertaruhkan narasi akan ide-ide perubahan, telah terjerembab dalam kubangan pragmatisme jangka pendek.

Jika membuka laci sejarah, Pilpres 2019 cukup menjadi bukti bahwa masyarakat Indonesia masih amat kaku serta berpandangan sempit. Sikap ketidaklapangan dada dalam menerima pandangan dan pilihan yang berbeda menimbulkan sulut amarah dan emosi yang berpangkal pada arus kebencian yang sarat konfrontasi fisik.

Rentetan kasus-kasus kekerasan, diskrimasi, intoleransi, perkusi yang mengatas namakan agama dan identitas tertentu mengancam iklim demokrasi yang cinta damai. Di bagian lain, pondasi toleransi dan hubungan antar umat yang telah dibangun sejak lama, boleh jadi goyah dan porak-poranda akibat kesalahpahaman dan miskin pandangan.

Mengoreksi Pemikiran, Memahami Islam dan Demokrasi

Antitesa pemikiran Buya Syafii dalam memandang Islam dan demokrasi difokuskan pada upaya mengimplementasikan gagasan-gagasan etik yang terkandung dalam Al-Qur’an untuk memecahkan masalah moral dan masalah pelik kemanusian. Sebagaiamana Buya mengatakan bahwasanya Islam menghimpun prinsip kasih sayang (mahabbah), yang menghargai perbedaan, mendambakan perdamaian, ‘‘aslama-yuslimu-islaman’’ yang bermakna mendamaikan dan menyelamatkan.

Umat Islam sebagai mayoritas, namum miskin secara kualitas terpampang jelas.

Bukan tanpa alasan, wajah Islam masih diekspresikan pada taraf sekadar ritualitas dan formalistis semata dan belum diarahkan pada upaya memahami nilai-nilai kemanusiaan dan subtansi rahmatan lilalamin. Hal ini disadari betul oleh Buya Syafii. Kompatibilitas Al-Qur’an dan mentalitas umatnya harus dikontestualisasikan dengan perkembangan dunia modern. Jika tidak,umat muslim gagal hidup di zaman modern.

Konsensus Islam, demokrasi dan keindonesiaan harus digaungkan dalam satu nafas. Hubungan ketiganya harus ditempatkan dalam hubungan yang harmonis, demi semangat Islam yang terbuka, toleran, dan ramah.

Selama ini disadari betul oleh Buya Syafii bahwasanya ketiga wacana itu masih berjalan sendiri-sendiri. Konsekuensinya, tentu akan terjerumus kedalam pilihan kaku, sempit, dan statis. Sementara jika Pancasila terus dibunuh di era ini, maka bangsa ini bisa jatuh pada impian masa lampau menjadi negara Islam yang fakir metodologi dan tidak relevan dalam konteks bangsa Indonesia.

Al-Qur’an harus dijadikan sebagai moral source (sumber moral) yang menghimpun prinsip al-Qur’an dan ide-ide modernisasi. Masih ada anggapan Islam dan demokrasi yang seringkali disalahpahami dengan embel-embel demokrasi dari Barat yang secara otomatis bertentangan dengan Islam.

Padahal sedari awal ajaran Islam tidak alergi demokrasi, sebagaimana dalam Al-qur’an yang juga menghendaki terciptanya masyarakat yang egaliter dengan menjalankan mekanisme syura (mutual consultation). Term syura oleh Buya Syafii berasal dari Al-Qur’an yang disebutnya dekat dengan praktik demokrasi di abad modern ini.

Demokrasi menjunjung tinggi kesetaraan dan menghapus penindasan manusia, hal ini sejalan dengan ajaran yang bersumber dari konsep tauhid. Puncak dari kemanusiaan adalah terciptanya keadaban yang meniscayakan keadaan memuliakan manusia sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur’an. Poros kemanusiaan terintegrasi lahirnya manusia secara penuh yang terjamin hak hak hasasi manusianya.

Realitas bangsa Indonesia hari ini sebagai bangsa yang mayoritas muslim, yang dalam kesempatan lain berarti bangsa yang heterogen, multikultural dan multi religious mesti ditempatkan secara proporsional dengan berlandaskan falsafah Pancasila yang menghendaki lahirnya iklim demokrasi yang bersih dan damai sebagaimana ungkapan klasik dari Bung Hatta, ‘‘lenyap demokrasi lenyap juga Indonesia merdeka’’.***

Editor: Sukowati Utami

Penulis: Arfan Palippui, Peserta Green Leadership Batch 2