Penjaga Tradisi Kain Tenun Sumba
Semangatnya untuk melestarikan budaya tak pernah padam. Bersama sanggar Paluanda Lama Hamu (Bergandeng Tangan Menuju Arah yang Baik) yang diusungnya, Petronela Pihu terus memotivasi, menggerakkan para pengrajin tenun Sumba di desanya untuk melestarikan dan mempertahankan pembuatan tenun dengan metode pewarnaan alami.
Sumba merupakan salah satu destinasi wisata yang kerap dikunjungi, baik oleh wisatawan domestik maupun mancanegara. Keindahan alam sabana yang ditawarkan oleh pulau yang ada di Nusa Tenggara Timur ini memang memikat.
Tak hanya keindahan alam yang dapat kita nikmati, Sumba juga kaya akan warisan budaya. Salah satu yang paling terkenal adalah kain tenun sumba.
Petronela Pihu, salah satu seniman tenun Sumba, mengatakan, kain tenun sumba lahir dari kekayaan alam Sumba. Untuk pembuatan selembar kain bisa makan waktu enam bulan hingga tiga tahun!
“Karena selain menenun dan membuat motif, ada sebuah tahapan dimana kain harus diangin-anginkan selama sebulan sebelum dicelup dalam minyak kemiri,” katanya saat berbincang dengan tokohinspiratif.id beberapa waktu lalu.
Tahapan lain dalam pembuatan kain Sumba yang juga menguji kesabaran adalah menyimpannya dalam keranjang tertutup untuk mematangkan warnanya. Dalam tahap ini kain itu dibiarkan tidur, seperti kita menidurkan anak. Dalam proses ini penenun membiarkan alam ikut campur agar kain menjadi lebih indah.
Untuk membentuk motifnya, benang-benang tenun Sumba ini diikat menggunakan daun gewang, yakni semacam daun palem, agar warna pada motif berbeda dengan warna dasar.
Sedangkan untuk pewarnaan, penenun kebanyakan memakai akar mengkudu untuk mendapatkan warna merah, biru dari nila, cokelat dari lumpur, dan kuning dari kayu.
Nela, demikian Petronela biasa disapa, mengatakan, pengerjaan kain Sumba kebanyakan dilakukan oleh gadis dan ibu-ibu. Pengerjaannya juga harus dilakukan dengan sabar dan penuh cinta, sehingga helai demi helai benang itu diberi ruh dan menjadi kain tenun indah. Hasil penjualannya kemudian dipakai untuk menghidupi keluarga.
Proses pembuatan yang unik dan memakan cukup lama inilah yang membuat tenun Sumba menjadi istimewa. Tak heran bila kain tenun Sumba bisa dibanderol dengan harga yang cukup fantastis. Mulai dari ratusan ribu hingga puluhan juta untuk tiap lembar kain.
Dalam situs www.gerainusantara.com, sebuah gerai berbasis daring yang merupakan inisiatif usaha ekonomi yang di bangun oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), selembar kain Sumba Kawuru Mahang dibanderol Rp9.000.000,-.
Tenun tangan buatan Petronela Pihu pada 2016 itu didominasi warna biru yang merupakan fermentasi daun tarum (Indigofera sp.).
Dalam keterangan produk pada website tersebut, pembuatan kain tenun sumba Kawuru Mahang menggunakan teknik ikat lungsi. Selembar kain tenun dikerjakan oleh 5-7 orang, dimana masing-masing orang memiliki peran yang berbeda. Terdapat 42 langkah dalam pembuatan selembar kain tenun sumba jenis ini. Mulai mewarnai benang hingga merapihkan ujung kain tenun.
Untuk diketahui, Nela merupakan salah satu pewaris ilmu pewarnaan alami tenun Sumba. Perempuan 39 tahun ini menjelaskan, setiap motif yang terdapat pada kain tenun Sumba juga memiliki maknanya masing-masing. Nela mencontohkan motif kuda pada kain tenun Sumba yang melambangkan kepahlawanan, keagungan dan kebangsawanan.
“Karena kuda merupakan simbol harga diri bagi masyarakat Sumba. Posisi kuda dianggap hampir sejajar dengan arwah nenek moyang,” kata ibu dari dua anak ini.
Sedangkan motif buaya atau naga yang mencerminkan kekuatan dan kekuasaan raja. Motif ayam menggambarkan tentang kehidupan wanita. Sedangkan motif burung yang biasanya menggunakan burung kakak tua melambangkan persatuan. Beberapa motif kuno bahkan juga menggunakan mahang atau singa, rusa, udang, kura-kura, dan hewan lain dengan corak yang khas.
Keistimewaan kain tenun Sumba tidak berhenti sampai di situ. Kain tersebut tidak hanya digunakan untuk keperluan sehari-hari, tetapi berperan penting dalam penyambutan kelahiran, perayaan pernikahan, hingga pengantar orang yang sudah meninggal.
Bagi orang yang sudah meninggal, mereka akan dibaluti dengan kain bermotif udang. Udang dimaknai sebagai kebangkitan setelah kematian dan kehidupan abadi setelah dari dunia fana.
Warga Sumba, khususnya Sumba Timur, jenazah biasanya akan disimpan sampai beberapa bulan dan tak boleh diintip sesuai kepercayaan Marapu. Keberadaan kain tenun Sumba yang terbuat dari bahan organik ini konon mampu menjadi pengawet alami bagi jenazah tersebut, sehingga tidak akan mudah membusuk.
Pendek kata, setiap helai benang pada kain tenun ini memiliki makna mendalam bagi masyarakat Sumba. Kain-kain ini semua diisi dengan doa-doa yang dipanjatkan oleh pembuatnya. Doa disematkan untuk masing-masing peristiwa penting di dalam kehidupan orang yang kelak memakai kainnya itu.
“Memang jika dilihat benang tak berarti, namun jika dipintal dengan seni yang tinggi akan menghasilkan tenun yang begitu indah. Tapi sehelai benang tersebut mempunyai arti besar dalam kehidupan kami,” ujar Nela yang tercatat menjadi anggota organisasi AMAN sejak tahun 2003.
Selain menjadi kebutuhan sandang, tenun sumba memegang peranan penting dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Sumba Timur. Kain tenun ini berfungsi sebagai sarana tukar menukar baik dalam upacara perkawinan, penguburan, atau sebagai tanda penghargaan atau cinderamata.
Lebih dari itu, kain tenun sumba juga memberikan kesempatan kepada warga Sumba untuk menyekolahkan anak-anak dan memberi penghidupan bagi keluarga. Proses pengerjaan yang lama serta penuh kesabaran ini membuat nilai dari sehelai kain tenun Sumba tidak hanya dilihat dari nominalnya, tetapi dari makna setiap untaiannya pula.
***
Petronela Pihu lahir di Praikundu, Sumba Timur, 19 Mei 1980. Bungsu dari lima bersaudara ini dilahirkan oleh Agustina Kahi Atanau, sosok perempuan tangguh yang mengusung idealisme tinggi dalam memperjuangkan tradisi tenun ikat Sumba.
Sang mama, yang oleh warga setempat karib disapa Mama Dan, adalah salah satu tokoh wanita pelestari tenun ikat Sumba dengan pewarna alami di Desa Lambanapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Di usianya yang sudah menginjak 64 tahun, Mama Dan terus aktif menenun.
Meski sempat mengalami katarak, namun semangatnya untuk melestarikan budaya tak pernah padam. Dia terus memotivasi, menggerakkan, dan melestarikan orang di desanya untuk mempertahankan pembuatan tenun dengan metode pewarnaan alami. Tak terkecuali kepada lima anaknya.
Mama Dan mewajibkan semua anak-anaknya untuk belajar menenun, bahkan ketika usia mereka masih belia. “Sejak kecil kami diajari menenun. Jadi setiap hari, ibu mengajarkan kami terus untuk membuat kain dan meramu warna-warna alami,” ucap Nela.
Nela mengatakan, sang mama juga mendirikan sanggar Paluanda Lama Hamu yang dalam bahasa Indonesia berarti ” Bergandeng Tangan Menuju Arah yang Baik”, pada tahun 1999. Perkumpulan ini ditujukan sebagai wadah seniman tenun tradisional yang masih setia dan konsisten pada pewarna alami tenun ikat. Di perkumpulan ini, Nela dipercaya sebagai manajer pemasaran.
Kesungguhan Mama Dan melestarikan dan mengembangkan kearifan tradisional tentang proses pewarnaan alam dalam penciptaan kain tenun ikat, disertai pula dengan kesadaran tinggi untuk menjaga kelestarian pepohonan yang menjadi bahan pewarna alami. Karena itulah salah satu kegiatan dalam perkumpulan Paluanda Lama Hamu juga melakukan penanaman tetumbuhan yang digunakan sebagai pewarna alami seperti indigo, kunyit, mengkudu, dan sebagainya.
Nela mengklaim, kelompoknya merupakan yang paling konsisten memproduksi kain dari sumber pewarna alam dibanding kelompok tenun lainnya di daerah setempat.
“Banyak kelompok tenun yang tidak jujur padahal menggunakan pewarna campuran alam dan kimia sementara di kelompok kami tetap murni gunakan pewarna alam,” kata Nela yang pernah menghadiri pameran pariwisata Skandinavia, awal Januari 2015.
Pertonela mengatakan, untuk mendapatkan satu lembar kain dari pewarna alam paling cepat enam bulan dan sejauh ini hasil produksi sudah dipasarkan untuk kebutuhan lokal maupun ke luar daerah yang bekerja sama satu Galeri Tenun di Bogor, Jawa Barat.
Namun demikian, lanjutnya, dia mengakui perkembangan pemasaran hasil produksi tenun belum pesat sesuai yang diharapkan. Untuk itu pihaknya membutuhkan ruang-ruang untuk promosi salah satunya melalui event festival tenun ikat dan sejenisnya.
Nela berharap ke depan tenun ikat Sumba bisa lebih dikenal oleh masyarakat dan dilestarikan.
Harapan juga disematkan kepada pemerintah pusat dan daerah untuk bisa memberikan perhatian bagi ribuan penenun Sumba yang hingga kini tetap mempertahankan tradisi. Salah satunya adalah dalam hal pengurusan hak paten bagi karya-karya mereka.
“Kami khawatir, bila tidak segera dipatenkan, motif kami dijiplak oleh perajin lain. Karena saat ini dengan teknik batik print bisa memproduksi batik dengan cepat dan mudah,” pungkas Nela mengaku bersyukur karena selama ini banyak dibantu oleh organisasi AMAN dalam mempatenkan tenun karya mereka.
Riwayat Hidup
Biodata
Nama : Petronela Pihu
Tempat Tanggal Lahir : Praikundu, Sumba Timur, 19 Mei 1980
Pekerjaan : Pengrajin tenun ikat warna alam
Alamat : Jl. S. Parman, Kelurahan Lambanapu, Kecamatan Kambera, Waingapu, Sumba Timur, NTT
Surel : nellapihu19@gmail.com
Pendidikan
SDK Praikundu
SMPK Andaluri
SMU Andaluri, Waingapu
Kursus /pelatihan
Menjahit
Mengikuti pelatihan fasilitator di Bali dari Inspirit, 2003
Organisasi
Anggota Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)#