Prof. Dr. Sulistyowati Irianto
Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia
Tak Gentar Melawan Korupsi
Menyandang gelar profesor di bidang antropologi, tak menghalanginya untuk akif dalam
Gerakan Guru Besar Anti Korupsi. Baginya, korupsi bukan hanya sekedar pelanggaran hukum, lebih dari itu, korupsi juga merupakan pelanggaran terhadap hak asasi orang lain.
“Nduk, nek kowe bener, ojo wedi (Nak, kalau kamu benar, jangan takut. – Red).”
Petuah bijak itu datang dari almarhum Soewarno, ayahanda dari Prof. Dr. Sulistyowati Irianto, yang tak pernah lelah menanamkan nilai-nilai keluhuran budi kepada putra-putrinya sejak belia. Meski telah puluhan tahun berlalu, kalimat itu bagaikan energi yang selalu menyemangati sang putri yang kini telah menjadi Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia.
Menyandang gelar profesor di bidang antropologi, tak menghalangi Sulis untuk akif dalam
Gerakan Guru Besar Anti Korupsi. Baginya, korupsi adalah tindakan yang merusak orang lain, memiskinkan, dan tidak menunjukkan solidaritas sebagai sesama warga masyarakat dan warga bangsa. Korupsi bukan hanya sekedar pelanggaran hukum, lebih dari itu, korupsi juga merupakan pelanggaran terhadap hak asasi orang lain.
“Saya sebagai dosen merasa harus ikut bersuara, memberi contoh kepada mahasiswa generasi muda, untuk berani melawan korupsi. Kelak merekalah yang akan duduk sebagai pemimpin, dan mereka harus memimpin dengan mengedepankan nilai kejujuran, supaya bisa bersikap adil, terutama kepada kelompok yang membutuhkan atau rentan,” Prof Sulis saat menjawab pertanyaan redaksi tokohinpirasi.id melalui surat elektronik.
Sulis sadar, tidak semua orang, akademisi, professor, berani menyuarakan kejujuran khususnya tindakan melawan korupsi. Termasuk di dalamnya adalah korupsi untuk mendapatkan jabatan. Menurutnya, kalangan akademisi masih terkendala oleh perasaan ewuh pekewuh, karena pelaku yang dilawan, misalnya pernah jadi atasannya, dosennya, kawan sendiri, orang yang pernah berjasa terhadapnya, bahkan alasan karena se-almamater, dan sebagainya.
Namun setidaknya, dengan ikhtiar ini, Sulis meyakini akan terjadi perubahan masyarakat dan manusia Indonesia, terutama generasi muda, agar mencintai sesamanya, menghormati hak-hak orang lain dengan cara berpikir dan bertindak jujur sejak matahari terbit sampai matahari tenggelam.
Sulis juga berharap, adanya gerakan ini membuat para pejabat di pemerintahan, lembaga penegakan hukum, lembaga akademik, lebih berhati-hati dalam tindakannya dan memastikan good governance dalam lembaganya.
“Memang dibutuhkan keberanian bagi para akademisi, mahasiswa untuk bersuara melawan korupsi,” tegas Sulis yang beberapa kali harus menghadapi dinding tebal untuk melawan rasuah dari segala lini.
Cendekiawan Perempuan Berprestasi
Ketokohan Prof. Dr. Sulistyowati Irianto, sebagai guru besar Antropologi Universitas Indonesia (UI) sudah lama diakui. Tahun 2014, ia bersama sejumlah tokoh, yakni guru besar arsitektur dan perkotaan Fakultas Teknik Universitas Diponegoro-Semarang Prof Dr Eko Budiharjo, Mantan Ketua Umum PB HMI/Koordinator Gerakan Jalan Lurus Sulastomo Sulastomo, budayaan/rohaniwan Franz Magnis Suseno, dan sastrawan Radhar Panca Dahana, menerima penghargaan Cendekiawan Berprestasi tahun 2014 dari Harian Umum Kompas.
Dikutip dari harian Kompas, edisi Kamis 26 Juni 2014, cendekiawan yang biasa dipanggil Bu Sulis merupakan satu-satunya perempuan peraih penghargaan tersebut. Sulis juga adalah anggota Dewan Redaksi Jurnal Perempuan. Dia pun duduk sebagai Dewan Penasihat Pusat Kajian Wanita dan Gender (PKWG) UI.
Sulistyowati menyadari bahwa upaya meyakinkan kaum cerdik pandai akan pentingnya ilmu-ilmu multidispliner seperti meniti jalan terjal. Seperti juga perjuangan kemandirian universitas sebagai rumah ilmu pengetahuan yang terbuka terhadap perkembangan teori dan metodologi. Masalah kekinian harus dijawab dengan teori dan metodologi yang tidak dapat ditampung hanya dengan ilmu-ilmu monodisiplin.
Berbicara soal latar belakang pendidikan, sesungguhnya pendidikan S1 yang ditempuh perempuan enerjik ini adalah Sarjana Sosial juruan Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada. Lulus tahun 1985, Sulis memutuskan untuk “mengakhiri” hubungan dengan jurusan yang dia pelajari selama enam tahun, dan beralih ke bidang yang benar-benar baru. Uniknya, kisah keterlibatan Sulis dengan bidang keahliannya sekarang, Antropologi Hukum, berkaitan dengan hobi surat-menyurat ketika jaman muda puluhan tahun silam.
Dia mengaku memang gemar berkorespondensi sedari kecil. Dalam menjalani kegemarannya, Sulis hanya mengandalkan secarik kertas. Lalu, ditulis dan dikirim via pos. Melalui surat-menyurat, tidak hanya berkah mendapatkan suami yang diperoleh Sulis. Jalan karir pun dituainya karena kegemaran ini.
Awalnya adalah kenekatan Sulis mengirimkan surat kepada sejumlah tokoh yang ia kagumi. Beberapa di antara mereka adalah ahli Antropologi dari Universitas Indonesia (UI) Prof Koentjaraningrat dan Prof TO Ihromi, serta ahli Sosiologi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Pujiwati Sajogyo. Kepada mereka, selain menyatakan kekagumannya, Sulis juga mengutarakan niat ingin menjadi dosen.
Gayung bersambut, Prof Sajogyo sedang membutuhkan asisten. Peluang itu langsung disabet Sulis, meski tidak berlangsung lama.
Selepas dari IPB, Sulis mendapat tawaran mengajar di UI. Baginya, menggeluti bidang Antropologi adalah kesempatan mempelajari sesuatu yang tidak melulu normatif seperti jurusan yang ia pilih di UGM. Antropologi Hukum, menurut Sulis, adalah ilmu yang mempelajari bagaimana hukum itu bekerja dan berinteraksi dalam masyarakat.
Ternyata, jalan Sulis untuk menjadi dosen di UI ternyata tidak mudah, karena Prof Koentjaraningrat menyodorkan syarat. Sulis diperkenankan mengajar di UI asal dapat membuktikan dirinya bisa menjadi seorang Antropolog. Sekali lagi, Sulis tak gentar. Tantangan itu diterima dengan menjalani program pasca sarjana di negeri Belanda selama lima tahun.
“Bayangkan hanya untuk meraih gelar S2 saja harus belajar selama lima tahun, karena dua tahun awal saya harus belajar Bahasa Belanda terlebih dahulu,” ujarnya dinukil dari laman hukumonline.com.
Sulis diharuskan belajar Bahasa Belanda karena ketika itu Pemerintah Belanda hendak mengembalikan sejumlah dokumen sejarah Indonesia berupa manuskrip-manuskrip dalam Bahasa Belanda. Terlebih kala itu program pasca sarjana di Negeri Kincir Angin belum mengenal bahasa pengantar selain Bahasa Belanda.
Rampung menjalani program pasca sarjana, Sulis pulang kampung. Prof Ihromi memintanya untuk membantu proses persiapan pengadaan mata kuliah baru bernama Antropologi Hukum. UI dicanangkan sebagai perguruan tinggi pertama yang memperkenalkan mata kuliah ini.
Ringkas cerita, pengadaan mata kuliah Antropologi Hukum di UI berjalan sukses. Pada awalnya, selain di Fakultas Hukum, mata kuliah ini juga diperkenalkan di program pasca sarjana Antropologi. Dan setelah itu, merambah juga ke program S1 di FISIP. Uniknya, rencana mengadakan mata kuliah Antropologi Hukum sempat menuai perdebatan di kalangan sarjana hukum. Mereka yang tidak setuju menganggap Antropologi Hukum bukan bagian dari ilmu hukum.
Bagi Sulis, Antropologi Hukum sangat penting karena dapat berperan menyeimbangkan antara keadilan hukum dengan keadilan sosial. Selama ini, dua jenis keadilan ini seringkali berseberangan. Misalnya dalam kasus Bu Minah, seorang ibu tua yang didakwa melakukan pencurian beberapa biji kakao. Dari perspektif Antropologi Hukum, Bu Minah tidak semestinya dibawa ke meja hijau jika penegak hukum tidak semata mempertimbangkan keadilan hukum dan keadilan prosedural.
“Antropologi Hukum sangat bermanfaat bagi penegak hukum, agar mereka tidak berspektif ‘kaca mata kuda’ sehingga tidak terjadi lagi kasus-kasus Bu Minah di kemudian hari,” ujar Sulis yang juga mengajar di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian ini.
Merambah Dunia Aktivis
Sukses di jalur akademisi ternyata tidak cukup bagi seorang Sulis. Lama bergelut dengan teori-teori, Sulis pun tertarik untuk merambah dunia aktivis. Bergaul dengan kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Sulis mulai fokus pada isu-isu gender yang sebenarnya bukan barang baru baginya.
Keahlian Sulis mengenai isu-isu gender telah diakui banyak kalangan. Tak heran jika istri dari drh.Yohannes Irianto ini dipercaya menjadi Ketua Center for Women and Gender Studies UI sejak 2002 hingga 2010. Pernah menjabat sebagai ketua Program Pascasarjana Antropologi, FISIP UI (2009-2011), dan Ketua Program Pascasarjana Multidisiplin Universitas Indonesia (2013-2016). Selain itu, Sulis juga tercata sebagai Anggota Aktif Convention Watch Working Group, Center For Women and Gender Studies UI.
Saat ini Sulis aktif mengajar, meneliti, menulis untuk publikasi ilmiah, menjadi pakar “Antropologi Hukum”, “Socio-Legal Studies”, dan “Hukum dan Gender” di lembaga yang sama. Bulan Juli-Agustus 2018 ini, Sulis tengah melakukan kerjasama akademik dengan beberapa professor di Van Vollenhoven Institute, Leiden Law School, Belanda, untuk bisa diwujudkan kegiatannya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Akhir kata, Sulis berharap generasi muda sekarang harus bisa memanfaatkan jendela demografi. Tinggalkan cita-cita untuk jadi Pegawai Negeri Sipil, jadilah entrepreneur, pelopor, yang menghasilkan barang dan jasa di segala bidang ekonomi, social, kebudayaan. Taklukan dunia, dengan kepandaian, jiwa entrepreneurship dan kemampuan berdaya saing. Namun jangan dilupakan, dalam berusaha dan berjuang, tidak meninggalkan nilai-nilai kejujuran dan humanisme.#
Biodata
Nama : Prof. Dr Sulistyowati Irianto
Tempat tanggal Lahir : Jakarta, 1 Desember 1960.
Profesi : Akademisi, Peneliti
Pendidikan:
S1- Administrasi Negara, Fisipol UGM,
S2- Antropologi Hukum, Universitas Leiden,
S3- Antropologi Hukum, Universitas Indonesia.
Professorship dalam bidang “Antropologi Hukum”, tetapi juga berkeahlian dalam bidang “Hukum dan Gender”
Karya ilmiah:
Menulis banyak buku dan artikel jurnal ilmiah dalam bidang hukum dan masyarakat, dan keadilan bagi perempuan dan anak.
Menulis banyak artikel di koran Kompas.
Penghargaan:
Mendapat award “Cendekiawan Berdedikasi” dari Kompas tahun 2014
Mendapat Soetandyo Wignjosoebroto Award dari Universitas Airlangga pada tahun 2015.