Gerakan zero waste dapat diterapkan dalam berbagai hal dalam kehidupan. Tak terkecuali dalam produksi dan penggunaan pakaian.

Tren berbusana saat ini berkembang cukup beragam. Model berpakaian dan model gaya terlihat melimpah, terutama jika ditengok dari cara berbusana anak muda. Namun meski begitu, agaknya hanya sedikit saja orang yang sadar berbusana yang benar dan ramah lingkungan.

Fashion Educator, Aryani Widagdo, dalam sebuah kesempatan mengatakan, dari berbagai jenis merek dan gaya pakaian, tak banyak yang benar-benar memikirkan kondisi lingkungan. Ia mencontohkan, dari proses produksi fashion, jumlah limbah (sisa potongan kain) cukup banyak jumlahnya.

Setiap tahun, sedikitnya 400 miliar meter persegi kain yang diproduksi di dunia. “Dan dari presentase kain yang dibuang selama proses pemotongan adalah lima belas persen, atau 60 milliar meter persegi,” ucap pendiri Arva School of Fashion yang bermarkas di Surabaya. 

Baginya cara berbusana di era seperti ini harus mulai dipikir kembali. Ia mengajak siapapun untuk memikirkan kembali napak tilas di balik terciptanya sebuah busana. “Harus mulai belajar bahwa di setiap pakaian Anda, ada story-nya,” ungkapnya.

Aryani merujuk peristiwa kebakaran yang mengorbankan buruh pembuatan tekstil di Bangladesh 2012 silam. Sebanyak 1.200 lebih korban harus meregang nyawa karena kebakaran dan runtuhnya gedung pabrik setempat.

Berangkat dari itulah, wanita 70 tahun ini mengenalkan kembali konsep zero waste fashion kepada khalayak. Konsep ini sebenarnya merujuk pada pembuatan pakaian dengan meminimalisir atau bahkan sama sekali tak menimbulkan limbah pakaian (potongan kain yang tak terpakai). Caranya dengan membuat pola tertentu dengan sedikit potongan pada kain.

Jenis desain baju ini ia adopsi berdasarkan jenis desain di masa lalu. “Zero waste bukan barang baru. Desain zero waste telah ada sejak berabad-abad lalu, seperti Kimono Jepang, Busana dari India, atau Celana dari China Kuno,” ungkapnya.

Aryani berpesan agar semua pihak mulai memperlakukan fashion dengan bijak. Ia sendiri memiliki tiga kunci agar kiat itu bisa terlaksana. “Melihat story baju (dari negara mana ia dibuat). Dengan tidak terlalu sering berbelanja baju. Serta memilih baju yang berkualitas (tinggi),” katanya.

Sejalan dengan pemikiran Aryani, desainer kondang Ali Charisma juga sepakat dengan konsep sustaniable fashion karena mendorong masyarakat untuk tidak asal dalam membeli pakaian.

Selain itu dari sisi desainer, konsep ini mendorong mereka untuk membuat pakaian berkualitas dengan bahan yang tak asal pilih hingga pola potongan yang tidak menghasilkan limbah.

Selain konsep zero waste pattern, lanjutnya, saat ini sudah banyak brand yang beralih ke serat alam. “Karena serat alam kalau jadi sampah akan cepat terurai, kalau bahan polyester lama terurai. Kalau tidak sustain akan jadi sampah fashion,” ujar Ali di acara Chairman Indonesian Fashion Chamber (IFC) yang dihelat April 2019.

Itu sebabnya, kata Ali, pakaian yang mengusung konsep sustanaible fashion umumnya cenderung tidak murah karena mempertimbangkan bahan-bahan yang digunakannya. Untuk bahan polyester misalnya, cenderung murah namun lebih mudah berjamur jika lama tidak dikenakan.

Ia pun memiliki beberapa imbauan bagi masyarakat yang mulai mengadopsi gaya hidup ramah lingkungan, khususnya di bidang fashion. Pertama kata dia, pilihlah baju yang made in Indonesia. Memang, kata Ali, busana karya desainer Indobesia cenderung lebih mahal dibandingkan merek China. Namun kita tidak tahu dari mana bahan itu berasal.

“Bahan mereka kita nggak tahu dari mana. Sampai sini apakah sisa-sisa? Kalau di Indonesia yang ngerjain kita sendiri. Walau harga sama atau lebih mahal sedikit saya sarankan beli produk Indonesia. Karena biaya produksinya bisa setengahnya. Tim produksi kan banyak banget hampir 50 persen, tapi masuk ke Indonesia lagi,” imbuhnya.

Kedua, pilihlah pakaian yang memiliki pola sederhana. Alasannya pakaian pola seperti ini cenderung lebih minim menghasilkan potongan yang akan berakhir sebagai limbah fesyen.

“Sekarang yang menerapkan zero waste pattern sudah banyak. Zero waste itu sedikit mengurangi pembuangan bahan. Potongan berliuk-liuk sekarang dibikin sederhana dengan teknik berlipat-lipat atau teknik Jepang sehingga membantu pola-pola yang harusnya dipotong jadi tidak,” imbuhnya.

Ali berharap tren sustanaible fashion akan diminati oleh generasi milenial sehingga gerakan ramah lingkungan di industri fashion bisa semakin meluas.

Desainer Wilsen Willim juga memiliki semangat yang sama. Dia mengatakan guna mengoptimalisasi komponen-komponen sustainable fashion dalam memproduksi karya busana, menurutnya tidak hanya menyangkut tren fesyen yang ramah lingkungan saja untuk mencapai tujuan tertentu. Namun, lebih kepada bagaimana pelaku industri fesyen dapat membantu berputarnya siklus di sekitar mereka. Siklus tersebut merupakan gabungan dari menciptakan lingkungan yang lebih layak secara ekologis, sosial, maupun ekonomi.

“Bagi saya sustainable fashion adalah seperti membuat dunia menjadi lebih indah, masing-masing negara pasti memiliki standar yang berbeda.Namun saya akan memberikan hal yang terbaik untuk menjadi sustainable dengan brand saya,” jelas Wilsen.

Menurutnya, ada dua komponen penting yang menjadi kunci utama untuk menjaga siklus ini berkelanjutan secara penuh. Pertama, bagaimana menjaga hubungan yang baik antara desainer dan pengrajin dengan adanya transparansi serta keadilan dalam hubungan tersebut. Kedua, efisiensi penggunaan bahan dan jumlah produksi.

Lebih jauh, perancang busana Samuel Wattimena mengungkapkan, Indonesia sebenarnya telah lama mempraktikkan zero waste, terutama dalam pakaian. Salah satu contoh zero waste dalam dunia fesyen di Indonesia adalah baju kurung yang proses pembuatannya tidak membuang banyak bahan.

Kain sarung juga bisa jadi pilihan busana zero waste yang fashionable dan bisa dipakai dalam kegiatan sehari-hari. Anda bisa mengkreasikan sarung dengan berbagai gaya sehingga tidak perlu memotong kain yang menimbulkan sampah dari sisa bahan.

“Dari produksi pakaian, sisa bahan bisa dibuat aksesori, misalnya kalung,” kata Samuel.

Selain bahan, Indonesia juga memiliki banyak produk ramah lingkungan yang bisa digunakan dalam produksi pakaian, yaitu pewarna alam.

“Di daerah kering seperti NTT, mereka menciptakan warna. Tapi banyak pengusaha bilang enggak laku pakai pewarna alam karena butek. Warna alam memang redup tapi semakin lama, warnanya semakin bagus, bukan sebaliknya,” kata perancang busana yang menggemari kain tradisional ini.

Dari sisi konsumen pengguna pakaian, teknik zero warte fashion juga sangat bisa diterapkan. Salah satunya dengan meminimalkan sampah pakaian bekas dengan membeli produk yang lebih berkualitas agar suatu pakaian berumur lebih panjang.

Sebelum menambah koleksi pakaian baru, ada baiknya memeriksa sebenarnya seperti apa gaya dan model yang paling Anda suka dalam jangka panjang. Kemudian, carilah produk yang berkualitas tinggi.

Meskipun barang yang sangat murah biasanya berkualitas rendah, harga tinggi tidak selalu menunjukkan kualitas yang baik. Saat membeli pakaian, perhatikan bahan dan jahitannya.#