Samidjan Mangun Darsono
Seniman
Inspirasi Wayang Limbah Ki Samidjan
Kecintaannya terhadap seni pewayangan dan upaya merawat lingkungan mendorong Samidjan untuk membuat kreasi wayang limbah dari bahan plastik bekas. Karya ini menjadikan dirinya sebagai sosok inspiratif dan menerima penghargaan Kalpataru Tingkat DIY kategori Perintis Lingkungan pada 2018.
Kota Yogyakarta kaya akan tradisi dan produk kerajinan tradisional wayang kulit, yang biasa digunakan untuk pentas wayang kulit. Selain itu, wayang kulit juga menjadi benda souvenir atau cinderamata favorit bagi wisatawan domestik maupun manca negara.
Tak hanya wayang kulit, kini juga dikenal jenis wayang lain sesuai dengan pementasannya, seperti wayang beber, wayang klithik, wayang suket, wayang golek, dan lainnya. Dalam perkembangan selanjutnya, muncul wayang limbah. Disebut wayang limbah karena memang dibuat dari bahan yang sudah tidak terpakai alias limbah.
Pembuatnya adalah Samidjan Mangun Darsono, warga Karangwaru Lor TR 2 No 83 Kota Yogyakarta, DIY. Awalnya ia membuat wayang limbah karena coba-coba dan penasaran saja di tahun 2001.
Samidjan, begitu sering dipanggil, sebelumnya pernah membuat berbagai jenis wayang dengan bahan yang berbeda, seperti bahan karton dan seng. Ide membuat wayang berbahan plastik tercetus saat istrinya membawa pulang map plastik tak terpakai dari kantor.
“Saya buat wayang untuk dolanan cucu. Lho kok lentur, ndak gampang patah. Ndak seperti karton, lebih awet, lebih liat, tidak gampang sobek,” terangnya.
Samidjan pun semakin tertantang membuat wayang limbah dari bahan limbah plastik yang lebih tebal saat ada tetangganya yang membongkar rumah. Kebetulan, ada limbah plastik bekas penutup pagar dibuang di dekat rumahnya. Kemudian muncul gagasan untuk memanfaatkan plastik bekas itu sebagai bahan wayang, sekaligus berpikir sebagai langkah untuk pelestarian lingkungan, karena plastik memang sulit hancur dan menjadi biang pencemar tanah.
Awalnya dia mengalami kesulitan. Lembar plastik itu ternyata kaku dan susah dibentuk, apalagi bila menggunakan alat tatah maupun gunting. Kemudian ditemukan cara untuk membentuk wayang, yaitu dengan menggunakan solder. Walaupun pada mulanya terkadang salah solder, namun lama-kelamaan karena sudah terbiasa, karyanya terwujud rapi seperti halnya wayang kulit yang ditatah.
Sesudah bentuk dasar selesai, tinggal dilakukan “penyunggingan” atau pengecatan sesuai dengan tokoh wayangnya. Karena bahannya berbeda, maka jenis cat yang digunakan pun berbeda. Wayang limbah dicat menggunakan cat akrilik. Setelah jadi, hasilnya tampak bagus, yang sepintas tidak ada perbedaan dengan wayang kulit. Wayang plastik dari bekas atap itu tak kalah dibanding wayang kulit. Bahkan punya beberapa keunggulan.
“Kalau ketahanannya saya rasa sama. Perawatannya enak. Saya juga pernah punya wayang kulit, pas disimpan di kotak harus betul-betul lurus dipress sama anyaman bambu (anjang-anjang). Berapa biji ditutup, kayak nata ikan asin. Kalau wayang plastik mau diletakkan di mana aja entah menggantung nggak khawatir menggulung. Di samping itu tahan digantungg di luar kena hujan kena panas,” terangnya.
Saat ini, Samidjan telah membuat seperangkat wayang limbah yang terbuat dari plastik bekas penutup pagar. Ada lebih 250 buah wayang limbah dengan berbagai ukuran dan tokoh yang berbeda. Kadang-kadang karyanya juga dipamerkan.
Tercatat, karya Samidjan pernah dipamerkan di Pameran Wayang Nusantara yang diadakan oleh Museum Pendidikan Indonesia (MPI) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), pada tanggal 1—5 Mei 2016. Karya Samidjan pernah dipentaskan dalam peringatan seabad Sultan HB IX di Jogja National Museum (2012) dan pementasan di Taman Budaya Yogyakarta (2012).
Di lingkungan tinggalnya, Samidjan dikenal sebagai salah satu tokoh masyarakat yang sangat peduli lingkungan. “Beliau sangat memperhatikan lingkungan sekitarnya, bahkan aktif menjadi salah satu pengurus Bank Sampah di wilayah RT 01 Kelurahan Karangwaru. Keahlian dalam pembuatan wayang limbah plastik ini sangat mendukung pelestarian lingkungan, mengingat limbah plastik merupakan salah satu jenis limbah yang sangat sulit diurai alam,” kata Suhardi, Lurah Karangwaru.
Bahkan untuk mendukung kreasi Samidjan agar lebih dikenal masyarakat, setiap kegiatan yang diadakan oleh komunitas Karangwaru Riverside selalu melibatkan Samidjan dengan wayang limbah plastiknya.
Ketua LPM Kelurahan Karangwaru, Subandono, juga menceritakan karya Samidjan saat launching Yogya Semesta Masuk Desa, beberapa tahun lalu. Menurutnya, wayang kreasi Samidjan turut dipamerkan sepanjang acara. “Ngarso Dalem Sultan HB X menerima salah satu karakter wayang kreasi Samidjan, saat secara resmi me-launching Yogya Semesta Masuk Desa,” kisah Subandono.
Hobi Samidjan dengan karya wayang limbah bagaikan sekali mendayung dua pulau terlampaui. Wayang limbah, selain untuk melestarikan seni budaya tradisional, sekaligus membantu mengurangi tumpukan limbah plastik yang sukar terurai. Tak salah bila kemudian karya wayang limbah ini mendapatkan penghargaan Kalpataru tingkat provinsi pada 2018.
Samidjan menyadari sampah platik yang dipungutnya tidak sebanding dengan sampah dikeluarkan setiap harinya. “Saya sadar, wayang limbah tidak akan menghentikan kerusakan lingkungan. Tapi setidaknya memperlambat kerusakan lingkungan, meminimalisir volume sampah,” paparnya.
***
Samidjan Mangun Darsono telah jatuh cinta pada seni pewayangan sejak belia. Ini bermula ketika ayah dan kakeknya biasa mendongeng kisah-kisah perwayangan sebagai pengantar tidurnya. Ia pun sering diajak nonton pertunjukan wayang kulit dari kampung ke kampung. Meski sering terkantuk-kantuk, karena biasanya pertunjukan wayang dimulai dari jam 10 malam dan selesai menjelang subuh, namun tetap Samidjan takzim menyimak pertunjukan hingga usai. Kisah-kisah pewayangan yang heroik dibalut iringan musik gamelan telah membuat jatuh hati.
Itulah yang mendorong Samijan kecil bercita-cita menjadi seorang dalang. Akan tetapi menjadi dalang bukanlah hal yang mudah karena butuh biaya besar. Bagi anak seorang petani dengan pendapatan pas-pasan, boleh jadi cita-cita itu terlalu tinggi. Kondisi serba terbatas tak membuat Samidjan surut langkah, alih-alih mengubur cita-cita besarnya.
Samijan pun belajar otodidak. Dia mulai membuat karakter-karakter pewayangan dengan mengandalkan ingatan tanpa bimbingan. Meskipun tak ada darah seniman mengalir di tubuhnya, Samidjan sukses membuat beratus-ratus karakter wayang. Uniknya, Samidjan membuat bahan wayang dari material-material bekas yang ada di sekitarnya.
Mulai dari kardus, tripleks atau kau lapis, seng, karton, dan plastik bekas pernah dia coba mengukirnya untuk membuat karakter wayang. Dari semua bahan itu, plastik adalah bahan yang dinilai mampu menggantikan kualitas wayang kulit sesungguhnya. Setidaknya plastik memberikan kelenturan yang sama dengan kulit. Plastik juga murah dan mudah diperoleh. Dengan demikian sejak tahun 2000/2001 Ki Samijan berkreasi dengan plastik.
“Harga kulit kambing dan sapi cukup mahal,” katanya beralasan.
Berbekal solder, tang, kaca, pisau, dan cat minyak, Samidjan berhasil membuat aneka karakter pewayangan yang diinginkan. Kecintaannya terhadap seni pewayangan mendukung Samidjan untuk membuat setiap detail kreasi wayang limbah.
Selain lewat ingatan masa kecil, pria yang sejak 1969 bekerja sebagai desainer perhiasan itu juga mengambil referensi wayang purwa yang kerap dihadirkan di televisi. Karena ingin melengkapi karakter wayang limbahnya, beberapa tahun terakhir ini Samijan juga membeli beberapa buku wayang purwa sebagai referensinya dalam membentuk tokoh wayang.
Semula Samijan membuat wayang dari limbah plastik hanya untuk memberikan hiburan kepada keluarganya. “Saya lakukan untuk mengisi waktu. Biasanya satu wayang dikerjakan 3-5 hari, termasuk ngecat dan masang engsel-engselnya,’’ ujar kakek yang telah memiliki lebih dari ratusan wayang limbah.
Samidjan mengaku, kreativitasnya didukung penuh istri, anak hingga cucunya. Apalagi pembuatan wayang limbah itu tidak mengeluarkan bunyi berisik seperti di bengkel kerajinan tatah kulit. “Kadang saya buat sambil tidur. Istri saya yang tidur di samping saya saja tidak dengar kalau saya sedang solder,” tambah dia
Meski menempatkan wujud wayang purwa sebagai referensi utama, Samijan kerap juga menuangkan “kenakalannya” dalam mendesain wayang. Selain gunungan yang dijaga polisi militer, kreativitas “nyentilnya” juga dituangkan dalam bentuk dewa pencabut nyawa yang menggenggam tang (catut).
Kemudian tokoh Semar dengan kalung berbentuk jantung hati. Gareng yang dadanya terselip kaca mata, hingga tokoh Bagong berkalung ponsel. Semua dibuatnya di sela waktu senggang sepulang kerja dan di hari minggu.
Beberapa kreasinya juga telah dikoleksi orang-orang di Yogyakarta hingga luar negeri. Salah satu karyanya berupa Rama dan Shinta dibawa ke Amerika untuk dikoleksi. “Tadinya cuma anak saya yang minta dibuatkan untuk temannya di Jakarta. Ternyata wayang itu diberikan ke koleganya yang lain di Amerika,” ujarnya sambil tersenyum
Samijan mengaku tidak pernah memasang harga untuk kreasi ciptaannya. Dia sudah senang jika ada yang tertarik dengan wayang limbah. Meski puas, Samijan masih ingin mengembangkan kreasinya dengan cat yang lebih transparan. Itu agar pendaran cahaya wayang plastik dapat terlihat lebih mirip wayang kulit jika dilihat dari balik layar.
Samidjan sadar, wayang limbah tidak akan menghentikan kerusakan lingkungan, tetapi kreasi ini setidaknya dapat memperlambat kerusakan lingkungan akibat gaya hidup modern. Samidjan berharap, usahanya dapat berkembang di tangan generasi muda.
Kini pembuat wayang berbahan baku plastik bukan hanya Ki Samijan seorang, ada banyak seniman lokal yang berbakat dan kratif menciptakan wayang berbahan baku plastik. Samijan sangat senang karena merasa ditemani oleh semangat teman-teman sesama seniman wayang. Samidjan ingin melestarikan kebudayaan asli Indonesia sekaligus menjawab krisis lingkungan.
Kendati dinilai oleh banyak pihak mampu menghadirkan keterbaruan dan keunikan dalam karya seni wayang limbah, Samijan tidak berniat mematenkan karyanya karena dia bukanlah penemu dan pencipta seni pewayangan.
“Saya hanya meneruskan karya yang belum selesai dari para peletak dasar kebudayaan asli bangsa Indonesia,” pungkas Samidjan yang berharap karya wayang limbah ini dapat di publikasikan seluas-luasnya agar dapat menjadi bagian penyelamatan lingkungan hidup.
Riwayat Hidup
Nama : Samidjan Mangun Darsono
Umur : 66 tahun
Keluarga: menikah, memiliki tiga orang anak
Alamat: RT 01 RW 01 Karangwaru, Tegalrejo, Yogyakarta, 55241
Pekerjaan:
Seniman
Penghargaan:
Penerima Kalpataru DIY 2018#