Wakil Ketua Komnas HAM Bidang Eksternal

Panggilan Jiwa untuk Kemanusiaan

Kali pertama kaki menapakkan di bumi Papua 36 tahun silam, pertama kali pula Sandrayati Moninaga melihat ketidakadilan menyeruak di depan mata. Saat itu juga dia bertekad untuk berjuang membela kaum tertindas. Terbukti di sepanjang perjalanan hidupnya, Sandra konsisten menggeluti isu hak asasi manusia, lingkungan, masyarakat adat, hukum, kesetaraan gender, dan demokratisasi, bahkan menjadi komisioner Komnas HAM untuk periode yang kedua. Bagi Sandra, benang merah perjalanan panjang dan kegigihan merawat gerakan pendampingan masyarakat adat, HAM, dan lingkungan hidup adalah berangkat dari “panggilan” jiwa.

Duapuluh satu tahun pascareformasi, perkembangan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia telah menunjukkan perubahan yang berarti, walaupun belum sesuai harapan. Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan Undang-Undang No. 40 Tahun 2009 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis serta meratifikasi beberapa Kovenan tentang HAM sebagai bentuk tanggung jawab moral dan hukum Indonesia sebagai anggota PBB dalam penghormatan dan pelaksanaan Deklarasi Universal HAM tahun 1948 serta berbagai instrumen HAM lainnya mengenai HAM yang telah diterima Indonesia.

​Indonesia juga telah memiliki National Human Rights Institution (NHRI) yang independen dan sejalan dengan Paris Principles yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI (Komnas HAM RI) yang dibentuk pada tahun 1993 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang kemudian diperkuat dengan penetapan UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM. Komnas HAM RI secara berkala menjalani review The Global Alliance Of National Human Rights Institutions (GANHRI) dan telah mendapat akreditasi A dari sejak tahun 2000 sampai saat ini.  ​

Lebih dari itu, HAM sebagai nilai universal telah dimuat dalam Konstitusi RI, baik dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 maupun dalam batang tubuh UUD 1945 dan dipertegas setelah amandemen UUD 1945.

Dalam amatan Sandrayati Moniaga, Wakil Ketua Komnas HAM Bidang Eksternal, secara normatif bahkan konstitusional sesungguhnya Republik ini sudah menyatakan secara tegas bahwa Indonesia adalah negara yang didasarkan hukum yang menghormati HAM. Pemerintah di beberapa lini telah mencoba upaya-upaya pemenuhan hak asasi, meskipun di berbagai sektor juga banyak yang masih abai.

Sejumlah langkah telah ditempuh pemerintah, namun banyak kalangan menilai kasus HAM Berat dinilai masih menjadi beban politik bagi bangsa Indonesia. Tantangan semakin bertambah ketika pasca-reformasi, pelaksanaan demokrasi dan HAM di Indonesia belum berjalan secara seimbang.

Sandra, demikian Sandrayati Moniaga karib disapa, mengatakan, perjalanan demokrasi saat ini belum bisa mengembangkan perlindungan dan pemenuhan HAM di Indonesia.  “Itu tampak dari banyak peristiwa terjadi yang sampai hari ini belum bisa diselesaikan. Demokrasi yang berkembang ini mestinya mampu menyelesaikan persoalan HAM,” kata Sandra saat berbincang dengan tokohinspiratif.id di kantor Komnas HAM, Jakarta, awal Oktober 2019.

Sandra menekankan pentingnya institusi negara dan kelompok-kelompok yang mencitrakan diri prodemokrasi, untuk tidak abai dengan nilai-nilai HAM. Apabila berlaku sebaliknya, berisiko membuat pelaksanaan HAM di Indonesia menjadi macet atau mundur ke belakang. Oleh karena itu ia meminta seluruh pihak yang prodemokrasi untuk menghindari sikap-sikap yang bertentangan dengan nilai-nilai HAM.

Sandra pun mencontohkan adanya sikap kelompok melek HAM yang toleran pada tindak kekerasan, persekusi, dan ada sikap ingin membatasi kebebasan sipil, bahkan gagasan yang ingin kembali membatasi ruang kebebasan berpendapat.

Ia mengingatkan, agar semua pihak bertindak dengan mengacu pada Konstitusi negara. Sebab, Konstitusi menjadi panduan agar pelaksanaan demokrasi dan HAM di Indonesia berjalan dengan seimbang.

“Saya mengatakan demokrasi dan HAM dua sisi dari satu mata uang yang sama, saling menguatkan dan dia tidak boleh dibiarkan mundur, oleh karena itu semua pihak mesti menjaga langkah maju demokrasi dan HAM,” ujarnya.

Dalam perbincangan ini, Sandra juga menyoroti masih banyak kasus-kasus tanah adat yang belum diselesaikan, kebakaran hutan masih terjadi dan seringkali peladang yang disalahkan padahal belakangan terungkap pembakar ladang adalah perusahaan. Masih banyak warga di pulau-pulau kecil yang menjadi korban kriminalisasi, hingga kegiatan perusahaan tambang besar yang tetap berjalan meskipun belum  punya ijin beroperasi.

“Kambing hitam kepada rakyat yang voiceless masih tinggi. Jadi  kita masih menghadapi banyak kasus yang mirip dengan situasi dulu, dimana pihak TNI dan Polri yang harusnya melindungi warga ternyata masih berpihak pada pengusaha.”

Namun terkait progres, dari segi peraturan perundangan sudah lumayan bagus. Ini bisa dilihat adanya beberapa peraturan daerah yang mengakui masyarakat adat yang kemudian dijadikan dasar untuk pengakuan hutan adat dan wilayah-wilayah adat.  “Belum sebanyak yang kita harapkan, tapi sudah mulai.”

Progres lain, cukup banyak capaian di bidang ekonomi sosial. Sandra mencontohkan program jaminan kesehatan dari pemerintah yakni  BPJS, sekolah gratis melalui Kartu Indonesia Pintar, hingga akses untuk kaum disabilitas yang makin terbuka, terutama dalam hal kesempatan kerja dan hak politik.

Di sisi lain, Sandra mengharapkan masyarakat harus meluaskan pemahaman tentang pelanggaran HAM, tidak hanya tentang hak politik dan sipil tapi juga bisa mencakup masalah ekonomi sosial dan budaya.

“Mindset pemikiran orang bahwa pelanggaran HAM itu biasanya dipukuli, mahasiswa ditendang, terkait fisik. Ternyata ekonomi, sosial, budaya juga termasuk pelanggaran, selama ini terlalu menekankan hak sipil dan politik,” ungkap Sandra.

Sarjana Hukum alumni Universitas Katholik Parahyangan, Bandung, ini merujuk kepada peristiwa kerusakan lingkungan yang menurutnya masuk dalam kategori pelanggaran HAM, meski tidak masuk dalam pelanggaran berat. Kabut asap yang terjadi akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi baru-baru ini di berbagai daerah di Indonesia serta polusi udara yang melanda kota-kota besar seperti Jakarta merupakan salah satu bentuk dampak perusakan dan pencemaran lingkungan yang melanggar HAM.

Oleh karena itu, jika masyarakat merasa dirugikan oleh kerusakan lingkungan yang terjadi di sekitarnya, maka bisa juga melakukan pengaduan ke Komnas HAM untuk dapat diproses selanjutnya, ungkapnya.

***

Sandrayati Moniaga lahir di Jakarta, 19 Oktober 1961. Dibesarkan dalam keluarga kelas mapan, bungsu dari tiga bersaudara ini tumbuh dan besar di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Sebagai anak seorang kapten kapal, Sandra kecil pernah bercita-cita menjadi pelaut. Namun sang ayah, Kapten Leon Moniaga (almarhum), sosok yang memiliki andil besar dalam pendirian BUMN pelayaran internasional pertama di Indonesia, tak merestui. Menurut Kapten Leon, menjadi seorang pelaut adalah profesi yang sangat maskulin dan keras. Terlebih, Sandra adalah satu-satunya anak perempuan dalam keluarga tersebut.

Sandra yang sangat aktif juga tercatat menjadi atlet DKI untuk tim softball saat duduk di bangku SMA. Kecintaannya pada olah raga bola beregu ini dilakoni hingga melanjutkan kuliah di Universitas Katholik Parahyangan (Unpar) Bandung. Di kota kembang, Sandra tergabung jadi tim soft ball Jawa Barat.

“Jadi sewaktu SMP – SMA itu saya sangat gemar olah raga. Ya softball, ya karate, ya basket. Sampai sempat berpikir jadi guru atau pelatih olahraga,” kenang Sandra sambil mengurai tawa.

Namun proses berjalan, hingga jelang kelulusan SMA, Sandra ingin menjadi arsitek. Karena tak diterima di kampus yang diidamkan, Sandra akhirnya memilih fakultas hukum Unpar untuk melanjutkan pendidikan.

“Pertimbangan saya, hukum itu bisa ke mana-mana. Ketika kita belum tahu mau bekerja apa, paling tidak belajar hukum yang bisa menjadi modal kerja dibanyak tempat.”

Di kampus, Sandra bergabung dengan kelompok pecinta alam Mahitala Unpar. Kebetulan pada tahun pertama saat dia masuk, sekitar tahun 1982, Mahitala sedang menyiapkan ekspedisi ke Papua. Ekspedisi Maoke, nama ekspedisi tersebut, berlangsung selama tiga bulan penuh.

Tim ekpedisi yang berjumlah 16 orang ini terdiri dari tim pendaki gunung, tim penelitian dan dokter med. yang bertugas melakukan penelitian sosial budaya, biologi, dan geologi di Lembah Baliem.

“Jadi dalam Ekspedisi Maoke, tidak hanya climbing, kami juga melakukan penelitan untuk memberikan kontribusi ke masyarakat. Kami bekerjasama dengan Museum Geologi Bandung dan Museum Zoologi Bogor untuk menjadi kolektor sampel. Jadi kami kursus proses pengawetan binatang, sampel tumbuhan, mempelajari koding batuan karena kami hanya mahasiswa Fakultas Hukum, Ekonomi, Sospol dan Teknik Sipil,” urainya.

Kenangan begitu membekas hati ketika Sandra melihat ketidakadilan dialami penduduk Papua dengan mata dan kepalanya sendiri. Di sebuah perkampung di Wamena dan di kota Wamena, Sandra melihat orang Papua diperlakukan kasar oleh banyak pihak. “Sementara di Jakarta dan luar Papua pada umumnya, beredar isu bahwa orang Papua menakutkan dll,  tapi yang saya temui justru sebaliknya. Orang Papua sangat baik, sangat ramah, tapi mereka diperlakukan tidak adil.”

Banyak cerita yang ditangkap selama tiga bulan berada di Papua. Di sini pula Sandra melihat satu sekolah hanya memiliki satu orang guru. Bapak guru itu mengajar dari kelas 1-6 seorang diri.

“Gurunya keliling antar kelas yang disekat dengan papan. Jadi kelas 1 digabung dengan kelas 2. Kelas 3 digabung dengan 4, kelas 5 jadi satu dengan kelas 6,” Sandra yang akhirnya mempunyai keinginan kuat untuk bekerja di Papua kelak setelah lulus. Namun apa lacur, orangtuanya tak menyetujui.

Sepulang dari Papua,tepatnya 1986, Sandra mendapat undangan mengikuti pendidikan konservasi alam di Kalimantan Timur, tepatnya di Long Segar, oleh Sekretariat Kerjasama Pelestarian Hutan Indonesia (SKEPHI). Dalam acara itu, Sandra bertemu dengan banyak aktivis lingkungan dari seluruh penjuru Indonesia.

Di sana, mereka melihat secara langsung dampak kebakaran hutan hebat di Kalimantan Timur pada 1983 dan menggali sumber penyebabnya. Informasi yang didapat dari masyarakat adat di sekitar hutan, saat kebakaran terjadi ternyata para peladang sudah tidak membakar lagi. Padahal, selama ini wargalah yang dituduh sebagai biang penyebab kebakaran hutan.

“Jadi, ketika kebakaran hutan lebat terjadi, itu bukan musim bakar mereka.  Mereka sudah tidak membakar lagi. Warga hanya dijadikan kambing hitam.”

Sebagai catatan, kebakaran hutan hebat di Kalimantan pada tahun 1983 diperkirakan telah mengakibatkan hutan seluas 3,5 juta hektar rusak dilalap si jago merah. Peristiwa itu tercatat sebagai kebakaran hutan terbesar di era tersebut.

Berbagai ketimpangan informasi di lapangan, banyaknya suara rakyat yang tak dihiraukan para pemangku kepentingan, serta pengalaman ekspedisi di Papua, membuat Sandra merenung.

“Mungkin ini “panggilan”. Sudah menjadi tugas saya untuk bekerja dengan rakyat yang terpinggirkan. Hutan rusak karena dirusak perusahaan, yang disalahin orang Dayak, nggak adil betul,” kata Sandra yang menjadikan pengetahuan yang digali selama dua pekan di Kalimantan Timur itu sebagai bahan dasar skripsi dan mendapatkan nilai sempurna dari dosennya.

Sandra bahkan sempat ditawari sebagai asisten dosen, namun dia menolak karena lebih memilih pekerjaan di SKEPHI. Sandra merasa, di lembaga nirlaba ini dia menemukan apa yang selama ini diinginkan.

“Walaupun saya nggak bisa kerja di Papua tapi saya bisa bekerja buat orang Papua dari Jakarta.”

Pada titik inilah karir panjang Sandrayati Moniaga di dunia pergerakan dimulai. Di SKEPHI pada tahun 1986-1989, Sandra dipercaya sebagai Koordinator Pengembangan Sumberdaya. Pekerjaan itu diawali dengan magang di Sierra Club, organisasi lingkungan hidup tertua di Amerika Serikat, selama tiga bulan. Proses perenungan semakin mengkristal saat kembali ke tanah air.

Sandra kemudian bergabung di Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) pada tahun 1989-1990 sebagai Koordinator Twinning Program berlanjut sebagai Koordinator Program

Hukum dan Lingkungan sampai 1993.

“Tiga tahun di Walhi, saya ditantang merintis program hukum dan lingkungan. Di situlah irisan isu lingkungan dan hak asasi. Kebetulan Ketua Presidium Walhi saat itu almarhum Bang A. Hakim Garuda Nusantara yang juga direktur YLBHI yang merupakan ornop HAM. Kegiatan-kegiatan Program Hukum dan Lingkungan memfasilitasi penguatan jaringan antara kawan-kawan LBH dengan ornop lingkungan.”

Selama bekerja di WALHI, Sandra melihat isu lingkungan dengan mata elang. Selain permasalahan masyarakat miskin kota yang selama ini menjadi perhatian, dia juga membawa isu masyarakat adat yang menjadi korban perusakan hutan, korban pertambangan, dan yang lain.

“Ada benang merah bawa masyarakat adat ini voiceless dan mereka menjadi korban. Di negara  lain mereka sudah bisa bicara untuk dirinya sendiri, tapi dari Indonesia selalu aktivis Ornop. Kenapa? Ternyata dunia ornop, termasuk di daerah, kebanyakan aktivis bukan berasal dari  masyarakat adat langsung tapi aktivis-aktivis mahasiswa, mantan aktivis mahasiswa yang sebagian besar adalah pendatang.”

Didukung oleh Ford Foundation, Sandra mendapat kesempatan belajar langsung tentang proses pengakuan hak masyarakat atas hutan di India dan Filipina pada 1991. Setahun kemudian, artikelnya berjudul ‘Toward Community-based Forest Management…’ – Menuju Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat dan Pengakuan Hak Adat di Luar Jawa di Indonesia – diterbitkan.

‘Lulus’ dari Walhi, Sandra memilih untuk bergiat di Kalimantan. Bagi sebagian orang, ini tentu keputusan nyleneh. Maklum, kalau pun mau, dengan modal ilmu dan pengalaman yang dimiliki, Sandra bisa berkarir di dalam atau luar negeri dengan mendapatkan imbalan materi yang lebih dari mencukupi. Tapi itu bukan menjadi prioritasnya.

“Selama ini yang selalu bicara masyarakat adat dan hutan tropis di Kalimantan  itu orang Jakarta atau orang luar negeri. Dan setelah saya amati selama beberapa tahun, ternyata karena mereka minim akses. Kenapa minim akses? Karena memang informasinya tidak sampai, dana juga sangat terbatas. Saya ingin memutus kejumudan itu,” Sandra beralasan tentang keputusannya pindah ke Kalimantan.

Di Kalbar, Sandra memfasilitasi pembentukan Lembaga Bela Banua Talino (LBBT) yang artinya lembaga untuk pembela hak-hak masyarakat adat dan wilayah hidup bersama beberapa tokoh masyarakat adat dan pemuda Dayak. “Proses ini sejalan dengan agenda bersama JAPHAMA untuk mainstreaming isu hak-hak masyarakat adat dalam gerakan-gerakan yang sudah ada” terang Sandra.

Dua setengah tahun berproses untuk belajar dan ikut menguatkan gerakan masyarakat adat di Kalimantan, Sandra kemudian kembali ke Jakarta pada awal 1996. Di Ibu Kota, Sandra bergabung untuk bekerja di lembaga yang ikut didirikannya pada tahun 1993: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) pada tahun 1997, setelah melahirkan puteri pertamanya. Di lembaga ini, dia dipercaya sebagai Koordinator Pengembangan Sumber Daya HAM dan Program Hukum dan Masyarakat. Program ini kemudian ‘melahirkan‘ HuMa (Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis) pada awal 2001.

Kira-kira tahun 1996 atau 1997, Sandra kemudian diundang untuk menghadiri petemuan Indigenous People seAsia sebagai pendamping dan penerjemah J.P. Rahail, salah seorang Raja/Kepala Adat di P. Kei Besar (almarhum), Maluku Tenggara dan Zadrak Wamebu  dari Papua.

Menurut Sandra, Bapak Raja Rahail adalah orang luar biasa. Dia berhasil menguatkan masyarakat dan wilayah adatnya termasuk hutan adatnya di Kei Besar sehingga tetap lestari. Dia juga bisa mencegah konflik horisontal ketika kerusuhan 1998 terjadi di dalam wilayah adatnya.

“Terkesan dengan pertemuan tersebut, dalam perjalanan pulang beliau bertanya: apakah bisa kita buat pertemuan seperti ini di Indonesi untuk mempertemukan semua tokoh-tokoh adat se-Indonesia? Saya jawab, kita coba Bapak”, kenang Sandra yang kemudian mulai mendiskusikan ide besar Bapak Raja Kei ini ke seluruh jejaringnya.

Gayung bersambut, tiga tahun berselang, akhirnya Konggres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) sukses digelar, dimana Sandra ditunjuk menjadi ketua panitia konggres. Dari pertemuan itu lahirlah organisasi Aliansi Masarakat Adat Nusantara (AMAN).

Setelah bekerja di ELSAM dan berhasil mengkoordinir pelaksanaan KMAN pertama, Sandra tercatat sebagai Koordinator Eksekutif pertama HuMa tahun 2001-2005 dan menjadi Ketua Badan Pengurus HuMa tahun 2007-2010.

Selama masa transisi dari Koordinator Eksekutif HuMa menjadi Ketua Badang Pengurus HuMa, Sandra diterima menjadi Peneliti untuk PhD di Van Vollenhoven Institute di Fakultas Hukum, Universitas Leiden pada tahun 2004. Proses penyelesaian disertasi terhenti sejak terpilih sebagai Anggota Komnas HAM ditahun 2012. Sandra mengambil tema disertasi tentang konflik-konflik atas tanah-tanah adat yang berkepanjangan.

Saat “nyepi dari gerakan sosial” Sandra juga ‘membidani’ lahirnya Epistema Institute tahun 2009. Beberapa organisasi non pemerintah lain juga ‘dilahirkannya’ diantaranya: Jaringan Pembelaan Hak Masyarakat Adat (JaPHaMA) ditahun 1992, dan Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) pada tahun 1993 dan PT. PPMA di Jayapura-Papua pada tahun 2001.

Bagi Sandra, benang merah perjalanan panjang dan kegigihan merawat gerakan pendampingan masyarakat adat dan lingkungan adalah berangkat dari “panggilan” hati.

“Pilihan hidup saya sederhana. Di luar masih banyak sekali orang yang lebih susah dari saya. Jadi sekarang, saya harus bekerja untuk membantu mereka,” ungkap Sandra yang sempat ‘diprotes’ almarhumah ibunda karena pilihan hidupnya yang dianggap tak biasa dikeluarganya.

Maklum, sang ibunda yang berasal dari keluarga mapan di Amurang (Sulut) dan menjadi istri pejabat sambil usaha berdagang perhiasan di Jakarta, ingin anak-anaknya mengikuti jejaknya sebagai pengusaha. Dua kakak Sandra memilih menjadi pengusaha. Sedangkan Sandra mengaku tak punya jiwa bisnis. Ia konsisten memilih jalan hidupnya untuk bergerak di sisi kemanusiaan dan lingkungan.

“Kerja di ornop bagi saya sangat menyenangkan. Kita bisa banyak mengunjungi tempat yang di pelosok-pelosok, bertemu banyak masyarakat yang desperately need help dan mencari solusi bersama mereka atau para pendampingnya. Itu suatu pengalaman dan kesempatan yang sangat mahal,” ucap Sandra yang mengaku sangat bersyukur mendapat pendamping hidup yang juga seorang aktivis dan pecinta lingkungan, sehingga memiliki visi yang sejalan dalam memandang kehidupan.

Kini, ibu dari dua anak yang telah beranjak dewasa ini berkarya sebagai Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk periode kedua yakni mulai periode 2012 – 2017 dan terpilih kembali untuk periode 2017 – 2022. Sandra terpilih sebagai Wakil Ketua Bidang Eksternal untuk periode November 2017 sd Mei 2020.

Jabatan yang semula tidak terpikirkan olehnya, tetapi kemudian diembannya karena permintaan dan dorongan beberapa tokoh dan aktivis hak asasi manusia terutama dari lingkar masyarakat adat dan lingkungan hidup. Atas dorongan tersebut dan dipilih DPR-RI, Sandra menjalankan sepenuh hati dan mengembangkan perhatiannya pada konsep dan masalah HAM secara menyeluruh. Secara khusus Sandra memberi perhatian khusus pada upaya pemajuan kondisi hak asasi masyarakat adat, hak atas lingkungan hidup, HAM dan Korupsi, Sustainable Development Goals (SDGs) dan issue HAM lainnya serta konsep lembaga negara independen dalam Negara Hukum,.

Salah satu karya penting Sandra di Komnas HAM adalah pengawalan proses Inkuiri Nasional tentang Hak Masyarakat Adat Atas Wilayahnya di Kawasan Hutan di Indonesia ditahun 2014 sampai awal 2016. Inkuiri Nasional adalah metode yang dikembangkan Lembaga HAM Nasional (National Human Rights Institution – NHRI) di beberapa negara, dan di Indonesia Komnas HAM menyepakati penggunaan metode ini untuk pertama kalinya di tahun 2014.

Publikasi karya tulis yang dihasilkan Sandra, selain diterbitkan Komnas HAM, juga diterbitkan oleh East West Centre, Routledge dan KITLV – Yayasan Obor Indonesia dan beberapa majalah serta jurnal nasional dan internasional.

Di ujung perbincangan yang hampir dua jam, Sandra berharap kepada pemerintah untuk konsisten menjalankan Konstitusi. Konsisten untuk membangun negara hukum yang memang basisnya penghormatan hak asasi manusia.

Kedua, bersihkan pemerintah  dari korupsi. “Kita tidak akan pernah menjadi negara yang demokratis, menjadi negara hukum yang baik apabila masih ada korupsi. Karena tidak mungkin ada penegakan hukum yang adil ketika korupsi masih terjadi. Tidak mungkin ada perlindungan dan pemenuhan hak asasi ketika korupsi masih terjadi. Karenanya korupsi harus menjadi prioritas.”

Terakhir, soal kesetaraan bagi semua, baik suku, ras, agama, gender dan antar generasi. Negara harus bisa memastikan, misalnya, kelompok lansia, kelompok disabilitas, masyarakat adat, baik yang suku besar maupun suku kecil, mendapat perlindungan.

Sandra mengingatkan, pendiri bangsa ini memilih moto Bhineka Tunggal Ika bukan tanpa dasar. “Ini harus menjadi pedoman kita bahwa keragaman adalah kekayaan kita yang harus kita rawat, kita jaga, dan kita kembangkan bersama,” pungkas Sandrayati Moniaga.

Daftar Riwayat Hidup

Nama                                       : Sandrayati Moniaga

Tempat dan tanggal lahir    : Jakarta, 19 Oktober 1961

Status                                       : Menikah (dengan 2 anak)

Alamat e-mail                          : sandram@cbn.net.id, smoniaga@komnasham.go.id

Pendidikan formal :

1986                  : lulus dari Fakultas Hukum Universitas Katholik Parahyangan,

Bandung, Jawa Barat

Pendidikan non-formal :

1982       Pendidikan dan Latihan Dasar-dasar Pencinta Alam, Mahitala UNPAR, Bandung,-Lembang

1986       Pendidikan Konservasi Alam Hutan, Sekretariat Kerjasama Pelestarian Hutan Indonesia, Kalimantan Timur

1987       Prinsip-prinsip dan Dinamika Penggalangan Dana, The Fundraisining School – USA, Oakland, California, AmerikaSerikat

1989       Manajemen LSM, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Kupang, NTT

1989       Kursus AMDAL – A, WALHI dan LBH Surabaya, Surabaya

1991       LokakaryaPenulisan tentang Perhutanan Sosial, East West Center, University of Hawaii, Honolulu, Amerika Serikat

1994       Kursus Dasar Hak Asasi Manusia, ELSAM dan LBBT, Singkawang, Kalbar

2004       Kursus Pluralisme Hukum, International Commission on Folk Law and Legal Pluralism, Fredericton, Canada

2006       English for Academic Writing, Univ. of Leiden, Leiden, Negeri Belanda

2014       Workshop on National Inquiry, Bogor

2015       Kursus Mediasi Hak Asasi Manusia, Pusat Mediasi Nasional, Jakarta

2018       High Level Dialogue on National Human Rights Institutions, Asia Pacific Forum on NHRIs, Jakarta

2018       Refreshing Course untuk Mediasi HAM, Pusat Mediasi Indonesia, Yogyakarta

Pengalaman Bekerjadan Kerelawanan:

Nopember 2017-  sekarang, Wakil Ketua Bidang Eksternal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

Januari 2018 – sekarang, Anggota Bidang Kesetaraan Gender, Pokja Konvensi 2005, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Januari 2017 – sekarang, Anggota Dewan Pakar, Dewan Pakar Komunitas Adat Terpencil, Kementerian Sosial

Nopember 2012-2017, Anggota/Komisioner Koord. Subkom Pengkajian dan Penelitian Pelapor Khusus Hak Masyarakat Hukum Adat Koordinator Inkuiri Nasional Hak Masyarakat Hukum Adat, KOMNAS HAM

2011- 2016, Penasehat Program (2011-2012) dan BadanPengurus (2011 – 2016), Samdhana Institute, Bogor.

2010-sekarang, Pendiri dan Pembina Epistema Institute, Jakarta .

2010-2012, Ketua Badan Pengurus ELSAM

2012-2014, Wakil Ketua Badan Pengurus ELSAM

2014- sekarang, Anggota ELSAM

  • – 2013, AnggotaDewanPakar KonsorsiumPembaruanAgraria (KPA)

2001 – 2004 KoordinatorEksekutif HuMa

2004 – 2009 Bendahara/KetuaBadanPengurus HuMa

2009 – 2010 KoordinatorPengembangan Learning Center HuMa

2003-  2008, Peneliti utk PhD pada Van Vollenhoven Institute – Universiteit Leiden

2000 –  2001, Koordinator Kelompok Kerja Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA (Pokja PA-PSDA)

  • 1993 – 1996 AnggotaDewanPenyantun ELSAM

1997 – 1999Koord. Program PengembanganSumberDaya HAM ELSAM

1999 – 2001WakilDirekturEksekutif ELSAM

1993 – 1996 WakilDirekturEksekutif LembagaBelaBanuaTalino (LBBT), Pontianak

1996 – sekarang AnggotaBadanPengawas LembagaBelaBanuaTalino (LBBT), Pontianak

1993 – 2000, AnggotaDewanPendiri Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) –

 2000 – sekarang, AnggotaDewan Pembina Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)

1989- 1993, Koord. Program Hukum dan Lingkungan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)

1987- 1989, Koord. Pengembangan Program, SekretariatKerjasamaPelestarianHutan Indonesia (SKEPHI)

Pengalaman Kerja Jangka Pendek

2013                : AnggotaPanitia Seleksi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)

2011 – 2012: Anggota Tim PenyelesaianKonflikKehutananTim Kerja Multipihak “Peta Jalan Reformasi Tenurial Hutan”, Jakarta

2009    : Penasehat dalam proses penyusunan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, KemitraanuntukPembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia (Partnership for Governance Reform in Indonesia), Jakarta

2005 – 2006: Anggota Tim Perumus Rancangan Panduan Identifikasi Partisipatif atas Masyarakat Adat . Penyelenggara: AMAN dan HuMa.

2005    : Anggota Tim Perumus Kesimpulan Lokakarya Nasional Inventarisasi dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat. Penyelenggara: Komnas HAM, Mahkamah Konstitusi, Departemen Dalam Negeri.

2003 – 2004: Anggota Kelompok Kerja untuk Pemajuan Mekanisme Penyelesaian Konflik Agraria yang dibentuk oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

2002: Anggota Delegasi Ornop Indonesia dalam Konperensi Tingkat TinggiPembangunganBerkelanjutan (WSSD – World Summit on Sustainable Development), Johanesburg, Afrika Selatan

2001: Anggota Delegasi Republik Indonesia dalam PrepCom IV WSSD, Bali, Indonesia

1999:   – Nara sumber dalam Lokakarya Nasional Komnas HAM di Jakarta

– Ketua Panitia Penyelenggara Kongres Masyarakat Adat Nusantara I, Jakarta

1998: Anggota Tim Relawan Kemanusiaan, Jakarta

1997: Anggota Forum Solidaritas Timor Loro Sae (Fortilos)

1997: Penelitian (assesment) untuk Kebutuhan dan Potensi Fasilitasi Pengembangan Organisasi HAM di Aceh, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Papua Barat dan Timor Timur, ELSAM

1993: Anggota delegasi Ornop Indonesia dalam Konferensi PBB untuk Hak Asasi Manusia (World Conference on Human Rights), Viena, Austria

1992: Anggota delegasi Ornop Indonesia dalam Konferensi PBB untuk Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Rio de Janeiro, Brazil