Selester Sagurujuw

Mendobrak Adat untuk Kesetaraan Gender

Mendobrak Adat untuk Kesetaraan Gender

Rela melepaskan jabatan sebagai lurah demi cita-citanya melindungi kaum perempuan dan memperjuangkan kesetaraan. Adat istiadat Mentawai yang begitu memuliakan kaum lelaki, dikikis dengan cara memberi contoh langsung dalam perilaku kehidupannya.

Mentawai selalu punya banyak cerita, bukan hanya cerita tentang keindahan, kekayaan alam, dan budayanya yang menjadi cerita manis. Tetapi ada juga cerita kelam yang selalu membayangi masyarakat Mentawai. Salah satunya terkait nilai budaya dan hukum adat. Itulah yang dirasakan warga Dusun Rogdok.

 

Dusun Rogdok merupakan dusun PKMT (Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing) yang dibentuk oleh Departemen Sosial pada tahun 1980. Sebelumnya warga hidup dan tinggal berdasarkan wilayah adat masing-masing. Relokasi pemerintah membuat mereka tidak lagi leluasa dalam pengelolaan hutan dan lahan seperti sebelumnya.

Departemen Sosial kemudian memaksa warga tinggal di pemukiman bersama dan membentuk kehidupan sosial baru yang jauh dari hutan dan lahan. Selain persoalan lahan, PKMT juga merubah sistem pemerintahan tradisional Mentawai. Pemerintahan tidak lagi berbasis suku dengan aturan adat-istiadatnya. Semua aspek kehidupan masyarakat diatur oleh Negara/Pemerintah.

Sebagai warga dan kepala desa, Selester Sagurujuw berupaya untuk mempertahankan nilai-nilai budaya dan adat-istiadat Mentawai dalam sistem pemerintahan desa. Intervensi pemerintah kecamatan juga dirasakan Selester cukup mengganggu dan merugikan warga desanya. Terutama dalam hal pengelolaan dana-dana bantuan di desa. Desa hanya diperlakukan sebagai objek pembangunan, sementara kecamatan mendapat untung dari penyaluran dan pemanfaatan dana desa yang tidak transparan  dari kecamatan. Pemerintah kecamatan juga dianggap terlibat dalam kasus pelepasan lahan 360 hektar oleh warga Rogdok. Untuk hal ini, Selester berupaya melakukan perlawanan terhadap pemerintah kecamatan Siberut Selatan. Salah satunya dengan mengundurkan diri sebagai kepala desa setelah dua tahun menjabat.

Bersama NGO (Non Goverment Organization) lokal, pada tahun 1998, Selester membentuk Dewan Adat di Dusun Rogdok. Dewan Adat ini berjuang bagi pengakuan kembali hak-hak adat masyarakat terhadap hutan dan lahan  yang di klaim oleh pemerintah sebagai Hutan Negara. Dewan Adat juga berjuang terhadap pengakuan dan keterlibatan suku-suku dalam pemerintahan desa. “Adat-istiadat dan tradisi harus diintegrasikan dalam sistem pengambilan keputusan dan pembangunan desa,” kata Selester.

Selester juga terlibat dalam advokasi penyelamatan hutan dan hak adat masyarakat yang dikuasai oleh HPH (Hak Pengusahaan Hutan) Koperasi Andalas Mandiri (KAM). Pengetahuan dan wawasannya tentang aturan adat-istiadat dan sejarah klaim kepemilikan lahan suku-suku di Siberut, membuatnya banyak dimintai pendapat oleh warga di dusun-dusun maupun desa-desa lainnya di sekitar areal konsesi HPH. Demikian pula ketika ada perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit yang ingin masuk ke Mentawai, khususnya Siberut, Selester terlibat aktif dalam penggalangan dan aksi-aksi penolakan masyarakat.

Pada tahun 2003, Selester terpilih menjadi salah seorang inisiator dan pengurus AMA-PM (Aliansi Masyarakat Adat-Peduli Mentawai) yang merupakan aliansi dewan-dewan adat. Sebagai wadah perjuangan yang lebih besar terhadap pengakuan hak adat masyarakat terhadap hutan dan lahan. AMA-PM kemudian berkembang menjadi AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) Daerah Mentawai  dalam upaya memperbesar dukungan perjuangan masyarakat adat pada  jenjang nasional.

Dalam kepengurusan dan gerakan-gerakan perjuangan Dewan Adat dan AMA-PM, peran perempuan memang belum terlihat. Budaya patriarki di Mentawai masih memposisikan laki-laki sebagai pengambil keputusan. Kaum perempuan tidak memiliki peran strategis, meskipun sudah mulai diwacanakan. Keterlibatan dan peran perempuan mulai terlihat pada AMAN Daerah Mentawai. Pengambilan keputusan sudah mulai melibatkan perempuan. Program-program peningkatan kapasitas perempuan dalam ranah publik juga sudah dilakukan.

Selester prihatin terhadap kondisi tersebut. Namun, keprihatinan Selester justru menjadikan dirinya dianggap tidak konsisten. Selester sebagai pendiri dewan adat dan pejuang masyarakat adat dianggap tidak konsisten memperjuangkan adat dan budaya Mentawai. Pemikiran-pemikirannya dan gerakannya dalam memperjuangkan kesetaraan gender tidak jarang dianggap sebagai “pembelotan” terhadap adat istiadat.

Dirinya serasa membentur tembok yang tebal dan tinggi. Perjuangan untuk kesetaraan gender justru berasal dari lingkungan suku dan warga lainnya yang masih berpegang teguh pada adat istiadat.

Selester menyadari, meski kesadaran perempuan untuk berperan dalam memperjuangkan hak-haknya ini masih sangat minim sehingga hal tersebut menjadi tantangan tersendiri untuk menyadarkan atau mengaorganisir kelompok-kelompok perempuan adat.

“Selanjutnya, belum adanya perwakilan perempuan di BPD (Badan Perwakilan Desa) sehingga mempersiapkan dan membekali perempuan untuk duduk di BPD merupakan salah satu tantangan tersendiri karena masih minimnya pengetahuan perempuan terkait pemerintahan desa,” kata bapak dari empat anak ini.

“Minimnya akses informasi dan data terkait tata kelola hutan dan lahan, dikarenakan beberapa faktor. Salah satunya adalah kondisi geografis kepulauan dan juga masih enggannya badan publik untuk membuka informasi terhadap masyarakat. Itu menjadi hambatan dan tantangan bagi saya,” ujar Selester.

Untuk menebas hambatan tersebut, dalam setiap organisasi yang melibatkan dirinya baik sebagai penasehat maupun pengurus, Selester selalu mengingatkan tentang keterwakilan perempuan dalam struktur organisasi. “Agar perempuan terlibat dalam setiap pengambilan keputusan. Isu-isu strategis perempuan dalam tata kelola hutan dan lahan juga sering menjadi topik dalam pembicaraan atau pembahasan saya di setiap kegiatan yang melibatkan saya sebagai narasumber.”

Selester juga terlibat aktif dalam upaya pelestarian Budaya Mentawai. Dia sering diminta menjadi narasumber dalam seminar, workshop, lokalatih, dll. yang terkait dengan Budaya Mentawai. Isu-isu kesetaraan gender dan pengalaman-pengalaman pribadi dan keluarganya terkait peran dan posisi laki-laki dan perempuan, sering dijadikannya sebagai topik diskusi.

“Saya juga mengorganisir masyarakat baik laki-laki dan perempuan untuk menyadarkan kelompok-kelompok masyarakat tersebut akan hak dan kebutuhan terhadap tata kelola hutan dan lahan yang baik. Lalu melakukan dialog dan lobi bersama masyarakat dan pemerintahan desa untuk adanya satu perempuan yang ditunjuk secara langsung tanpa ikut pemilihan untuk duduk sebagai BPD,” urai Selester panjang lebar.

Selester juga tak kenal lelah dan selalu aktif mengorganisir masyarakat adat setempat untuk bersama-sama membuat usaha bersama di lahan yang sudah dikuasai oleh masyarakat. Dia juga terlibat aktif dalam pelatihan sengketa informasi publik dan juga aktif dalam mendorong penetapan Perda pengakuan dan perlindungan masyarakat Hukum Adat Mentawai.

Kerja keras tak pernah menghianati hasil. Berkat perjuangan Selester bersama warga Rogdog dibantu NGO lokal, warga Rogdog berhasil mendapatkan kembali tanah mereka dari penguasaan Depsos. Dari 360 hektar tanah yang diklaim oleh Depsos telah diserahkan kepada warga. Akhirnya hanya 36 hektar yang berhak dimiliki oleh Depsos dan selebihnya kembali menjadi tanah adat warga.

Bersama warga, aktivis lingkungan dan NGO-NGO, Selester juga terus aktif dalam upaya-upaya penolakan terhadap perusahaan-perusahaan kayu dan usaha pemanfaatan hutan dan lahan yang eksploitatif, baik di wilayah Desa Madobag maupun di daerah-daerah lainnya di Mentawai.

Selester juga mengawal proses penyusunan Perda Pengakuan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Mentawai, dia bahkan terlibat aktif dalam hearing, dialog, seminar, informal meeting yang dilakukan dengan DPRD maupun eksekutif Mentawai sampai Perda-nya sudah disahkan.

Selester pun terlibat aktif dalam upaya pelestarian Budaya Mentawai. Memeski demikian, dia juga ikut mendorong kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam adat Mentawai. Seperti diketahui, dalam adat Mentawai cenderung didominasi oleh laki-laki. Misalnya pada hak dalam penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan hutan dan lahan, hak-hak waris, dan sebagainya. Peran laki-laki lebih dominan.

Semua cita-cita dan harapan Selester diperjuangkan agar terwujud. Dia memulai dari sektor domestik. Dalam tradisi Mentawai, laki-laki memiliki posisi yang ‘dimuliakan’. Semua kebutuhan laki-laki menjadi tanggung jawab perempuan. Bekerja di dalam rumah merupakan hal yang tabu karena dapat merendahkan derajat kaum laki-laki. Sedangkan perempuan harus menanggung semua beban kerja domestik dan juga membantu pekerjaan laki-laki dalam sektor ekonomi dengan bekerja di hutan dan ladang, agar mendapat predikat sebagai perempuan ideal.

Selester mulai mendobrak tradisi itu dengan berani bekerja membantu istri di sektor domestik. Dia tak sungkan mencari dan mengumpulkan kayu bakar, memasak, mencuci, dan mengasuh anak. Meski mendapat ejekan dari warga lain bahkan protes keras dari anggota suku/uma, Selester tetap pada prinsip bahwa semua beban kerja dapat dibagi antara laki-laki dan perempuan, demi kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga itu sendiri.

“Saya juga menanamkan prinsip ini kepada empat anak laki-laki saya, dengan tidak membedakan peran anak laki-laki dan perempuan di keluarga. Keluarga kami menjadi contoh atau referensi bagi kaum perempuan lainnya untuk mengajak kaum laki-laki terlibat dalam beban rumah tangga. Setelah bertahun-tahun, akhirnya kaum laki-laki mulai mau berbagi peran dengan perempuan tanpa mendapat ejekan dan hinaan lagi dari masyarakat,” cerita Selester.

Bukan hanya urusan domestik, dominasi laki-laki juga sangat terasa dalam aturan adat, dampak perceraian memberikan hak asuh anak sepenuhnya pada laki-laki. Perempuan tidak memiliki hak lagi terhadap anak tersebut, meski masih dalam usia balita. Ketika salah seorang putrinya bercerai, anak dari perkawinannya itu diasuh oleh mantan suami dan keluarganya. Anak yang masih balita itu harus terpisah dari ibunya. Selester berupaya menegosiasikan hal ini pada keluarga mantan menantunya, mengingat sang cucu masih sangat membutuhkan ibunya.  “Karena anak tidak hanya akan terganggu secara fisik tetapi juga psikologi. Saya meminta agar sang ibu juga diberi hak untuk mengasuh anaknya terlebih pada masa-masa pertumbuhan emasnya,” ujarnya.

Tak mudah impian itu. Selester harus berjuang keras sebab aturan adat tidak memungkinkan hal tersebut terjadi. Dengan segala daya upaya Selester akhirnya berhasil meyakinkan anggota sukunya dan juga suku lainnya bahwa tumbuh kembang dan kebahagiaan anak tidak hanya diatur oleh aturan adat. Sang ibu kemudian diberi hak untuk mengasuh anaknya meski pada waktu-waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Peristiwa ini juga menjadi contoh bagi orang lain yang mengalami kasus yang sama.

Demikian pula ketika seorang perempuan bercerai atau pun ditinggal mati oleh suaminya, maka ia harus meninggalkan rumah, anak-anak dan semua hartanya selama perkawinan dan harus kembali ke rumah ayah atau saudara laki-lakinya. Meski sang perempuan masih sangat muda ataupun sudah sangat tua, aturan adat ini tetap berlaku.

Selester juga menentang aturan itu. Ketika ibunya menjanda pada usia yang sudah tua, ia tidak membiarkan sang ibu kembali ke rumah saudara laki-lakinya. Ia meminta sang ibu tinggal di rumahnya. Meski sempat ditentang oleh saudara-saudaranya, ia tetap bertahan dengan keputusannya demi kenyamanan sang ibu di masa tuanya. Peristiwa inipun akhirnya mulai menjadi contoh bagi warga lainnya tidak hanya di Dusun Rogdok. Kini makin banyak ditemukan janda-janda yang ditinggal mati suami masih bisa tinggal di bersama anak-anaknya.

Soal hak waris, perempuan sama sekali tidak memiliki hak mendapatkan harta dari orang tua maupun warisan sukunya, apalagi dari keluarga suaminya. Tetapi bagi Selester, semua anak-anaknya memiliki hak yang sama terhadap harta -tanah dan lahan- yang dimilikinya. Ketiga putrinya yang sudah menikah masih diberi hak terhadap lahan yang dimilikinya. Meskipun hak waris baru akan diberi ketika orang tua meninggal dunia, tetapi secara lisan Selester sudah memutuskan untuk tetap memberikan sebagian hartanya pada anak perempuan.

“Saya berencana akan membuat surat waris agar ketika saya tiada, anak-anak perempuan tetap mendapat warisan dan untuk mencegah konflik antara anak-anak laki-laki dan perlawanan dari saudara-saudara laki-lakinya,” pungkasnya.

 

 

Riwayat Hidup

 

Nama                                       : Selester Sagurujuw

Tempat /Tanggal Lahir             : Rogdog, 20 Oktober 1957

Jenis Kelamin                          : Laki-Laki

Pendidikan                               : 1960 – Sekolah Katekis

Pekerjaan                                 : Tani

Alamat                                     : Dusun Rogdog, Desa Madobag, kecSiberut Selatan, Kab Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.

Sektor yang diperjuangkan      : Hutan dan lahan