Serat Alami Pengganti Plastik

Profesor J. Carson Meredith dari Sekolah Teknik Kimia dan Biomolekuler Georgia Tech, memegang bahan kemasan baru yang terbuat dari kitin kepiting dan selulosa bersumber dari serabut pohon. | Allison Carter /Georgia Tech

Kemasan yang terbuat dari pohon dan cangkang ini bisa lebih banyak diproduksi karena banyak industri makanan yang membuang sia-sia cangkang kepiting.

Sampah plastik menjadi permasalahan lingkungan hidup serius yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia dan dunia. Berbagai terobosan sudah dilakukan, namun limbah plastik tak kunjung teratasi.

Mengutip The New York Times, dari sekitar 300 juta ton plastik yang diproduksi di seluruh dunia dalam satu tahun, hanya 10 persen yang diolah ulang. Sisanya menjadi sampah dan sekitar 7 juta ton berakhir di laut.

Tapi jangan resah, kini ada harapan untuk menanggulangi salah satu masalah terbesar dalam lingkungan hidup tersebut. Adalah para peneliti dari Institut Teknologi Georgia, AS, yang menemukan peluang alternatif untuk mengatasi masalah sampah plastik, yakni mengganti plastik dengan serat alami.

Dalam hasil penelitian yang dipublikasikan di ACS Sustainable Chemistry and Engineering, sebagaimana disebutkan Newsweek, mereka menggunakan serabut pohon dan cangkang kepiting untuk menggantikan kemasan atau bungkus plastik yang digunakan untuk menjaga makanan agar tetap segar.

Untuk membuat bahan menyerupai plastik, para peneliti mengambil kitin dari cangkang kepiting. Kitin adalah komponen utama dari eksoskeleton (lapisan terluar untuk melindungi tubuh hewan) kepiting serta serangga dan jamur.

Tidak hanya sebagai pelindung hewan, kitin juga merupakan biopolimer alami paling populer kedua setelah selulosa yang berasal dari pohon. Sebelumnya, peneliti hanya meneliti selulosa untuk mengatasi masalah sampah.

Setelah itu, tim merancang metode untuk membuat film dengan merendam nanoserat kitin, dan selulosa ke dalam air dan menyemprotkannya ke permukaan dengan lapisan bolak-balik. Setelah dikeringkan sepenuhnya, mereka menemukan campuran keduanya telah berubah menjadi sesuatu yang fleksibel, kuat, dan transparan.

“Tolak ukur utama yang kami bandingkan adalah PET (polyethylene terephthalate), salah satu bahan dasar yang paling umum digunakan dalam kemasan transparan yang sering Anda lihat di mesin penjual otomatis dan botol minuman ringan,” kata Profesor J. Carlson Meredith seperti dikutip News Georgia Tech 23 Juli 2018.

Meski secara kasatmata terlihat mirip PET, para ahli menegaskan bahan yang mereka ciptakan lebih bagus untuk kesehatan manusia. PET bukanlah pilihan terbaik, kata mereka.

Meredith menjelaskan bahwa sulit bagi molekul gas untuk menembus kristal padat, karena mereka harus melewati struktur kristal. PET di sisi lain memiliki sejumlah besar konten amorf atau nonkristal, jadi ada lebih banyak jalur yang lebih mudah bagi molekul gas kecil untuk menemukan jalannya.

Itu artinya, teknologi yang diciptakan Meredith dan timnya akan membuat makanan lebih segar dan tahan lama karena lebih sedikit racun yang mampu menembus kemasan.

Meredith dan timnya juga baru menyadari bahwa kitin dapat digunakan sebagai alternatif pengemasan produk setelah mereka menemukan kitin bermuatan positif, di sisi lain selulosa bermuatan negatif. Menurut para ahli, jika kedua bahan yang berlimpah biopolimer itu dikawinkan maka akan tercipta lapisan dengan kualitas unggul.

Selain keuntungan itu, mungkin kemasan yang terbuat dari pohon dan cangkang ini bisa lebih banyak diproduksi. Apalagi banyak industri makanan yang membuang sia-sia cangkang kepiting.

Para ilmuwan menyadari bahwa penelitiannya belum sempurna dan masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan agar material baru ini bisa bersaing dengan kemasan plastik PET serta proses manufaktur yang memaksimalkan skala ekonomi perlu dikembangkan. Selanjutnya, mereka perlu menemukan cara untuk memproduksi secara massal dan meningkatkan kemampuannya dalam memblokir uap air.

Terlepas dari beberapa kendala tersebut, penemuan ini telah memberikan peluang hadirnya alternatif baru yang berkelanjutan untuk menggantikan plastik.#

Alhasil sebelum dirangkai menjadi baterai, sari tomat ditambahkan biopolimer berupa agarose untuk menjadi elektrolit berbentuk gel. Penambahan agarose mampu meningkatkan densitas atau kerapatan elektrolit. “Rapatnya elektrolit membuat nilai tegangan listik menjadi tinggi,” ujar mahasiswa pascasarjana ITS asal Surabaya itu. Febrilia Agar Pramesti, ketua kelompok penelitian tersebut, mengatakan, tegangan listrik yang dihasilkan dan diperoleh yakni 1 volt dengan memberikan perlakuan melalui perbandingan volume sari tomat dan agarose encer sebesar 1:2. Sedangkan untuk agarose encer sendiri dibuat dengan melarutkan biopolimer agarose ke dalam air dengan perbandingan volume 1:3. “Nilai tegangan 1 volt yang dihasilkan itu hanya dalam skala kecil. Bisa jadi jika dilakukan scale up atau pembesaran skala volume, tegangan listrik pada baterai gel ini akan lebih besar,” katanya. Baterai gel dari buah tomat ini juga dinilai tim mampu menghasilkan tegangan dan arus yang sangat stabil. “Kami menjalankan baterai selama 30 menit, tegangannya menjadi 0,985 volt, hanya selisih 0,015 volt saja, selisih ini sangat sulit diperoleh pada penelitian baterai umumnya,” ujar Febri. Melalui inovasi ini tim berharap baterai gel dari buah tomat bisa digunakan oleh masyarakat sebagai baterai yang ramah lingkungan. Mereka juga berharap karya mereka mampu mengantarkan timnya untuk lolos bertarung di ajang Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas) ke-31 yang bakal digelar pada Agustus mendatang di Yogyakarta.#