Pegiat Lingkungan

Pahlawan Biopori dari Malaka Sari

Inilah sosok perempuan penggerak yang bekerja dalam sunyi dengan melakukan #AksiHidupBaik. Aktif menjadi Duta Urban Farming, Sere Rohana Napitupulu adalah perempuan penggerak pelestarian lingkungan di kompleks Bumi Malaka Asri, Jakarta Timur. Lebih dari 500 lubang biopori telah dibuat bersama warga, memilah sampah, membuat kompos, hingga menginisiasi berdirinya bank sampah di lingkungan tinggalnya. 24 jam dalam sehari, dia hibahkan waktunya untuk berbagi ilmu tentang urban farming bagi masyarakat yang membutuhkan dampingan. Tak muluk-muluk, Sere ingin merawat bumi demi masa depan anak dan cucu.

Matahari baru sepenggalah ketika belasan burung pipit hinggap di rating pepohonan yang tumbuh di sepanjang kawasan kompleks perumahan Bumi Malaka Asri, kelurahan Malaka Sari, Duren Sawit, Jakarta Timur. Meskipun hujan mengguyur deras semalam, tak terlihat genangan air, alih-alih sampah yang berserakan di jalanan.

Itulah istimewanya kawasan Perumahan Bumi Malaka Asri yang sejak sepuluh tahun terakhir sudah memiliki ratusan lubang biopori di banyak titik untuk membantu air masuk ke dalam bumi.

“Dulu kami belum tahu apa kegunaan lubang biopori. Saya anggap lahan kosong yang dulu banyak di sini itu sebagai resapan air,” kata Sere Rohana Napitupulu, mengawali pembicaraan dengan tokohinspiratif.id.

Pola pikir Sere terhadap lingkungan mulai berubah saat dirinya aktif di komunitas ibu-ibu PKK pada 2006. Didapuk menjadi Ketua Pokja 3 yang membawahi urusan perumahan, tata laksana rumah tangga, dan lingkungan, Sere mulai menggeluti urban farming.

Ajang Jakarta Green and Clear 2009 yang digelar salah satu CSR perusahaan, menjadi tantangan bagi Sere dan ibu-ibu yang ada di lingkungannya. Sere ditunjuk menjadi pendamping RW untuk ikut ambil bagian dalam lomba tersebut.

Awalnya dalam benak Sere, kavling-kavling kosong yang ada di lingkungannya bisa menjadi lahan resapan air hujan. Pikirnya, alang-alang dan lahan kosong bisa menampung air hujan yang jatuh dari langit. Nyatanya tidak sesederhana itu.

“Saya kemudian tahu alang-alang di lahan itu hanya menyerap air 10 senti ke dalam tanah. Dari itulah makanya saya bikin lubang biopori di fasilitas umum,” kata Sere yang mengaku pada saat itu mulai banyak belajar tentang lubang resapan biopori.

Memasuki 2010, Sere didapuk menjadi ketua rukun tetangga (RT). Mandat yang diterima dari warga dan ibu-ibu di lingkungannya dimanfaatkan Sere untuk membuat lebih banyak lubang biopori.

Sere lalu membuat kebijakan setiap rumah yang masih ada halamannya, wajib membuat lubang resapan biopori. Tak hanya itu, warga di tiap rumah juga wajib menamam minimal 5 pot tanaman, terserah mau menanam apa saja.

Setelah dirinya berkesempatan belajar langsung dengan penemu lubang resapan biopori, Prof. Kamir Brata dari Institut pertanian Bogor, pengetahuan Sere tentang biopori makin mendalam. Lubang biopori, katanya, bisa dibuat di mana saja dan tak memakan banyak lahan. Bila rumah terlalu sempit dan tak ada lahan tersisa, bisa bikin di fasilitas umum. Artinya, untuk membuat lubang biopori tak butuh biaya mahal, karena poin utamanya yang penting aktif dan banyak. Karena itulah Sere mewanti-wanti warga dan ibu-ibu di Jakarta khususnya, untuk tidak ragu membuat lubang resapan biopori.

Berkat kegigihannya, sekarang sudah ratusan biopori dibuat di lingkungan tinggalnya di Malaka Sari. “Sekarang di lingkungan sini sudah ada 514 lubang biopori aktif,” katanya bangga.

Sere mengaku banyak sekali dampak positif yang diterima lingkungannya karena keberadaan lubang biopori. Saat daerah lain mengalami kekeringan air tanah pada musim kemarau panjang, lingkungan tempat Sere berada tidak kekeringan sama sekali.

Keuntungan lain, kata Sere, sampah basah yang bisa diserap ke lubang biopori membuat tanaman di lingkungannya tumbuh sehat dan berbuah banyak. Lubang biopori ternyata mampu memperbaiki unsur hara tanah, yang membuatnya semakin subur.

Yang pasti, dengan banyaknya lubang resapan biopori, lingkungan tempat Sere berada tidak pernah kebanjiran. Bahkan genangan air sehabis hujan pun tak terlihat karena sudah masuk ke lubang biopori.

Dari lubang biopori, pada 2010, Sere kemudian mengajak warganya untuk melakukan pemilahan sampah. Setelah sampah dipilah, Sere kemudian punya kebijakan lain, yaitu membuat komposter dari sampah rumah tangga. Komposter dibuat sekreatif mungkin oleh warganya dengan memanfaatkan tong-tong dan kaleng bekas.

“Tong itu kemudian menjadi wadah sampah basah, sampah basah buangnya ke situ, sampah kulit buah, dan lain-lain tampung di situ. Bagian bawah tong lubangi dan dibikin keran, airnya jadi air lindi, itu bisa buat penyubur tanaman,” katanya.

Menurut Sere, sesungguhnya permasalahan sampah di Jakarta dapat diatasi dengan gerakan memilah sampah. Saat ini, sebanyak 60-67 persen sampah basah yang mendominasi mendominasi sampahnya orang Jakarta. Karena sampah tak dipilah, semua diangkut ketempat pembuangan sampah terpadu di Bantar Gebang. Padahal, menurut Sere, pemecahan masalah itu sangat sederhana, yaitu warga Jakarta mau mengelola sampah basah mereka sendiri.

“Kalau semua punya kesadaran itu, aman kita semua. Bantar Gebang gak sampe kayak gitu,” kata Sere.

Bank sampah

 Sere memang bukan tipe perempuan yang selalu ingin bergerak dan melakukan berbagai kegiatan produktif. Dari kegiatan memilah sampah, lalu dia memunculkan ide membuat bank sampah. Tujuannya untuk menampung sampah kering.

Tak butuh waktu lama, atas swadaya masyarakat sendiri, bank sampah di lingkungan Sere akhirnya terbentuk. Ke bank sampah inilah sampah-sampah kering dikumpulkan diubah menjadi rupiah.

Sere mengatakan, hingga saat ini sudah ada lebih dari 340 nasabah tetap di bank sampah tersebut. Bahkan ada nasabah yang datang dari luar lingkungannya.

Sebaliknya, bila ada warga yang tidak mau ikut sebagai nasabah bank sampah, dia tak memaksa. Namun dengan catatan, sampah kering di rumahnya harus digantungkan di depan pagar agar para pemulung atau tukang sampah mengambilnya.

“Itu kan jadi amal. Karena kalau sampah kering sudah bercampur sampah basah itu sudah gak bernilai ekonomi,” katanya.

Waktu berjalan, Sere mulai memikirkan bagaimana caranya agar bank sampah tak hanya menjadi tempat penampungan sampah kering, tapi juga benar-benar memutar perekonomian, atau paling tidak menjadi penghasilan bagi petugasnya.

“Kami menyadari bank sampah ini sebenarnya kerja sosial. Gimana enggak, dari lebaran ke lebaran itu paling besar hanya Rp600 ribu. Coba bayangin 11 bulan hanya Rp600 ribu,” katanya.

Dia kemudian membuat sistem bank sampah, yaitu 30 persen untuk bank sampah dengan rincian 10 persen untuk yang milah, 10 persen untuk administrasi, dan 10 persen untuk petugas. Ketentuan itu disepakati bersama oleh warga dan ibu-ibu di lingkungannya.

“Pemasukan bank sampah gak cuma dari sampah, karena di sebelah bank sampah ada urban farming, menanam tanaman pangan. Itu juga bisa dijual, ini sebentar lagi kita panen, bayemnya sudah bisa dibeli. Biasanya warga juga beli di sini,” katanya.

Urban Farming

Apa yang dilakukan Sere dengan memperbanyak lubang resapan biopori, memilah sampah, hingga membangun bank sampah secara swadaya, ternyata berkaitan erat dengan hobi urban farming yang selama ini digelutinya. Banyak orang bingung bagaimana memulai urban farming, padahal resepnya hanya satu, yaitu kemauan.

“Sebetulnya gampang, saya sudah coba. Gak usah yang susah-susah, yang ada di rumah saja, seperti menanam tomat dan cabe,” katanya.

Tidak perlu risau dengan lahan sempit. Karena, urban farming memang awalnya gerakan menanam dari mereka yang hidup dalam ruang terbatas. Soal gangguan tikus? Itu perihal gampang. Sere mengatakan, dirinya biasa memberikan cangkang telur ke tanamannya.

“Taruh saja itu cangkang telur di pot, selama itu tidak ada tikus ngacak-ngacak tanaman saya. Kalau sudah lama itu kita ancurin, itu bisa jadi kalsium buat tanaman. Artinya apa, gak ada sampah yang terbuang, kan?” kata peraih penghargaan Kalpataru DKI Jakarta tahun 2014.

Menurut Sere, banyak hal baik yang diperoleh dari kegiatan urban farming. Salah satunya adalah dampak positif bagi lingkungan. “Tanaman akan menghasilkan oksigen. Apa pun jenis tanamannya dan cara budidayanya pasti akan berdampak positif untuk lingkungan walau hanya sesaat,” katanya.

Menurut Sere kegiatan pertanian perkotaan dapat mengubah pemikiran orang perkotaan menjadi lebih peduli lingkungan. Dampak lainnya adalah, masyarakat mulai rajin memilah sampah, dimana sampah organik bisa dipergunakan sebagai pupuk untuk tanaman mereka, sedangkan sampah anorganik bisa dijual ke bank sampah.

Sere menyayangkan warga, khususnya di Jakarta, yang selalu menyalahkan pemerintah soal sampah. Warga protes ketika tukang sampah tidak datang berhari-hari, atau mengeluh saat iuran sampah naik. Padahal itu sampah mereka sendiri.

“Janganlah terus menuntut pemerintah, kenapa tidak mulai dari diri sendiri. Itu kan sampah kamu sendiri,” ucap Sere yang mempunyai visi merawat bumi untuk masa depan anak dan cucu kita.

***

Sere Rohana Napitupulu lahir di Surabaya, 12 Mei 1959. Tumbuh besar di Jakarta, anak kelima dari sepuluh bersaudara ini lahir dari keluarga berkecukupan namun terbiasa dengan kehidupan sederhana dan pendidikan disiplin dari kedua orangtuanya.

Meski di rumah bergelimang fasilitas, bahkan ada ajudan yang selalu mendampingi, Sere tetap tumbuh menjadi anak yang mandiri. Terbukti ketika sang ayah, Alm. Manonga Napitupulu, mendapat penugasan sebagai Pangdaeral di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, dan ibundanya almh. Mutiara Tua Batubara juga harus mengikuti dinas suami, Sere dan satu orang abangnya memilih tinggal di Jakarta bersama seorang asisten rumah tangga.

“Orangtua saya memberi saya kepercayaan. Itu hal luar biasa bagi saya. Jadi setiap apa yang saya lalukan, saya harus paham konsekuensinya,” kenang Sere yang bercita-cita menjadi arsitek namun tak disetujui oleh orangtuanya, karena menganggap profesi terlalu maskulin bagi seorang perempuan.

Penggemar ilmu-ilmu eksakta ini menamatkan sekolah menengah atas di SMA Negeri 4 Jakarta yang berada di kawasan Gambir, Jakarta Pusat. Sedangkan untuk pendidikan tinggi, pilihannya jatuh pada Fakultas Teknik Elektro Universitas Kristen Indonesia.

Menyandang gelar insinyur teknik, namun Sere memilih untuk fokus mengurus rumah tangga setelah dia berkeluarga. Meski demikian, sang suami, Mangatas Panjaitan, yang bekerja di sebuah perusahaan swasta nasional, memberinya kebebasan untuk tetap berkarya. Bahkan, ketika dirinya dipercaya menjadi Ketua Rukun Tetangga di lingkungan perumahannya, sang suami tak keberatan.

“Selain mengurus anak, kebetulan punya usaha dekor ruangan, bikin rangkaian bunga. Daripada bunga beli, saya coba mulai menanam dari rumah,” tutur Duta Urban Farming Bank Indonesia, 2015 ini.

Berbicara soal urban farming, Sere menceritakan, awalnya dia hanya menanam tanaman hias. Anggrek dan sansevieria jadi pilihannya. Selain perlu ketelatenan yang tinggi, menanam tanaman hias di rumah juga mampu membawa kebahagiaan. Berangkat dari hobi, Sere mulai mengajak ibu-ibu di lingkungannya untuk ikut menanam.

‘Virus’ menanam tanaman hias pun pun cepat menular. Terlebih, ibu dari tiga anak ini memberikan bibit sansevieria dan anggrek hasil perbanyakan stek secara gratis kepada mereka.

Ketua Bank Sampah Asri ini mengatakan, sebenarnya orang Jakarta banyak sekali yang ingin menanam. Mereka punya keinginan yang kuat untuk itu. Tapi informasi yang datang ke mereka soal urban farming, tanaman hidroponik, itu masih sedikit. Edukasi masih dirasakan kurang. Tak heran jika Sere kerap pergi ke kampung-kampung, ke rumah susun, demi memberikan pengetahuan soal tanaman hidroponik.

Bahkan, Sere tak canggung memberikan pelatihan kepada warga di kampung halamannya, di Balige, Sumatera Utara, untuk mengelola lingkungan supaya lebih bersih dan sehat. Sere mengajari bagaimana kotoran dari peternakan babi bisa diolah menjadi kompos dan dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman.

Telepon selulernya terbuka 24 jam untuk menerima semua pertanyaan warga tentang cara bertanam hingga teknik membuat kompos. Sere juga tak lelah mengajarkan anak-anak di sekolah untuk memilah sampah. Jika tak punya bank sampah, paling tidak mau memisahkan sampahnya saja sudah baik.

“Saya bahagia bila bisa bermanfaat bagi banyak orang dengan mengajak masyarakat untuk bertani dan mencintai lingkungan,” kata Tokoh Penggerak Versi IndoPos 2012 ini.

Kini, kerja keras Sere terhadap lingkungan berbuah manis. Segudang penghargaan telah ia raih bersama ibu-ibu dan warga sekitarnya. Diantaranya adalah pada 2011, bank sampah di lingkungannya menjadi terbaik di DKI Jakarta versi Jakarta Green and Clean (JDC), dirinya juga di dapuk menjadi Tokoh Penggerak Versi Indopos (2012), Kalpataru Jakarta Timur (2013), lingkungannya Juara III Urban Farming Bank Indonesia (2015), lingkungannya Juara I DKI Jakarta Gerakan Menanam Jahe Merah (2018), lingkungannya menjadi Juara II Nasional Hatinya PKK (2018), dan berderet penghargaan lain.

Terbaru adalah terpilihnya Sere sebagai penerima Ibukota Awards Tahun 2019 bidang pelestarian lingkungan. Pemberian penghargaan berlangsung di Senayan City, Jakarta, Jumat, 20 Desember 2019.

Namun demikian, bagi Sere, hadiah teridah dari semua penghargaan itu adalah kelestarian lingkungan dan kesadaran masyarakat untuk mau bersama-sama menjaga lingkungan dan melestarikannya. Sere berharap kepada seluruh masyarakat Jakarta, siapa pun itu, baik ibu-ibu, bapak-bapak, dan anak muda, untuk mau memulai memilah sampah rumah tangga mereka sendiri. Mau memulai untuk menanam, dan membuat lubang biopori.

“Supaya ke depan, anak dan cucu kita masih bisa merasakan sumber air tanah yang bersih, udara bersih. Kalau semua serius, 10 tahun urban farming bukan hanya tren, tapi bisa menjadi solusi ketahanan pangan kita,” katanya.

Di usianya yang tidak lagi muda, Sere juga berharap ada regenerasi. Anak muda harus turun tangan mengambil peran menghadirkan suasana lingkungan sekitar yang humanis dan harmonis.

“Anak muda harus mau menanam,” kata Sere menutup perbincangan.

Riwayat Hidup

 Biodata

Nama               : Sere Rohana Napitupulu
TTL                 : Surabaya, 12 Mei 1959
Keluarga          : Menikah, memiliki 3 orang anak
Alamat                        : Jalan Melati IV No. 2 RT 007/RW 002 , Bumi Malaka Asri 1, Kelurahan Malaka Sari Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur – 13460
E-mail              : serenapitupulu@gmail.com

Pendidikan

1978-1984       Fakultas Teknik Elektro, Universitas Kristen Indonesia, Jakarta
1975-1977       SMAN 4, Jakarta

Kursus dan Training

2019    Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Pelatihan Pembuatan Kompos dan Magot
2019    Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Pelatihan Aplikasi Administrasi Bank Sampah
2018    Unilever Jakarta Pembinaan Bank Sampah Sistim Aplikasi
2017    Hidroponik Trubus Jakarta Pelatihan Pertanian Sistim Hidroponik
2016    Biofloc 165 Jawa Barat Pelatihan Pemeliharaan Ikan Sistim Biofloc
2015    Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta Pelatih Pertamanan Tingkat Lanjut
2014    Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta PelatihPertamanan Tingkat Lanjut
2012    MKBJ-II Indopos Jakarta Tokoh Penggerak Lingkungan
2012    MKBJ-I Indopos Jakarta Lingkungan
2012    Pelatihan Pertamanan DKI Jakarta Pelatih Pertamanan Tingkat Dasar
2011    Training for Training (TOT) Jakarta(BPTP Pertanian) Urban Farming
2010    Workshop LBR Jakarta Lingkungan Dengan LBR
2009    3-R Training Jakarta Pengelolaan Sampah
2008    Manajemen pengelolaan UKM Jakarta Usaha rumah tangga di Jakarta

Organisasi

2015 – sekarang          Paguyuban JELITA DKI Anggota-Pengembangan & Pelatihan
2014 – sekarang          FORMAPEL Jakarta Timur Anggota- Pengembangan & Pelatihan
2013 – sekarang          Ketua Unilever – Ibu Bercahaya
2012 – sekarang          Ketua Bank Sampah Asri RW 02
2011 – sekarang          Motivator pada JGC ( Jakarta Green and Clean )
2011 – sekarang          Paguyuban Jali-Two Jakarta Timur Sekretaris
2009 – sekarang          Ketua RT 007/ RW 02 Bumi Malaka Asri Ketua
2009 – 2010                Fasilitator JGC ( Jakarta Green and Clean )
2006 – sekarang          PKK Ketua POKJA 3 PKK

Penghargaan

2019    Penghargaan Ibukota Awards Tahun 2019 bidang pelestarian lingkungan.
2018    Juara 3 Bank Sampah Terbaik Se-Jabodetabek KLH & Unilever
2018    Juara 2 Nasional Hatinya PKK
2018    Juara 1 DKI Jakarta Gerakan Menanam Jahe Merah – Bintang Toedjoeh
2017    Apresiasi Masyarakat Peduli Persampahan KLH DKI Jakarta
2015    Duta Urban Farming Bank Indonesia
2015    Juara 3 Urban Farming Bank Indonesia, Trubus, & PKK DKI
2015    Juara 2 Olahan Cabe Bank Indonesia, Trubus, & PKK DKI
2015    Juara 2 Taman Herbal Bejo – Bintang Toedjoeh
2014    Kalpataru DKI Jakarta
2013    Kalpataru Jakarta Timur
2012    Tokoh Penggerak Versi IndoPos
2011    RW 02 Bank Sampah Terbaik DKI Jakarta JGC#