Singgih Susilo Kartono

Seniman

 

Inovasi Sepeda Bambu dan Idealisme Orang Ndeso

Singgih Susilo Kartono sukses mendesain dan memproduksi sepeda bambu yang mengharumkan nama Indonesia di mata dunia. Bagi Singgih, sepeda bambu Spedagi bukan hanya wujud sebuah produk berbasis sumber daya desa, namun juga menjadi picu awal lahirnya gerakan Revitalisasi Desa Spedagi. Sebuah gerakan yang bertujuan membawa Desa kembali ke harkat dasarnya sebagai komunitas lestari dan mandiri.

 

Sepeda kini telah menjadi salah satu alternatif alat transportasi favorit masyarakat perkotaan, selain bisa digunakan untuk berolah raga. Sepeda juga ramah lingkungan karena tidak menyebabkan polusi udara. Peluang inilah yang dimanfaatkan oleh Singgih Susilo Kartono untuk membuat sepeda dari bahan dasar bambu yang banyak tumbuh di kampung halamannya, Dusun Kandangan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.

Dengan sepeda bambu, Singgih yang cinta dengan sepeda dan concern dengan pedesaan ini ingin menggerakkan masyarakat desa dengan kegiatan-kegiatan positif dan juga menyenangkan. Keinginan Singgih ditopang oleh latar belakang pendidikannya yang mumpuni, yakni Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB)

Singgih sengaja memilih jenis bambu petung sebagai bahan kerangka sepeda. Bambu jenis ini memang bisa dimanfaatkan untuk berbagai macam kerajinan dan bangunan. Strukturnya yang kokoh bisa menahan beban sampai 75 kilogram atau bahkan lebih.

Dari segi bisnis, bambu juga cukup meyakinkan. Bambu yang biasanya dijual gelondongan dengan harga murah, namun bisa menghasilkan nilai jual tinggi ketika sudah dikreasikan. Seperti kreasi sepeda bambu ini contohnya. Dari satu batang bambu petung, Singgih mampu membuat lima hingga enam rangka sepeda. Harga bambu yang maksimal Rp 50.000 bisa dijual dengan harga sampai Rp 60 juta.

Di Temanggung, Singgih Kartono juga mempunyai komunitas Spedagi (Sepeda Pagi-pagi) yang mewadahi masyarakat untuk lebih mengenal potensi desa sambil bersepeda. Komunitas ini juga memiliki program SoBike (School on Bambu Bike), yakni bersekolah di atas sepeda bambu. Berbagai macam ilmu bisa didapatkan sambil bersepeda. Tentu saya ini menjadi daya tarik para milenial untuk bergabung dengan komunitas SoBike.

Bagi Singgih, sepeda bambu adalah sebuah bentuk ekspresi dari kekayaan alam desa yang tidak ada matinya untuk dieksplorasi. Berbagai macam kreativitas bisa dilakukan dengan bahan dasar bambu. Sepeda bambu juga menjadi salah satu bentuk kampanye supaya Urbaners mau bersepeda.

Selain itu, sepeda bambu ini diharapkan bisa menjadi sebuah gerakan sosial. Singgih ingin orang-orang lebih concern dengan keadaan sebuah desa, karena desa memiliki banyak potensi yang baik untuk dikembangkan.

Sebelum sukses dengan sepeda bambu, Singgih juga pernah membuat gebrakan dengan menciptakan radio kayu yang diberi label Magno Wooden Radio pada 2004. Tanpa diduga, radio kayu itu tumbuh menjadi produk desainer Indonesia yang mendunia. Radio kayu tersebut sampai ditetapkan sebagai salah satu produk termewah 2008 versi majalah Time.

Bukti lain bahwa karya radio kayu telah menjadi kelas dunia, saat kita men-searching kata kunci wooden radio di mesin pencari Google, Magno tampil di barisan teratas. Radio kayu hasil desain Singgih tersebut memang lebih banyak dipasarkan lewat online dengan menyasar pasar luar negeri.

Dengan karyawan sekitar 30 warga desanya, hingga saat ini pesanan radio kayu masih terus mengalir. Tiap tahun nilai ekspor radio kayu Singgih rata-rata mencapai 180 ribu dolar Amerika Serikat (Rp 2,3 miliar).

”Tapi, itu tadi, Magno masih belum bisa menjawab sepenuhnya kegusaran saya tentang desa,” ujar Singgih yang mengaku masih banyak gagasan di kepalanya yang ingin ditelurkan.

Berbicara tentang gerakan kembali ke desa, Singgih telah mengawalinya dengan kerja nyata. Adalah Pasar Papringan Ngadiprono yang menjadi proyek percontohannya. Pasar itu adalah salah satu proyek Revitalisasi Desa Spedagi.

Ketika itu Singgih melihat papringan (kebun bambu) merupakan aset desa tak terpelihara, hanya jadi tempat buang sampah. Atas ajakan Imam Abdul Rofiq, pemuda desa Ngadipuro, ia dan tim Spedagi, juga Fransisca Callista sebagai project manager, menyulap papringan yang kumuh, gelap, dan banyak nyamuk itu menjadi bersih tertata. Di sana warga menjual kuliner, kerajinan tangan dan hasil pertanian.

“Memulainya tidak dapat dibilang mudah,” tutur Singgih.

Tim Spedagi mengawali dengan melakukan pemetaan sosial. Warga didatangi dari pintu ke pintu. Puluhan kali pertemuan formal dan informal dilakukan barulah ditemukan konsep yang paling sesuai dengan warga dan potensi lokal. Sejak awal warga diajak turut memikirkan agar tidak terjadi kesan mereka akan menerima bantuan. Singgih ingin bukan sekadar pasar dalam arti fisik, namun sebuah aktivitas yang terorganisasi baik. 

Mereka pun merekoleksi makanan desa mulai dari gatot, tiwul, wedang, gudeg, sayuran dan buah-buahan hasil bumi, makanan kering, hingga mainan kayu. Lantas mereka merekonstruksi makanan, penampilan, rasa, cara menata, mengemas dan berjualan. Mereka hanya memakai bahan lokal, tanpa  terigu, MSG, dan pewarna buatan. Sebagai ganti terigu, warga membuat tepung dari beras dan ketela.

Alat pembayaran yang dipakai adalah koin terbuat dari pring (bambu). Ide ini datang dari Liris, putri kedua Singgih yang membuat bazar sekolah dengan alat pembayaran khusus. Pring dicetak dan ditentukan nilainya. Satu pring senilai Rp2 ribu. Cara itu efektif dalam mengontrol penjualan.

Pasar tambah ramai karena propaganda gratis pengunjung yang menceritakan keunikan pasar melalui media sosial mereka. Orang berduyun-duyun datang dan menikmati desa tempo dulu, lengkap dengan penganan khas desa dan gending Jawa.

Sejak berdiri tahun 2016, sekitar 80 persen dari 110 kepala keluarga turut berdagang. Pasar dibuka dua kali selapan (35 hari) setiap Minggu Pon dan Minggu Wage, mulai pukul 6 pagi sampai pukul 12. Dibuka dua kali selapan agar ritme dan kultur desa tidak banyak berubah.

Sabtu adalah hari desa gotong-royong menyiapkan segala untuk ditampilkan di pasar. Keberadaan Pasar memberi kesegaran baru bagi warga desa. Petani menjadi lebih berpengetahuan sehingga hasil lebih produktif. Mereka pun diajar mengelola uang sehingga pendapat naik tidak dibarengi dengan menjadi konsumtif.  Sekarang ada sekitar 3.000 pengunjung setiap kali pasar buka.

Kini banyak berdiri pasar dengan konsep serupa. Apa yang dilakukan Spedagi sebenarnya membantu pemerintah dalam memberdayakan masyarakat dengan hasil yang dapat dibanggakan. Sudah semestinya pemerintah mendukung secara aktif dan rendah hati dalam mengadopsi ke konsep perencanaan pembangunan daerah.

Seterusnya ia ingin mengembangkan hal-hal yang mendorong kemandirian desa. Secara internal mandiri dalam hal keuangan dan pendidikan sehingga dapat tetap tinggal di desa. Secara eksternal, konsep pasar menjadi inspirasi dalam merevitalisasi desa lain. Ia ingin membuka kelas agar desa-desa lain dapat belajar tentang apa yang sudah mereka lakukan.

***

Singgih Susilo Kartono lahir dan besar di Dusun Kandangan, Temanggung,  Jawa Tengah, 51 tahun silam. Ia merasa menjadi anak yang beruntung. Ayahnya seorang guru yang kemudian menjadi kepala dinas kecamatan mewariskan kesederhanaan, jiwa kepemimpinan, dan pioneership.

Meski keluarganya tidak tergolong berada tetapi sang ayah mengupayakan agar kelima anaknya mendapat pendidikan tinggi. Ia kuliah di Jurusan Desain dan Produk FSRD ITB. Suami dari Tri Wahyuni ini mengaku berat pada tahun-tahun pertama kuliah. Pasalnya di SMA ia kurang serius melatih keterampilan kesenirupaan. Baru pada tahun kedua, kegemaran ngoprek  di masa kecil memberinya kemudahan dalam menyelesaikan tugas-tugas kuliah.

Setelah lulus tahun 1992, ia bekerja di PT Prasidha Adhikriya Bandung yang bergerak di bidang industri kerajinan kayu. Ia belajar langsung dari pendirinya, Surya Pernawa. Tahun 1995 ia balik ke desa dan merintis usaha mainan anak dari bahan kayu, bersama seorang partner. Singgih memang tidak menyukai kehidupan kota yang ramai dan padat. Di antara lima saudara, hanya ia yang kembali ke desanya, hingga sekarang.

Tahun 2003, Singgih memulai usaha sendiri yang diberi nama: Magno. Tahun 2005 Magno diroduksi dan merambah pasar. Melalui proses berliku, Magno mendapat banyak penghargaan desain internasional. Tahun 2008 Magno meraih penghargaan Good Design Award Jepang untuk kategori Innovation/Pioneering & Experimental Design. Pada 2009 Brit Insurance Design Award/Product of the Year Design Museum London. Magno dikenal luas di Jepang, Eropa, dan Amerika.

Semua itu dimulai dari kecintaannya pada materi kayu. Sewaktu kecil, Singgih betah berjam-jam nonton tukang kayu bekerja. Ia bikin mainan kayu atau bahan apa saja yang ada di desa. Mainan buatan pabrik masih langka saat itu. Kalau pun ada, tidak terjangkau harganya.

Penyuka teh manis ini sebenarnya tidak suka berolah raga, hingga suatu peristiwa terjadi pada 2013. Singgih sempat sakit lumayan parah karena kadar kolesterol di tubuhnya melonjak tinggi. Untuk menurunkannya, dia kemudian rajin berolahraga. Salah satunya dengan bersepeda mengelilingi pelosok desa di sekitar rumah.

Tanpa sengaja, ia melihat desain sepeda bambu karya Craig Calfee dan sangat terkesan.  Terinspirasi, ia pun mendesain sepeda bambu. Akhir tahun 2014 kegiatan produksi dimulai seiring penyempurnaan berkelanjutan dalam  hal desain dan proses produksi.

Singgih sengaja menggunakan Bambu Petung atau Dendrocalamus asper yang tersedia melimpah di desa dan sekitar tempat tinggalnya. Diameternya besar dan dindingnya tebal sehingga memungkinkan membuat rangka sepeda dengan ukuran seragam. Konstruksi bilah tangkup usuk bambu kerangka atap rumah menjadi sumber inspirasinya untuk meningkatkan kekakuan batang bambu. Bilah tangkup dihubungkan dengan sambungan metal dan membentuk kerangka sepeda. Desainnya lolos uji laboratorium dan kendara jarak jauh Jakarta-Madiun sejauh 750 km, dengan beban 90 kg tanpa kerusakan apapun.

Sepeda bambu itu diberi merek Spedagi – dari kata sepeda dan pagi. Dia sengaja memberdayakan para perajin lokal.

Spedagi pun sukses menarik orang luar ke desa. Fenomena inilah kemudian menginspirasi Singgih dalam menemukan solusi dari masalah umum desa, yaitu brain drain SDM terdidik dari desa ke kota. Kelak Spedagi bukan hanya merk namun gerakan yang mengajak anak-anak muda balik ke desa.

Tak hanya itu, perusahaan yang dijalankan Singgih juga terbukti mampu meningkatkan penghasilan warga di sekitarnya dan mengurangi pengangguran. Sebab, ia mengambil bahan dasar dari penduduk sekitar dan mengutamakan warga Temanggung dalam merekrut pegawai.

Saat ini, 95 persen produk yang dihasilkan oleh Singgih dan karyawannya diekspor ke Amerika Serikat, Brazil, hampir semua negara Eropa, Jepang, Korea Selatan, Hong Kong, Singapura, Australia, hingga Selandia Baru. Sementara, 5 persen lainnya dijual di kota-kota besar seperti Jakarta dan Bali.

Bagi Singgih, sepeda bambu Spedagi bukan hanya wujud sebuah produk berbasis sumber daya desa, namun juga menjadi picu awal lahirnya gerakan Revitalisasi Desa Spedagi. Sebuah gerakan yang bertujuan membawa Desa kembali ke harkat dasarnya sebagai komunitas lestari dan mandiri. (berbagai sumber)

Riwayat Hidup

Nama               : Singgih Susilo Kartono

Tempat Tanggal Lahir: Temanggung, 1 April 1968

Keluarga          : Menikah, memiliki 2 anak

Alamat                        : Krajan 1 RT 2 / RW 7 Desa Kandangan, Temanggung, Jawa Tengah, 56281

 

Pendidikan:

S-1 Jurusan Desain dan Produk Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung

 

Penghargaan

  • 2nd Winner International Design Resource Award (IDRA) Seattle, USA (1997)
  • Designing wooden-craft toys product ‘Anomali’ series (1996-2003)
  • Shortlisted Participant on International Design Competition ‘Tile with Crystal’ Swarovsky-Designboom.com (2004)
  • Juara Lomba Indonesian Good Design Selection 2005
  • Juara Lomba Indonesian Good Design Selection 2006
  • Good Design Award–Japan 2008 in the category Innovation/Pioneering & Experimental Design Activities
  • Grand Award “Design for Asia Award” 2008 dari Hongkong Design Centre

Kids Design Award Japan, 2013#