Srikandi Perintis Zero Waste di NTB

Tak sekadar membisniskan sampah plastik, Siti Aisyah juga mengedukasi warga kampung, maupun komunitas-komunitas anak muda di Nusa Tenggara Barat (NTB). Sukses mendirikan Bank Sampah NTB Mandiri, Aisyah melebarkan sayap ke berbagai kegiatan lingkungan, bisnis, dan sosial. Saat ini, tiga sekolah alam telah dia dirikan.

Sampah tak selamanya membawa petaka. Bagi mereka yang kreatif dan punya ide-ide besar, sampah adalah berkah. Kreativitas mengolah sampah bisa dilakukan tanpa batas. Bahkan sebagian besar orang yang bergelut menangani sampah ini menjadi jutawan.

Adalah Siti Aisyah, pendiri Bank Sampah  NTB Mandiri bisa melakukannya. Bahkan ia menjadi eksportir hasil-hasil kerajinan dari sampah yang selama ini dipandang sebelah mata oleh banyak orang.

Bank Sampah NTB Mandiri yang berbasis di ujung gang Kantor PLN Area Mataram atau Lingkungan Selaparang, Kelurahan Banjar, Ampenan, Nusa Tenggara Barat (NTB), telah sejak berdiri sejak 2011. Pola yang dikembangkan Bank Sampah NTB Mandiri ini bahkan telah menjadi sistem menuju Zero Waste atau NTB bebas sampah sejak lama.

Dengan ide kreatifnya, Aisyah berhasil menyulap sampah menjadi aneka ragam kerajinan menarik, seperti tas, taplak meja, gantungan kunci, tempat tisu, tikar, bahkan keranjang sampah. Harga jualnya boleh dibilang menggiurkan. Dari puluhan ribu, hingga jutaan rupiah untuk satu produk.

Saat ini ada tujuh orang yang dipekerjakan di Eco Lombok Craft, demikian Aisyah melabeli produk-produk berbahan sampah ini. Rata-rata mereka adalah penyandang disabilitas. Dari ketekunan dan tangan terampil mereka, lahirlah produk-produk sampah bernilai jual tinggi.

Umumnya, sampah yang diolah di Bank Sampah NTB Mandiri adalah sampah dari bungkus plastik. Ada juga dari botol-botol, baik botol plastik maupun botol kaca. Ada juga sampah dari bungkus semen dan ban dalam bekas.

Aisyah yang lebih dikenal dengan nama Aisyah Odist ini menyebut, sampah adalah nol. Jika dilihat sebagai sampah, dia tetap akan menjadi nol. Maka, diperlukan ide untuk menjadikan angka di atas nol. Misalnya, botol dapat dilukis warna –warni agar ia menjadi botol unik untuk pot atau hiasan.

“Sehingga sampah ini dijual dalam bentuk ide dan kreativitas. Tidak dijual dalam bentuk sampah.  Harganya sama saja nol,” kata penggemar olahraga bersepeda ini.

Hasil penjualan produk turunan sampah yang dibuat di Eco Lombok Craft, kemudian dijual di pasar lokal. Bahkan ada yang sudah dipasarkan ke luar negeri. Eco Craft Lombok memiliki produk sampah best seller. Ragam tas yang dibuat dari bahan ban dalam bekas. Mulai dari tas pinggang, tas laptop, ada juga tas kamera dan baru dibuat dalam bentuk dompet.  

Tas-tas itu dibuat dengan selera pasar modern dan bentuknya unik. Itulah yang membuat tas dari sampah ini melenggang ke luar negeri.

Kata Aisyah, tas-tas itulah yang dipesan oleh pembeli dari beberapa negara di Eropa. Seperti Jamaika, Belanda, Jerman, termasuk juga Australia. Permintaannya rutin. Dalam sekali permintaan, satu pemesan bisa mencapai 80 sampai 100 pcs. Harganya, mulai dari Rp100.000 hingga Rp500.000 per buah.

Ke depan, Aisyah berencana akan mengembangkannya menjadi beragam produk turunan. Proses pembuatannya juga tak memerlukan teknologi yang canggih. Modalnya hanya ide yang kemudian dikombinasikan menjadi sebuah produk hanya dengan bantuan mesin jahit.

Dari aktivitas bank sampah ini, omzet yang berputar di angka Rp50-an juta sebulan. Dari perputaran omzet ini juga, beberapa pekerja dari penyandang disabilitas mendapatkan gaji bulanan.

Mengajarkan masyarakat untuk sadar akan sampah dan pengolahannya bukan pekerjaan mudah. Karena itu, Aisyah mengatakan harus dibuat menjadi sistem. Sarannya, penanganan sampah dilakukan dari level pendidikan usia dini. Serta memasukkannya ke dalam kurikulum pendidikan.

“Mendidik masyarakat butuh puluhan tahun. Karena itu, harus dibiasakan dan diikat melalui jalur pendidikan,” demikian Aisyah.

***

Siti Aisyah, perempuan dari Ampenan, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, lahir dalam keluarga besar dengan kehidupan sederhana. Bungsu dari sebelas bersaudara ini harus berjuang menghadapi kerasnya hidup sejak masih belia.

Jalan hidup mengantarkan Aisyah memilih SMK Pariwisata untuk jalur pendidikan formalnya. Dengan pertimbangan, begitu lulus sekolah bisa langsung mendapatkan pekerjaan.

Benar saja, selepas SMK, Aisyah diterima bekerja di sebuah hotel berbintang, di Lombok. Tak ingin bekerja terikat, setahun kemudian Aisyah memilih mundur dan bekerja di sebuah biro perjalanan. Di sinilah petualangannya selama 13 tahun sebagai pemandu wisata dimulai. Dia berkeliling ke seluruh penjuru Asia dan menyelami budaya serta peradaban di setiap negara yang dikunjungi. Tak terkecuali dengan budaya pengelolaan sampah di sana.

Menjejaki berbagai macam pekerjaan juga telah dilakoni. Mulai dari berjualan bakso, bisnis distro, hingga produser film dan musik. Salah satu usahanya yang cukup besar adalah rumah makan di Batam, Kepulauan Riau. Merasa jenuh di Batam, Aisyah hijrah ke Jogjakarta.

Dia mendengar cerita dari kawan, Jogja itu kota pelajar, banyak potensi. Aisyah membayangkan dengan banyak mahasiswa dan pelajar dari berbagai daerah di Indonesia peluang bisnis terbuka lebar. Aisyah memutuskan memboyong usaha ke Jogja.

Perkiraan Aisyah meleset. Dia yang terbiasa bekerja keras di Batam, merasakan suasana di Jogja terlalu lambat. Harga-harga di Jogja juga terlalu murah. Usaha tidak berjalan mulus. Kemudian Aisyah kembali ke kampung halaman.

Menekuni bank sampah, akhirnya menjadi fokus kehidupan Aisyah. Menjadi pelaku bisnis di bidang sampah, katanya, membawa nilai baru baginya.

“Dulu saya pernah dagang macam-macam. Pernah dagang bakso juga. Selain itu, pernah bikin distro, buat desain, menjadi produser musik dan film dan macam-macam lagi profesi yang saya terjuni. Tapi entah kenapa, berkecimpung di bidang sampah, menawarkan hal positif yang ingin terus dan terus saya terjuni,” kata Aisyah yang sukses membuat film bergenre indi dengan judul Lombok Undercover (2008) dan Lombok I Love You (2010).

Di Kota Mataram, NTB, Aisyah tinggal di kampung padat penduduk. Banyak penduduk miskin dan banyak perempuan menganggur. Permukiman padat penuh sampah. Aisyah mencoba usaha kerajinan tangan. Salah satu yang dia lirik adalah kain perca.

Aisyah mendapatkan kain perca dari beberapa penjahit. Kebetulan di sekitar rumahnya, banyak penjahit. Aisyah juga melirik sampah plastik. Dia membeli sampah plastik dari pemulung seperti bungkus kopi, aneka camilan, sabun, shampo, dan sampah plastik lain.

Warga juga diminta mengumpulkan sampah rumah tangga mereka. Sampah itu “ditabung” di rumah Aisyah. Belakangan Aisyah menamakan itu “Bank Sampah NTB Mandiri.”

Sampah-sampah ditabung, Aisyah memberikan buku tabungan. Semua nasabah ibu-ibu rumah tangga sekitar rumah. Perlahan Aisyah juga mengajak mereka tak sekadar jadi nasabah, tetapi ikut produksi aneka kerajinan tangan dari sampah plastik itu.

Ketika kerajinan dari sampah itu laku dijual, makin banyak yang bergabung dengan Aisyah. Ibu rumah tangga banyak yang jadi nasabah, banyak juga mitra dalam produksi aneka kerajinan. Mereka juga makin terampil, Aisyah mendampingi dan berikan pelatihan mereka dengan telaten.

Dia melangkah lebih jauh. Kampung halaman yang dulu kumuh, mulai dia tata. Anak-anak muda dia ajak. Melihat kiprah Aisyah selama ini, banyak anak muda bergabung menjadi relawan. Para orangtua, terutama ibu-ibu mendukung penuh.

Lorong-lorong sempit di kampung dicat warna-warni. Tempat pembuangan sampah disulap jadi taman bermain. Rumah-rumah warga makin cantik. Aisyah kemudian, menamakan gerakan ini dengan nama Kawis Krisan, singkatan dari Kampung Wisata Kreatif Sampah Terpadu.

Sebelum kampung-kampung wisata booming di Kota Mataram, warga Pejeruk Ampenan, sudah memulai. Kawis Krisan ini jadi kampung pertama yang jadi “kampung warna-warni.”

Aisyah tak sekadar membisniskan sampah plastik juga mengedukasi warga kampung, maupun komunitas-komunitas anak muda. Bertahun-tahun menjalankan kegiatan di Bank Sampah NTB Mandiri, Aisyah melebarkan sayap ke berbagai kegiatan lain. Namanya pun berkibar, jadi aktivis lingkungan.

Perempuan yang piawai menulis lirik lagu ini tetap pada semangat awal: kegiatan lingkungan, bisnis, dan sosial. Dalam merekrut tim di workshop, Aisyah memberikan prioritas pada perempuan dan disabilitas. Hampir setiap pekan dia memberikan pelatihan pengolahan sampah pada komunitas-komunitas.

Tak sedikit pelatihan diselenggarakan Aisyah dibiayai dari koceknya sendiri. Begitu juga kalau ada komunitas belajar di workshop Bank Sampah NTB Mandiri, Aisyah selalu terbuka. Syaratnya, hanya satu, Aisyah meminta mereka harus menularkan ilmu yang dipelajari ke komunitasnya.

Setiap akhir pekan, beragam kelompok dari kampus, ibu-ibu rumah tangga, komunitas sosial, kelompok disabilitas, pelajar, bahkan sampai rombongan pejabat datang untuk melihat kerja Aisyah. Di tempat Aisyah, mereka baru yakin bahwa zero waste benar-benar ada.

Aisyah tak pelit berbagi ilmu dan tak takut jika tersaingi. Dia malahan senang kalau ada yang mau belajar. Tak heran, setiap pekan Aisyah sering diundang oleh komunitas untuk mengisi acara. Tak hanya di sekitar Kota Mataram, dia diundang ke berbagai komunitas.

Aisyah pernah menginjakkan kaki ke Jepang dan Australia. Dia berikan ceramah pengelolaan sampah, dan melatih mereka langsung mengubah sampah plastik menjadi barang seni.

Ke Australia, Aisyah khusus diundang melatih orang Aborigin di Darwin. Dia melatih mereka memanfaatkan barang-barang bekas untuk jadi kerajinan tangan seperti tas, sepatu, dompet, dan hiasan. Barang-barang kerajinan itu bisa dipakai sendiri atau dijual.

Dia juga pernah berkunjung ke beberapa negara. Mendapat berbagai penghargaan di tingkat daerah dan nasional, tak membuat Aisyah lupa menjejak kaki di bumi. Dia selalu ingat komitmen awalnya, memberdayakan komunitas sekitar.

Kini, dengan jaringan yang dimiliki di tingkat nasional, internasional, Aisyah makin memperluas jaringan lokal. Aisyah masuk ke desa-desa, membangun mimpi, membangun sekolah alam. Sekolah itu di bawah Yayasan Lombok Eco International Connection (LEIC).

Sekolah sekolah pertama sudah berdiri di Dusun Mentigi, Desa Malaka, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara (KLU). Sekolah ini bukan seperti sekolah umum, siswa masuk setiap hari. LEIC hanya membuka kelas pada Sabtu dan Minggu. Itupun setelah siswa pulang sekolah. Sasaran sekolah ini anak-anak sekolah di kampung itu. Mirip seperti kegiatan ekstrakurikuler.

Sekolah rintisan ini didukung oleh para sahabat Aisyah. Mereka kebanyakan saling kenal melalui berbagai kegiatan sosial. Mereka memiliki visi misi sama, bahwa, kalau ingin membuat lingkungan lebih baik harus mengubah cara pandang terhadap lingkungan.

Pandangan hidup tentang lingkungan itu, katanya, tak bisa hanya melalui kampanye semata, atau hanya melalui program di pemerintahan. “Ini harus jadi gerakan jangka panjang,” pungkasnya.

Riwayat Hidup

Nama                                   :  Siti Aisyah

Tempat Tanggal Lahir     : Lombok Barat, 1976

Pekerjaan                           : Pendiri Bank Sampah NTB Mandiri, CEO Lombok Eco International Connection

Alamat                                : Jl. Leo No. 24 Lingkungan Banjar Selaparang, Mataram, NTB

e-mail                                 : aisyahodist76@gmail.com

Pendidikan:

Tamat SMK Pariwisata

Pelatihan:

Waste Management Training Fukuoka, Kitakyushu, Jepang – 2013

Waste Water Treatment Fukuoka, Kitakyushu, Jepang – 2017

Publikasi:

Buku Mengelola Bank Sampah Bersistem Konvensional Bernasis Rumah Tangga, 2014

Manajemen dan Merketing untuk Bank Sampah Kreatif, 2016

Penghargaan:

Women of The Year, penghargaan dari Red Envelove, 2019

Women and Child Inspirator, Penghargaan dari  Gabungan Organisasi Wanita Kota Mataram, 2017#